
“Kamu menangis?”
Ia menoleh, kemudian menyapu pipinya dengan jari-jarinya yang kurus. Ekspresi wajahnya tak terlihat, cahaya di kamar kami hanya berasal dari pendar lampu kota yang menyelusup dari balik jendela. Namun aku dapat melihat jelas matanya memantulkan basah, pada pipinya mengalir kesedihan. Ia kembali menoleh ke arah jendela, memandang sepi pada kerlap kerlip cahaya di bawahnya. Kuning, oranye, merah.
“Tidak, aku tidak menangis.”
Jeda. Ia menghisap rokok putihnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan pelan. Batang ke berapa. Aku tak menghitung. Seakan ada kabut di dalam kamar kami.
“Hanya hujan. Hujan yang jatuh dari dalam mataku.” asap putih meluncur kembali dari bibirnya yang tebal dan menggiurkan. Memenuhi langit-langit kamar, menjelma menjadi kabut yang beraroma nafasnya, dan tubuhnya yang telanjang, dan kenangan yang mati.
*membayangkan*
sejumput hening dan hangat di dalam, sementara riuh dan dingin tak beraturan di jalanan.
ejiye om warm, ku-twit loh komennya :)) abisan keren.
jd malu :”>
