Mbak Flo yang malang. Niatnya mungkin cuma menumpahkan kekesalan di Path – socmed platform yang terbatas karena setiap akun di Path hanya bisa diakses bila diijinkan oleh masing-masing pemiliknya -, tapi apa daya, makian yang Ia tulis dalam keadaan emosi ini tersebar di dunia maya. Pada akhirnya, Ia harus menerima konsekuensi yang menurut saya pribadi sangat berlebihan.
“Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja.” – begitu isi status di Path yang sukses membuat Mbak Flo yang sedang menjalani S2 di UGM ini harus mendekam di penjara. Mungkin jika kata “Jogja” diganti “Jakarta”, kita akan ramai-ramai ketawa kemudian akan marah mendengar Mbak Flo ditahan. Mungkin kita akan kompak mengecam polisi dan pemerintah, kemudian mengadakan gerakan semacam “Koin Pritha”. Mungkin…
Tulisan tersebut di-screen capture, kemudian disebar di berbagai media sosial, sampai ke Kaskus, forum internet terbesar di Indonesia. Masyarakat Jogja ramai-ramai ngamuk dan memaki Flo, bahkan nggak cuma yang dari Jogja, orang-orang yang bukan berasal dari Jogja pun ikut geram dengan isi status Path Flo. Padahal… jika dipikir-pikir, apa mungkin orang-orang ini nggak pernah marah dan memaki sesuatu atau seseorang di Path, Twitter, atau Facebook?
Etika berinternet itu mungkin istilah yang sudah berbusa-busa digaungkan di media sosial. Netiquette istilah kerennya. Ini yang membuat posisi Mbak Flo menjadi semacam “layak” dihakimi. Banyak pengguna media sosial yang melihat Mbak Flo melakukan kesalahan fatal dengan memposting makian pada akun Path miliknya.
Sebagian dari kita mungkin ada yang tahu kampanye “think before you post”, kalau nggak salah itu ramai dibahas tahun 2006-2007 (cie anak blog lama cie). Dimana waktu itu blogger ramai-ramai mengajak untuk mengurang-ngurangi memaki atau menjelek-jelekkan sesuatu atau seseorang di blog. Katanya “mulutmu harimaumu”. Baiknya kita selalu memperhatikan pemilihan kata dalam postingan kita di media sosial karena mungkin saja suatu hari tulisan tersebut bisa menyusahkan diri sendiri.
Begitu pula pada kasus Mbak Flo ini. Walau banyak juga orang yang menyayangkan reaksi orang-orang di media sosial, nggak sedikit yang menyalahkan Mbak Flo. Dengan dasar etika berinternet, orang menganggap bahwa kesalahan mutlak pada Mbak Flo karena menggunakan kata-kata yang kasar untuk memaki Jogja.
Teman-teman lupa.
Menjaga privasi di internet juga termasuk dalam netiquette.
Kalimat “Kalau nggak mau disebar, jangan diposting di internet, dong.” adalah oxymoron. Orang yang mengamini bahwa menjaga pemilihan kata di internet tapi tidak menghormati privasi adalah paradoks. Karena dua-duanya termasuk di dalam etika berinternet.
Ada situs yang cukup menarik dalam membahas netiquette ini, dari Albion.com.
Menurut situs tersebut, ada 10 aturan inti dalam netiquette:
Bisa dibilang, peraturan nomor 8 ini adalah etika yang paling sering kita lupakan. Kebanyakan pengguna media sosial terjebak dalam ilusi “If it appears online, it’s free to be shared.” Here’s a bad news. No. It isn’t. Kalian nggak bisa koar-koar tentang menjaga etika bertutur dalam internet tanpa memberikan respek yang sama pada privasi di internet.
Begini, Mbak Flo memposting makiannya pada akun Path, yang mana memiliki akses terbatas. Akun Path miliknya tidak bisa diakses sembarang orang. Memang bisa di re-path, tapi secara etika, fitur re-path seharusnya dilakukan jika sudah diijinkan oleh pemiliknya.
Apesnya, ada seseorang yang mengambil screen shot dari status tersebut dan menyebarkan ke berbagai kanal media sosial, bahkan sampai mengirimkan ke detik.com (berdasarkan yang saya baca di Kaskus). Dari sudut pandang saya, kesalahan ada pada si penyebar. Secara etika, hal itu seharusnya tidak dilakukan, mengingat sudah jelas alasan kenapa Mbak Flo memilih untuk posting di Path daripada di Twitter atau blog yang bisa diakses oleh siapa saja.
Makian tersebut, tidak ditujukan untuk dibaca oleh semua orang. Melainkan hanya kepada teman-teman di dalam lingkaran akun Pathnya.
Bukan berarti Mbak Flo 100% benar dengan memaki Jogja. Tapi lagi-lagi. Jogja bukanlah institusi. Bukanlah nama orang yang eksis di dunia nyata. CMIIW, memaki nama kota/negara tidak termasuk dalam pencemaran nama baik, secara hukum. Iya, bukan? Tolong koreksi jika saya salah (Ingat kasus Luna Maya? “Infotainment bla-bla-bla”, dan gimana reaksi pers yang berlebihan padahal kata “infotainment” bukanlah nama suatu institusi atau bahkan profesi).
Dicoba dulu berpikir secara etika.
Jika sebuah postingan di-upload di Path, akun Twitter yang di-proteksi, laman Facebook, atau apalah yang butuh ijin pemilik akun untuk mengaksesnya, secara etika, pantaskah kita sebar lagi tanpa ijin? Apalagi jika postingan itu sensitif; curhatan, makian, keluhan, gosip, dll. Nggak usah ngomong soal “sopan santun berbahasa”. Itu juga kita paham. Tapi gimana dengan “sopan santun menyebarkan konten di media sosial”?
Nggak nyampe? Oke, mari kita lihat secara logika.
Jika secara logika, privasi dalam internet tidak eksis, untuk apa kanal media sosial memberikan pilihan pembatasan akses pada akun-akun media sosial? Untuk apa ada opsi “hide your phone number”, “hide your birthday”, “protect your account”, dan yang lainnya? Jika memang kita tidak perlu mengakui privasi dalam internet, apakah saya bebas menyebarkan nomor telepon anda di akun Linked-In anda ke teman-teman saya yang tidak anda kenal? Apakah peyedia jasa retail online berhak menyebarkan nomor kartu kredit anda? Masihkah anda berpikir apa yang ada di internet merupakan milik kita bersama? Hak kita bersama untuk membaca dan menyebarnya?
Masih nggak nyampe juga? Kita lihat lagi secara hukum. Di Indonesia aja dulu.
UU ITE Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Perbuatan – perbuatan yang dilarang (cybercrime) di indonesia
UU ITE Pasal 27 ayat 3
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat 2
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dari isi di atas, bisa dilihat, memang konten milik Mbak Flo bisa saja dipidanakan (meskipun saya ragu apakah memisuhi “Jogja” termasuk penghinaan/pencemaran nama baik atau ditujukan untuk menimbulkan kebencian – coba mana orang hukum, tolong jelaskan pada kami yang hanya kuah indomie ini), tapi coba lirik Pasal 26 Ayat 1 dan Pasal 28 ayat 2. Haeee kakak-kakak di Kaskus yang ngatain orang Batak. Pasal 28 ayat 2, Kak.
Oke, nggak. Fokus dulu ke Pasal 26 ayat 1. Walau saya nggak nemu definisi “data pribadi” dalam UU ITE, tapi jika pembuat konten merasa “curhatan”-nya sebagai “data pribadi” (which is possible sebetulnya), maka ia dapat melakukan apa yang tertulis di UU ITE Pasal 26 ayat 2. Mengingat kerugian Mbak Flo cukup pedas (sanksi sosial, ancaman verbal di internet hingga telepon, ditahan di polda, nama baik tercemar, dll).
Gini, negara saja mengakui dan melindungi data pribadi kita di internet. Kenapa di antara kita masih ada yang merasa data di internet adalah hak semua orang tanpa kecuali? Jelas tertulis, kok “penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan”. FYI, logikanya, profile picture di Path pun termasuk data pribadi, loh. Tapi, silakan koreksi jika pemahaman saya salah.
Saya nggak bilang kalau semua orang berhak memaki-maki meskipun dalam ranah media sosial dengan akses terbatas, karena ya itu, etika bertutur dalam dunia nyata seharusnya diaplikasikan juga dalam dunia maya (btw, saya sering ngomong “titit” dan “anjing” di ranah offline dan online *salim*). Tapi poin saya adalah, selain menggembar-gemborkan etika bertutur, kalian juga harus ingat etika menghormati privasi. Both are included in netiquette. Nggak ada satu lebih penting dari yang lain.
Makanya saya bilang. Sunggu aneh jika kita mati-matian meneriakkan etika bertutur di media sosial tapi melupakan etika menjaga privasi.
Seperti kasus Mbak-Mbak yang memaki pengguna KRL, Mbak Flo ini termasuk individu yang apes, punya teman yang resek dan nggak tahu sopan santun. Teman yang dikira bisa dipercaya, ternyata diam-diam “menikam” di belakang. Tjaelah bahasa gue.
Buat saya ini seperti situasi dimana ada perempuan yang diperkosa, yang disalahkan malah perempuannya karena pakai rok mini. Oke, mungkin perbandingan saya berlebihan. Tapi, jika dilihat, rata-rata orang berkomentar menyayangkan pemilihan kata yang dipakai Mbak Flo, mengecam Mbak Flo yang seenaknya memaki di media sosial. Kenapa nggak ada yang melihat lebih luas dan berpikir, sudah tahu itu konten negatif, kenapa malah seenaknya disebar lagi keluar lingkaran Path-nya Mbak Flo? Sudah tahu itu diposting di Path, kenapa sengaja disebar ke ranah yang lebih luas tanpa ijin pemilik konten?
Jelek pikirnya saya, oknum ini sengaja ingin menjatuhkan Mbak Flo. Which is, ya berarti niatnya jelek, kan? Niatnya untuk merugikan Mbak Flo. Biar apa? Dapat efek jera? Tahu rasa?
Ya, semoga oknum penyebar puas. Sudah jadi pahlawan di media sosial 🙂 Berhasil membuat seorang wanita diancam, dihina, dipermalukan, hingga mendekam di penjara karena memaki Jogja. Anyhow, biarpun ada 1000 Mbak Flo memaki Jogja, saya akan tetap menganggap Jogja kota favorit saya, kota yang paling saya suka. Tapi mungkin ada yang beranggapan kalau kota Jogja dimaki maka orang-orang se-Indonesia akan benci Jogja. Mungkin…
Balik lagi (maklum, saya suka babbling gak jelas).
Apa yang bisa kita petik dari kasus Mbak Flo ini? Seperti kata jutaan orang di media sosial, “Mulutmu harimaumu”, “think before you post”, “hati-hati berucap”…
Bener, itu bener banget.
Tapi jangan pernah sampai lupa, kita juga harus paham etika menyebarkan informasi. Kita harus paham membedakan mana yang layak disebar, mana yang bisa merugikan. Kita harus menghormati privasi orang lain. Sudah bagus kita diijinkan mengakses konten mereka di Path (atau Facebook, atau akun Twitter terproteksi, atau apa lah tetek titit bengeknya), seharusnya kita menghormati mereka dengan tidak sembarangan menyebar informasi.
Jadi? Masih yakin kalau privasi di internet itu omong kosong? Masih merasa berhak mengakses dan menyebarkan curhatan orang di media sosial?
Pilihan kalian sendiri 🙂 sama seperti Mbak Flo juga bebas memilih mau memaki-maki di akun Pathnya atau tidak (use the same standard, dude).
Yaudah, kita ngobrolin sambil ngebir ajalah. Apalagi kalo lu bawa kartu. *tetep*
Kapaaannnnnn… *hiks*
Seram baca pos ini , belajar dari orang lain lebih baik dari pada melakukan kejadian yang sama .