Belakangan ini, saya baru sadar, saya punya kebiasaan jelek; melarikan diri dari hal-hal yang membuat saya sedih atau kesal. Sebetulnya jika diingat, kebiasaan ini sudah ada sejak lama.
Ketika sesuatu mengganggu perasaan saya, saya cenderung mendiamkan atau menjauh. Tentunya setelah saya mencoba memperbaiki dahulu.
Misalnya pada perkara sepele, dulu saya pernah cemburu melihat (mantan) pacar bertukar komentar di media sosial dengan wanita yang saya tidak kenal. Saya terbiasa membicarakan hal-hal yang mengganggu pikiran saya, begitupun pada saat itu. Saya langsung membicarakan apa yang saya rasakan melihat ada wanita yang tidak saya kenal dan tidak mengenal saya, bisa sedekat itu dengan dia. Biasanya saya selalu tahu siapa saja temannya, tapi yang ini saya tidak tahu. Hanya pernah bertemu sekali tapi tidak tahu kalau mereka sedekat itu. Ketika saya mencoba membicara perkara ini, yang ada malah jadi ribut. Padahal bukan itu yang saya inginkan. Pada akhirnya saya tidak mendapat penjelasan maupun solusi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengeluarkan si (mantan) pacar dari lingkaran media sosial saya.
Mudah, cepat, gampang, nggak bikin pusing. Masalah selesai. Masalahnya tidak selesai, tapi saya jadi nggak perlu pusing dan ribet. Nggak perlu lagi melihat si dia beramah tamah dengan perempuan yang tidak saya kenal dan tidak mengenal siapa saya.
Atau hal lainnya, saya tidak suka dengan bagaimana seseorang memperlakukan saya. Saya bicarakan panjang lebar, apa yang saya rasakan, dan menanyakan kenapa dia memperlakukan saya seperti itu. Namun ternyata usaha saya untuk berkomunikasi ditanggapi dengan dingin dan disangkal, atau malah ditertawakan. Dalam kondisi seperti itu, when communication fails, saya memilih diam dan menjauh.
Semakin ke sini, kebiasaan saya menghindari hal-hal yang membuat saya terganggu, semakin jelek. Saya sadar, saya bahkan tidak memberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah, saya main menghindar saja. Ketika saya melihat sesuatu hal yang menyinggung atau membuat saya tertekan, ya sudah saya pergi saja. Berpura-pura masalah itu tidak ada, bahkan tidak membahasnya sama sekali, jika itu menyangkut seseorang.
Satu malam, sahabat saya bilang, komunikasi itu penting. Saya tahu banget.
Tapi adakalanya… saat kita mencoba berkomunikasi, lawan bicara kita malah nggak menghargai. Saya ingat, bertahun-tahun saya diperlakukan seperti itu. Berkali-kali saya mencoba menyelesaikan masalah dengan komunikasi, tapi selalu berakhir dengan perlawanan defensif, denial, penolakan, penjelasan yang bohong, hingga tak diacuhkan. Pada akhirnya, energi saya habis juga.
Saya suka berbicara dengan orang-orang yang jujur dan apa adanya. Ketika berada dalam situasi yang sama, saat saya mengutarakan perasaan saya, orang-orang seperti ini biasanya memberi penjelasan atau terang-terangan membicarakan apa masalah mereka dengan saya. Dan ini melegakan. Kadang mungkin berakhir dengan debat atau pertengkaran kecil, tapi akhirnya kita sama-sama tahu, kita punya masalah. Pada akhirnya, ketika masalah itu diakui, dan kita saling membicarakan isi pikiran kita, solusi itu ada. Jika tak ada solusi sekalipun, setidaknya kita jadi mengerti, apa yang kita suka dan tidak kita suka.
Walau tetap ada, satu dua orang yang sanggup membuat kita merasa nggak berharga.
Rasanya menyedihkan, ketika saya sudah mencoba membuka apa yang mengganggu pikiran saya, dan hanya dijawab dengan tawa, atau kalimat sangkalan yang pendek dan terasa seperti buru-buru ingin menyudahi percakapan. Saya mengerti kalau nggak semua orang peduli dengan perasaan orang lain. Saya sadar, apa yang orang lain rasakan mungkin nggak penting bagi sebagian orang lainnya.
Mungkin ada orang yang merasa ketika sesuatu yang Ia lakukan membuat orang lain kecewa atau sedih, bukan urusan dia. Atau mungkin hanya malas menjelaskan. Atau mungkin hanya males ribet dan terjebak dalam percakapan drama yang panjang dan bikin pusing. Banyak alasan lainnya. Setiap orang punya alasan sendiri.
Tapi… merasa tidak dihargai itu nggak enak.
Saya sadar, kadang saya bertingkah seperti orang yang tak peduli ketika saya sedang lari dari masalah atau sesuatu yang saya nggak suka. Tapi saya selalu menjawab jika ditanya “kenapa”. Well, kadang jawaban saya nggak jujur, karena ya… kadang masih males lah ngebuka perasaan sendiri. Tapi saya selalu berusaha memberi jawaban yang membuat lawan bicara saya tenang. Karena saya sadar, masalah itu bisa saja ada di dalam saya, bukan pada orang tersebut.
“Le, kayaknya lo akhir-akhir ini nyuekin gue, deh. Kenapa, sih?”
“Oh nggak, kok. Gue cuma lagi ribet sama deadline.” atau, “Masa sih? Duh, sumpah sori, gue nggak sengaja. Emang lagi nggak konek aja gue sama siapa-siapa.” minimal ada penjelasan, walau sebenarnya saya memang menghindar karena saya kesal sama orang ini.
Tidak dihargai lawan bicara itu pernah menjadi makanan saya dalam waktu yang lama. Ketika komunikasi tidak bisa berjalan dua arah. Ketika lawan bicara lebih senang membela diri dan menyalahkan saya daripada mencari solusi. Saya pikir hal seperti itu sudah cukup menyakitkan. Sampai saya mengalami yang namanya tidak diacuhkan atau ditanggapi dengan serius saat saya sedang membicarakan hal yang penting buat saya.
Bukan hal yang mudah sebetulnya, membicarakan hal-hal yang saya tidak suka. Saya yang mulai terbiasa lari dari hal-hal yang mengganggu pikiran saya, sudah mencoba untuk mengubah kebiasaan jelek itu. Pikir saya, hanya karena satu orang memperlakukan saya seperti sampah, bukan berarti semua orang akan seperti itu. Mungkin, cara komunikasinya saja yang harus diubah. Mungkin saya memang harus lebih jujur dan terbuka, karena sering segala sesuatu tidak sejelek yang kita pikirkan.
Saya salah.
Bagaimanapun, akan selalu ada orang yang tidak peduli pada perasaan orang lain. Satu atau dua, atau mungkin sebelas.
Kadang, ada hal-hal yang nggak bisa kita ubah. Kita nggak bisa menuntut orang lain bersikap dan menilai sesuatu sesuai standar kita. Kadang ada kondisi yang memang tidak bisa diubah, atau seseorang yang memang tidak bisa menghargai lawan bicaranya. Dari kondisi atau orang seperti ini lah, saya memilih untuk tetap melarikan diri.
Semua kondisi selalu datang dengan solusi, tapi jika melibatkan manusia, kadang solusi itu kabur karena ego. Salah satu alasan kenapa saya membenci sebagian jobdesk saya di kantor. Jika ada kesulitan dalam mendesain, saya hanya butuh waktu dan usaha untuk mencari solusinya. Namun jika ada kesulitan dengan klien atau graphic designer klien saya, sangat susah untuk mencari solusi. Karena desain bisa diatur, tapi manusia nggak.
Saya pikir-pikir lagi, wajar saja saya senang melarikan diri dari masalah atau orang yang membuat saya kesal atau sedih tanpa mencoba mencari solusi.
Karena kadang… lebih baik pergi tanpa menyelesaikan masalah daripada membicarakan perasaan saya pada orang yang tidak bisa menghargai manusia lainnya. Bukannya lega, malah jadi tambah sedih.
Seperti jawaban ask.fm teman saya:
How would you explain color to a blind man? — not as much harder than explain things to a blind-hearted man.
Aku pun demikian, Le. Malas banget ketika aku sudah terbuka dengan orang lain, mengeluarkan uneg-uneg atau hal-hal yang mengganggu pikiranku, dan mencoba untuk mengajak dia berdiskusi memecahkan masalah. Niatku baik. “Yuk, sama-sama kita cari solusi. Apa yang harus kita lakukan nih?” Untuk kemudian tidak mendapat tanggapan sama sekali dari orang tersebut. Dia malah cuek. Menganggap ini angin lalu. Kan jadi sebal…
Aku jadi sedih kalo digituin. Rasanya kayak disampah-sampahin :))
Padahal sebenernya nggak gitu ya…
Tapi padahal lagi, membuka diri itu pake perjuangan, loh.
Orang dewasa yang dicuekin anak kecil gak seharusnya ngerasa gak berharga. Kan ‘cuma’ anak kecil.
Yang mesti dipikirin itu kalo dicuekin sesama orang dewasa. Kenapa orang yang biasanya jantan dan respectful sampe nyuekin?
This is funny because you don’t know how ironic your comments are. Toward him, not you.
Gue gak mau deh sampe dicuekin sama lo. Hahahaha…
Dia pernah menilai gue sesuatu yang bikin komentar gue jadi ironis buat dia? Gak masalah. Setiap orang berhak bilang yang dia pikir.
Gak lah haha
“Karena kadang… lebih baik pergi tanpa menyelesaikan masalah daripada membicarakan perasaan saya pada orang yang tidak bisa menghargai manusia lainnya. Bukannya lega, malah jadi tambah sedih”
Benar sih mbak, paling nyesak kl kita lagi complain eh org yang di complain malah ga respon gitu, dianggap apa kita ini? 🙂
Dianggap sampah.
Gitu.