Mungkin itu tujuan saya dan sahabat-sahabat saya nekad berangkat ke Yogya walau deadline banyak menumpuk di belakang kami. Selain tentu saja untuk menghadiri pernikahan seorang teman yang diadakan di Gunung Kidul.
Melewati jalur selatan karena ingin menghindari jalur utara yang konon katanya macet, kami menghabiskan tidak kurang dari 18 jam di dalam kendaraan kami. Berangkat tengah malam, tertidur ketika menjelang subuh, dan paginya terbangun oleh sambutan matahari.

Sepanjang perjalanan, berlarian bergantian di samping kami, sawah kemudian deretan rumah yang sederhana, kemudian sawah kembali. Begitu terus.

Ketika kami mulai bosan dan jenuh, akhirnya kami mendekati Yogya ketika senja dan langit mulai berwarna ungu.



Malam pertama sesampai di sana, kami menikmati kopi dan nasi kucing di Jalan MT Haryono. Teman-teman saya terkejut dengan betapa murahnya harga sajian yang mereka nikmati.


Ketika jalanan menyepi, saya mencoba berdiri di tengah jalan dan mengambil gambar. Hasilnya kurang memuaskan karena saya memiliki jari-jari yang tidak stabil.
Esoknya kami pergi berbelanja ke Malioboro dan Pasar Beringharjo.


Puas berbelanja, dengan sedikit terburu-buru kami meluncur ke Candi Borobudur. Dalam perjalanan saya menyempatkan mengambil gambar colongan. Ketika saya melihat bangunan tua yang sedikit familiar karena mengingatkan saya pada salah satu bangunan lainnya di lokasi Kota Tua Jakarta, saya menyiapkan kamera. Begitu ada seorang pria tua mengayuh becaknya, saya buru-buru menekan tombol. KLIK!

Sekitar pukul 4 sore, kami tiba di Candi Borobudur. Ini adalah pengalaman pertama saya ke Borobudur. Tidak sebesar yang saya kira, dan terlalu riuh. Banyak turis lokal dan turis asing berdesakan ingin mencapai puncak Candi Borobudur




Kami berangkat dari Candi Borobudur setelah melewati senja. Walau lelah, kami langsung mencari rumah makan dan menikmati makan malam. Dilanjutkan berjalan-jalan ke Malioboro dan Alun-Alun.

Seperti anak kecil, kami menaiki becak seperti ini. Berkeliling Alun Alun, Rp.25.000,- untuk dua kali keliling. Setelahnya kami beristirahat menikmati wedang rondhe dan nasi kucing.
Pukul 10 pagi pada esok hari kami sudah berangkat menuju Gunung Kidul, menghadiri pernikahan teman kami.

Sebuah perhelatan sederhana dengan adat Jawa Tengah. Ini juga pertama kalinya saya datang ke resepsi pernikahan yang diadakan di gunung.
Pukul satu siang kami berangkat kembali ke Jakarta. Sekali lagi harus melewati perjalanan selama 24 jam karena baik jalur utara maupun selatan macet.
Kira-kira pukul 9 pagi di hari Senin kami menginjakkan kaki di Jakarta. Tepatnya di depan kantor. Walau lelah, saya langsung kembali berkutat di depan monitor, balap-balapan dengan deadline.
Lelah. Tapi saya puas 🙂
yah ga bilang2 kalo ke jogja lg ck ck ck 😐
Nice trip, Le.
Langit ungunya keren…. kapan ya Jakarta bisa punya langit ungu? Klo yang orange kemarin yang heboh2 itulah yang top kali rasanya…. 🙂
Mestinya sih kalo habis hujan langitnya warnanya kayak gitu… ngepink ungu biru oranye.
Waktu di yogya dapet langit kayak gitu soalnya habis gerimis.
Oh wait… kalo di jakarta kemungkinan emang gak keliatan. susah. soalnya polusi 😀 langit mestinya biru bisa jadi abu-abu.
Haha, kemahalan itu 25.000 utk 2x putaran. Soalnya saya naik itu cuma 20.000 utk 4x. :p
Perjalanan darat memang melelahkan, tapi seru.
adekku malah bilang 15 ribu 4 kali :)))) ya gpp. namanya juga nyoba-nyoba. hahaha…
Bagus sekali warna langitnyaaa tidak kalah seperti di luar negeri.. 😀
Sepertinya sangat mengasyikkan perjalanannya 🙂 nice blog…
Selamat taon baru 2013 smoga resolusinya tercapai. Tanggal 12-12-12 barusan dilewati konon katanya tgl yg cantik. Kalo pengen ketemu lagi mesti nunggu 1000 taon itu pun klo reinkarnasi alias hidup kembali kayak di film2 chinese :))