Sang Pelukis

Dia adalah wanita yang dipuja oleh semua orang. Rupanya begitu cantik, seakan lupa pada usianya yang sudah menjelang lima puluh. Pipinya senantiasa merona merah, hidungnya lurus dan runcing, bibirnya kecil mungil dan selalu tampak tersenyum. Namun yang paling indah adalah rambutnya yang hitam panjang terurai begitu saja menutupi punggungnya. Warnanya hitam pekat, berkilau indah ketika tertimpa cahaya. Wanita itu bernama Lastri, Lastri Sastrawidjaya.
Di antara puluhan, mungkin ratusan, manusia yang bergerumul di dalam galeri ini, ia menjadi sosok yang bersinar paling indah. Semua orang berusaha mendekatinya, mengucapkan pujian-pujian pada lukisan-lukisan karyanya yang tersusun rapi di dinding. Ada pula yang mendekatinya sekedar mencari perhatian, mencoba mendekati wanita yang masih jelita itu.

“Sepertinya setiap saat Anda selalu mengejutkan kami. Setiap Anda mengadakan pameran, karya-karya Anda selalu menampilkan gaya yang sama sekali baru.”, ujar seorang pria.

“Anda tak takut dikatakan tak konsisten?”, yang lainnya menimpali.

“Ah, buat saya seni itu tidak perlu terpaku pada satu gaya. Saya suka mengeksplorasi berbagai gaya. Bagi saya, itu namanya belajar, memperluas paradigma.” Ia tersenyum dengan rendah hati.

“Tapi kalau saya pribadi lebih suka dengan gaya Anda yang sekarang. Warna-warnanya berani, goresan kuas Anda begitu bebas dan bertekstur. Seperti lukisan penari ini, surealis dan seperti mimpi. Dibanding lukisan-lukisan Anda yang sebelumnya yang bergaya realis dan terkesan datar, yang seperti ini justru terasa hidup.”

Pria flamboyan tersebut tidak menyadari tatapan tajam sekilas yang diberikan oleh wanita tersebut, ia sibuk menatap terpana pada sebingkai lukisan di depannya. Lukisan termahal di galeri ini. Menggambarkan seorang pria telanjang yang menari bersama gadis-gadis tanpa kepala. Dari selangkangan pria itu, turut menari penis-penis yang rakus dan buruk rupa. Meski pria itu tak menyadarinya, aku dapat menangkap kilasan amarah di dalam mata milik Ibu Lastri. Aku sudah begitu hapal dengan wajah asli di balik topengnya yang indah.

Malam ini adalah pameran Ibu Lastri yang ke tiga kalinya. Pada pameran karyanya setahun yang lalu, di galeri yang sama, wanita itu memamerkan setidaknya empat puluh karya yang Ia persiapkan dalam kurun waktu enam bulan. Bisa dikatakan, pamerannya tidak seramai sekarang, walau sebenarnya tidak sepi juga.

Mulanya, bertahun-tahun Ia melukis namun tak ada yang tertarik pada karyanya. Sekali ia mengadakan pameran, namun lukisannya hanya terjual sedikit. Itupun mungkin dibeli oleh kolega yang merasa tak enak hati padanya karena sudah akrab. Adalah ketika Ia pelesir ke salah satu sudut di Yogyakarta, Ia menemukan sanggar kumuh milik seorang pelukis jalanan tak bernama.

Seorang realis dengan karya-karya yang feminim; perempuan-perempuan telanjang dengan warna-warna bernuansa merah, hitam, dan abu-abu. Saat itu lah ia menjadi seorang realis. Ia membeli setidaknya dua puluh lukisan milik pria itu saat pertama kali menemukannya. Pria tua dan lusuh itu tak mengerti, mengapa ada seorang wanita yang mau membeli karya-karyanya yang sudah berdebu karena lama tak dilirik pelanggan. Ia berterima kasih sambil berkali-kali menundukkan kepalanya.

Sayang, Bapak tua tersebut tak tahu bahwa di kemudian hari lukisannya dijual dengan harga berkali-kali lipat setelah direproduksi oleh wanita ini. Harga yang Wanita itu bayar tak seberapa dengan popularitas dan keuntungan yang ia raup di kemudian hari. Ketika lukisannya habis, ia kembali menemui sang pelukis tua, dan membeli lagi seisi galeri pria tersebut hingga ludes. Dari sana, Ibu Lastri berhasil mengadakan pameran yang jauh lebih diminati dibandingkan yang pertama.

Namun, bukan itu lah yang kemudian membuatnya menjadi sepopuler sekarang. Yang membuat namanya kerap disejajarkan dengan Affandi, Basuki Abdullah, dan maestro lainnya yang telah berkibar jauh sebelum Ibu mengenal kuas dan cat minyak.

Beberapa bulan lalu, aku nekad menghampiri Ibu Lastri. Sejak pamerannya yang bertajuk Perempuan-Perempuan Merah setahun yang lalu, ia mendulang pujian, dan aku pun jatuh cinta pada karya yang semula kukira dibuat olehnya. Kubawa beberapa karyaku di depannya, dan memintanya untuk menjadi mentorku. Ia begitu tertarik pada lukisan-lukisanku yang beraliran surealis sehingga ia mengajakku tinggal di rumahnya untuk menjadi mentorku.

Yang terjadi kemudian adalah ia memamerkan karyaku di situs miliknya dan mengakui sebagai hasil karyanya. Karya pertamaku yang ia akui terjual dengan harga tidak kurang dari empat ratus juta. Dengan senyumnya yang seperti seorang ibu, ia memberikanku hanya satu persen dari apa yang ia dapat. “Ada yang mau beli lukisanmu saja sudah syukur. Dijual di pasar seni pun tak ada yang mau melirik. Orang kita ini lebih suka impresionis, realis, lukisan bunga, sawah, nelayan… bukan lukisan macam punyamu. Perempuan berkepala sendok, kumbang menari di atas laut, lelaki berpenis delapan. Macam apa itu? Kalau bukan karena menggunakan namaku, tak akan ada yang mau

Ia menyuruhku belajar dan berlatih melukis, diberikannya aku pasokan kanvas dan cat. Setiap lukisan yang kuhasilkan, selalu ia jual dengan namanya, dan aku mendapat bagian yang sangat kecil. Namun kusadari, jika bukan karenanya, karya-karyaku memang tak akan laku. Siapa yang mau membeli lukisan seorang gadis muda tak bernama yang menggambarkan sosok lelaki berpenis delapan?

Pada pameran kali ini, semua lukisanku yang berjumlah empat puluh delapan buah, habis terjual tanpa sisa. Lima persen dari hasil penjualan yang diberikan padaku sudah cukup untuk kukirim pada orang tua di kampung agar dapat dipakainya membeli sepetak rumah yang layak. Aku bersyukur di antara marah dan iri yang kurasakan. Aku marah karena wanita yang menjadi guruku tak lebih dari seorang pencuri rakus. Aku iri karena ia yang menuai pujian dan mendapat lampu sorot sementara aku hanya dilihat sebelah mata. Orang-orang hanya melihatku sebagai gadis kampung yang belajar dan numpang hidup gratis di rumah Ibu.

Hari ketika ia membayar semua bagianku, aku angkat kaki dari rumahnya. Aku kabur dan mengontrak rumah petak di pinggir Jakarta. Setelah mengirim uang pada orang tuaku, aku menggunakan sisanya untuk membeli cat minyak, kuas, kanvas, dan kamera digital murahan. Satu bulan penuh aku tak keluar dari rumah kontrakanku, dan aku menghasilkan empat karya yang mampu membuat diriku tersenyum bangga.

Dengan percaya diri, kupotret karyaku, kemudian aku unggah di internet. Kutitipkan pada salah satu situs galeri yang mengkhususkan diri untuk menjual karya-karya pelukis yang belum terkenal. Namun hatiku begitu pedih membaca surat surat elektronik yang masuk ke dalam kotak pos surealku.

“Tak tahu malu, meniru habis-habisan karya seorang pelukis maestro. Apakah anak muda sekarang tidak bisa berkarya tanpa meniru?”

“Dasar plagiat.”

“Kamu bukannya anak didik Ibu Sastrawidjaya? Begitu caramu? Kabur dan mencoba mencuri gayanya? Kamu itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan Ibu Sastrawidjaya. Karyamu masih mentah. Hanya tiruan.”

Bahkan pengelola situs galeri tersebut menghubungiku,”Dik, meniru itu memang proses belajar, tapi ada baiknya Adik berusaha menemukan gaya sendiri. Coba improvisasi. Saya sudah dengar katanya kamu tinggal cukup lama dengan Ibu Sastrawidjaya, walau begitu jangan kamu terlalu terpaku pada gaya Ibu. Semua orang bisa melihat kemiripan karya kalian.”

“Tapi Pak, itu semua benar karyaku. Bahkan karya-karya yang dipamerkan Ibu semuanya adalah milikku.”

“Huss, kamu ini nggak tahu diuntung. Sudah belajar gratis, numpang hidup, kok ya begitu caramu membalas Ibu Sastrawidjaya.”

Di kemudian hari aku baru tahu bahwa beliau berada dalam satu lingkaran dengan Ibu Lastri. Mungkin sudah banyak orang yang dicuci otak oleh cerita dan kebohongannya.

Ketika aku melihat situs milik Ibu Lastri, aku terhenyak. Ia menceritakan tentang diriku. Pelukis amatir yang meniru karyanya dan mencoba menyebar tipuan dengan mengakui semua karya miliknya. Pantas galeri-galeri online banyak yang menolak menampilkan karyaku dalam situs mereka tanpa alasan.

Wanita tua tersebut menyatakan kesedihannya karena merasa dikhianati olehku, namun Ia mengatakan bahwa Ia tetap menyayangiku seperti anak sendiri. Dalam dongengnya, ia menjelaskan betapa ia bersusah payah mengeksplorasi dirinya, mencari warna-warna indah, sampai akhirnya bisa menghasilkan lukisan-lukisan surealis yang begitu indah dan mistis. Oh, begitu cantik dan rapih topengmu. Kamu yang mencuri namun kamu menuduh orang lain menjadi malingnya.

Berbulan-bulan aku berhenti berkarya, dan tabunganku semakin menipis. Aku mulai putus asa. Mungkin aku yang harus mengalah, mencari gaya baru, belajar melukis lagi dari awal.

***

Pameranku berlangsung dengan sukses, pameranku yang pertama.

Bertempat di galeri yang sama dengan pameran Ibu Lastri setahun yang lalu. Debut ini kuberi nama “Pelukis dan Topengnya”. Kebanyakan karyaku menggambarkan wanita bertopeng dengan uraian rambut, dan karya andalanku adalah lukisan berukuran empat kali dua meter bergambar wanita berkeriput dengan kuku-kuku panjang yang sedang rebah di atas potongan-potongan tubuh.

Rambutnya mengurai panjang menutupi sebagian potongan tubuh, sementara wajahnya ditutupi topeng bersepuh emas.

“Apa judul lukisan ini?”

“Oh, yang ini kuberi nama Sang Bidadari. Lukisan ini kupersembahkan untuk Almarhum Ibu Lastri.”

“Ah, ya… Sayang sekali Ibu meninggal begitu mengenaskan, ya… Mayatnya terbakar habis. Padahal saat itu kalian berdua sudah mulai berbaikan setelah ribut-ribut plagiarisme dulu. Anda memang hebat, berani mengakui kesalahan dan masih mau belajar. Tapi… mengapa lukisan Anda seram sekali?”

“Sebetulnya tidak seram. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa Ibu begitu cantik dan indah walau ia mati mengenaskan. Siapa sangka justru kaleng- kaleng terpentin dan cat minyak lah yang membunuh Ibu, anak-anaknya sendiri, hanya karena sepercik api.” Aku tersenyum. Lawan bicaraku menatapku dengan aneh.

Ia mengalihkan matanya, menoleh pada lukisan tersebut, memperhatikan dalam-dalam. Mungkin sebenarnya ingin menutupi rasa gugupnya.

“Tekstur cat Anda begitu unik. Lihat uraian rambutnya, teksturnya seperti rambut manusia betulan. Warna kulitnya juga begitu asli, bahkan jika disentuh, terasa seperti kulit manusia. Anda menggunakan cat apa, ya?”

“Cat minyak yang biasa dipakai Ibu. Sama saja, kok.” Aku ikut menelusuri jariku di permukaan lukisan tersebut, ”Serta kulit dan rambut Ibu yang indah dan panjang.”

____________________________________

Cerpen ini ditulis Maret 2013.

Gue gak nyangka, waktu cepet banget berlalu. Dan dalam setahun ini banyak banget hal yang berubah dalam hidup gue.

Oh, dalam 3-4 bulan ini maksud gue.

Makasih ya hadiah tahun barunya. Nanti sekalian makasih juga buat hadiah ulang tahun gue…

Published by

macangadungan

Fulltime Dreamer

3 thoughts on “Sang Pelukis”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s