Warning: Ini postingan panjang banget. Jadi silakan di-skip.
Ada yang tahu tentang The 27 Club? Kalau pernah baca Novel Pantai Kupu Kupu-nya Elia Bintang mungkin pernah dengar. Intinya, The 27 Club adalah sebutan untuk kumpulan orang ternama yang meninggal di usia 27 tahun, misalnya Jimi Hendrix, Janis Joplin, Jim Morrison, Kurt Cobain, atau yang masih baru, Amy Winehouse. Ada yang meninggal karena alkohol, narkoba, bunuh diri, dll.
Sebenarnya hal tersebut mungkin murni kebetulan. Tapi suatu hari saya dan salah satu teman saya, sebut saja Ms. B, ngebahas topik ini. Antara serius dan nggak serius.
Dia bilang, “Le, mungkin 27 Club ada karena memang 27 adalah usia terberat. Pantes ya, dulu salah satu asdos, Kak X pernah ngomong, ‘Alhamdulilah akhirnya gue survived usia 27’.”
And I was like, wait… she’s right…
Usia 27 buat saya adalah usia paling berat, paling jahanam, paling anjing seanjing-anjingnya. Dan itu juga dialami Ms. B.
Banyak perubahan besar dalam hidup saya selama usia dua tujuh ini, dan bisa dibilang di usia ini saya mengalami yang namanya berantakan sampai tiarap. And I did have the thoughts to end my life. Yes, I admit it.
Tahun ini saya sadar bahwa apa yang saya percaya, apa yang selama ini saya kira saya tahu, ternyata cuma imajinasi. Apa yang saya bangun, apa yang saya pertahankan, bisa hancur gitu aja. Dan bagaimana banyak hal bisa terbulak-balik gitu aja hanya sekejap dan semudah membalikkan tangan.
Waktu keluarga saya bangkrut karena penipuan, ayah saya stroke, kesulitan keuangan, dll, saya bisa handle semua itu. Tapi di usia 27 ini, saya mengalami masalah-masalah yang sama sekali tidak bisa saya hadapi. Dan semua itu datang beruntun. Dikhianati, dibohongi, dibuang begitu saja, dimanfaatkan, dihina-hina, didiamkan, ditekan oleh berbagai pihak, dituntut untuk sempurna saat saya sedang berjuang untuk bangun. My life, generally, fucked up.
Saya kehilangan banyak hal; rasa percaya diri, rasa percaya kepada orang lain, kekuatan, keberanian, kesabaran, optimisme, saya jadi lebih egois dan tidak ada waktu untuk memikirkan orang lain, lebih pelupa, lebih mudah marah, menjauh dari keluarga. Banyak. Dan yang paling utama, saya kehilangan yang namanya rasa bahagia. Berlebihan? Nggak, saya memang hampir nggak pernah lagi merasa yang namanya bahagia 100%.
Ada satu titik dimana, saya tertipu. Saya kira mungkin semuanya akan membaik. Saya bertemu seseorang, yang membuat saya ingin percaya diri, yang membuat saya belajar percaya lagi sama orang lain, yang membuat saya tersenyum dan bisa bekerja di kantor dengan lebih baik. Tapi lagi-lagi saya dibohongi dan dikhianati. Rasanya menyebalkan ketika seseorang meruntuhkan tembok lo, “memaksa” lo membuka rahasia lo, berbagi hal-hal yang membuat lo menangis, membuat lo percaya sama dia, dan tiba-tiba… dia pergi gitu aja. Padahal lo sudah (kasarnya) menunjukkan luka-luka lo.
Waktu itu saya percaya istilah, habis badai ada pelangi. Sekarang saya nggak percaya lagi. Saya nggak percaya karma, saya nggak percaya what goes around comes around. Saya nggak percaya “Tuhan Maha Adil”. Nggak, saya nggak bilang saya mau orang yang jahat sama saya untuk merasakan apa yang saya rasakan. Saya cuma mau semua kesedihan saya dibayar dengan kebahagiaan. Tapi kan ternyata hidup nggak berjalan seperti itu.
Yang jahat bisa saja hidup bahagia sampai mati tanpa harus kena musibah, yang baik bisa saja seumur hidupnya apes terus. Makanya saya bilang, nggak ada yang namanya “Tuhan Maha Adil”. Itu cuma konsep yang kita bikin agar kita merasa lebih baik saat disakiti orang lain dan kita nggak bisa membalas. Konsep yang bikin kita berharap sama hal-hal kosong.
I lost my weights rapidly, I started to drink (dan mabuk) regularly, I experienced change of faith, merokok lebih banyak, menjadi jauh lebih pelupa, I can’t handle stress, I cry regularly especially when I am alone… Tapi selain itu, saya juga menjadi lebih keras kepala, lebih hati-hati, lebih dewasa, lebih sabar, lebih mudah ngertiin perasaan orang, dan mulai lebih mikirin diri saya sendiri.
Berbulan-bulan saya dalam kondisi ini, capeknya nggak bisa saya gambarin. Dan saya rasa nggak ada satupun orang yang ngerti, kecuali orang seperti Ms. B, atau Mr. Gentleman (seorang teman yang mengalami hal yang sama dengan saya – eniwei, kita semua berusia 27 saat mengalami itu). Orang lain bisa marah, orang lain bisa ikut simpati sama kita, tapi kalau mereka belum pernah ada di posisi ini, mereka nggak akan ngerti. Saya sadar hal itu ketika beberapa teman saya mengira saya sudah membaik dan mulai mentertawai saya, “Le, lo inget gak waktu lo galau? Malu banget gue nemenin lo nangis di depan umum. Hahahaha…” Well…
The thing is, saya masih struggling. Saya bukan berhenti menangis. Saya berhenti menangis di depan teman-teman saya. Semua orang boleh ngetawain saya dan saya nggak peduli, tapi kalau teman sendiri yang ngetawain, gimana, ya…
Sering mikir, anjing, hidup saya kok berantakan banget. Perasaan saya berantakan, kerjaan berantakan, gaya hidup berantakan, keuangan berantakan… semuanya nggak ada yang beres. Jujur, sampai detik ini saya masih bingung bagaimana cara memperbaikinya. Rasanya saya cuma ngejalanin tiap hari biar kelihatan kayak manusia normal. Padahal saya nggak normal. The pressure at work, the smiles I forced, the questions from my parents, even my brain doesn’t work as it used to be.
One day, I fucked up big time at work, and my manager asked me, “What’s happening with you? You never been as forgetful and irresponsible as now?”. Yang saya respon dengan, “I have nothing to say. You can do whatever things you need to do toward me. I’lll accept the consequences.” Kemudian dijawab dengan saya harus lebih semangat, lebih anu, lebih itu, dan mereka nggak akan ngasih saya sanksi. Padahal entah kenapa saya berharap dipecat saat itu. Well satu lagi bukti, lo gak selalu dapat apa yang lo mau walaupun lo sudah mencoba sebaik-baiknya :p
Most people pasti mikir saya cemen dan lebay. Atau mungkin mencap saya attention whore. Gimana, ya… Saya cuma bisa bilang, cara setiap orang bereaksi sama masalah itu beda-beda. Orang nggak perlu paham, karena saya juga nggak paham mereka. Nggak mungkin saya bilang, semoga suatu hari kalian diijinkan berada dalam posisi saya. Ya mana lah saya tega.
Usia 27 buat saya adalah usia dimana orang-orang beranjak pergi, usia dimana saya belajar kalau nggak ada yang namanya orang 100% baik, saya belajar kalau semua orang bisa jahat sama siapa aja dan tetap merasa dirinya benar. Saya belajar, tidak semua teman adalah teman. Saya belajar, tidak semua orang berhak diberi kepercayaan, atau kesempatan kedua. Saya belajar, orang-orang akan tetap menuntut lo menjadi seperti yang mereka mau despite lo sanggup atau nggak, dan no… kita nggap perlu hidup sesuai standar mereka. Saya belajar, bahwa nggak ada orang lain yang bisa saya andalkan selain diri saya sendiri. Saya belajar, orang-orang akan ngejudge saya sesuka mereka (attention whore, perusak hubungan orang, cewek binal dari jakarta, cengeng, lebay, nggak mungkin nggak ngapa-ngapain kalo udah pacaran selama 7 tahun, tukang mabuk, cewek bego, bengal, kayaknya masih banyak cap yang dikasih ke gue…), padahal mereka nggak tahu apa yang harus saya jalanin setiap hari.
Yang tahu aja nggak ngerti dan masih bisa ikut ngebohongin atau ngetawain saya, apalagi yang nggak tahu.
Saya jatuh, dan berkali-kali bangun. Saya bergerak maju, walau selambat keong cacat. Jika saya melihat ke waktu lima bulan yang lalu, saya tahu saya sudah lebih baik daripada waktu itu. Tapi perjalanan saya masih sangat jauh. Salah saya sendiri, sih. Saya membiarkan seseorang menarik saya kembali mundur ketika saya sudah maju cukup jauh. This is a lesson, you don’t suppose to let anyone just come into your life.
Tapi setidaknya, hal-hal yang terjadi di usia 27 kemarin, tidak membunuh saya. Saya masih hidup dan bertemu usia ke-28. So… I survived 27 🙂 Mungkin 28 akan lebih berat, saya nggak tahu. Mungkin saya bakal lebih berantakan, saya nggak mau mikirin. Mungkin saya bakal ketemu orang-orang yang lebih anjing lagi, saya bakal ketipu berkali-kali, mungkin… mereka semua ada, agar saya belajar. Mungkin kerjaan saya bakal lebih berantakan, saya pribadi udah nyerah karena kalau kerjaan sumber masalahnya bukan dari saya sendiri, tapi saya nggak bisa bilang siapa-siapa. Soal jodoh, yah apa lagi, gak usah deh ngomongin itu. Saya cuma bisa ngejalanin semua itu. Gak ada yang bisa saya lakuin, kan. Karena emang, sebaik apapun kita berusaha, sebaik apapun kita memperlakukan orang lain, seberapa kerasnya elo bertahan, kalau emang bukan buat lo, ya bukan buat lo. Kalau memang sudah waktunya berantakan, ya berantakan aja.
Satu-satunya yang bisa saya lakuin, cuma berusaha berbahagia dengan cara saya sendiri. Dan lihat, sekarang saya ada di sini. Berantakan, tapi masih bisa hidup, masih bisa ketawa, masih bisa marah-marah, masih punya teman-teman yang tersisa – dan punya banyak teman baru. I will be okay, right?
Dan buat mereka yang nyakitin saya, bohongin saya, ngetawain saya, semoga kalian berbahagia. Seenggaknya ketololan saya sempat bikin kalian bahagia, kan? 🙂
Well, Ms. B (I know you’re reading this), we survived 27. Things still as suck as yesterday, I know, but hey, we’ve managed to survive this far. Hang in there… I’m with you here.
Buat yang lain, coba ingat-ingat… usia 27 kalian dulu kayak gimana? Apa kalian jadi pengen bilang, “Well, I survived 27 also!”?
***
PS: I dedicated this post to Ms. B.
Membaca tulisan ini dan kemudian teringat dengan umur sendiri, aku mikir, “Ok… Kayaknya gue juga lagi di masa ini deh.” 😆
Tuh kan bener! 27 itu usianya banyak cobaan *cucoklogi* :))))))
Be good, do good, forgive, and live on. Like a boss. Keadilan? Orang bisa hidup sampe 80 tahun dan masih menuntut keadilan. Jangan jadi kayak mereka. 🙂
Iya. Gue setuju. Yang penting gue happy. Anyway anyhow, sebetulnya elo juga yang ngajarin gue mikir kayak gitu 🙂 Thanks el. You’re the best guru!
aku lupa apa yang terjadi dgn diriku di usia 27. Tapi saat itu masih kerja di LSM Lingkungan dan sepertinya patut bersyukur karena kerja di akar rumput tidak sempat memikirkan hal-hal yang beginian hahahahaha~
Yang beginian tu maksudnya apa mas :p *tujes*
maksudnya yang beginian ya seperti apa yang kamu tulis le wakakakaka *ditujes
omg, beneran! :)) saya mengalami masa usia paling berat di usia 27 dan berlanjut kurang lebih sampai setahun lebih sampai bisa keluar dari situasi itu. Nanti kalau udah share cerita lengkap tak beritahu ya…
I hope you’re okay now *hug* iya. Aku mau baca cerita perjuangan kamu, Mbak. Siapa tau bisa memotivasi XD
Gw sih masih jauh dari angka 27, tapi setelah baca pengalaman lo, bikin merinding juga, mba. Banyak pedihnya dan pengorbanan yang harus diperjuangkan utk tetap bisa hidup (bahagia).
Kalo gak gitu, hidup gak terasa hidup, rie :p *gaya*
Ah, ga perlu diceritain juga lo udah tau cerita -27- gue…. hehehe. Survived ? Lama baru nyadar klo ternyata itu survived namanya. Setelah ada di posisi sekarang siy baru nyadarnya.
Hang in there le… ga ada yg bisa bantuin lo, cuma lo sendiri…
Seeeee? The deepest shits happen in your 27th :p *cucoklogi*
“Saya belajar, tidak semua teman adalah teman”
Suka sama kalimat ini mbak. I survived 27 too, meski gak ngalamain semua yang mbak ceritain diatas. Semangat mbak dan salam kenal ya 🙂
Semua orang punya masalahnya masing2. Tapi lebih hebat orang2 yg bisa survive dr masalah2nya. Salam kenal juga :*
baru bergabungggg 🙂 link dari blog Kimi. I survived 27 too, well…25 sih pas kejadian mirip2 juga sama yg ini kasusnya “Salah saya sendiri, sih. Saya membiarkan seseorang menarik saya kembali mundur ketika saya sudah maju cukup jauh.” salam kenal..
inspiring! saya masih beberapa tahun lagi dari 27, tapi baca ini jadi semacem baca panduan 101 😀 Salam kenal Mba… 🙂
Salam kenal Ryujisan!
Gue 27, 2 tahun yang lalu. Yang gue inget; saat menjelang 27, hidup gue juga udah berantakan. Pas masuk 27, gue balik semuanya. Semacam memberontak tapi buat ngumpulin pecahan hati dan sobekan jiwa sendiri. Gue pengen jadi lebih baik. Dan waktu itu, menurut salah seorang temen gue (yang udah 30-an), dia bilang; waktu usia lo udah 30-an atau mid-30, semua bakalan make sense. Menjelang 40, lo bakalan ngerti dan nerima. That’s why, life begins at 40. ^^
Whaaaddd… 40 masih lama :))
Eh tapi bener loh, Mbak. Setelah melewati semuanya, tiba-tiba jadi ada keinginan untuk berubah jadi lebih baik. Ini bener banget. Aku mulai belajar ngubah beberapa kebiasaan buruk. Msh struggling, sih, tp diusahakan 😀