Ada beberapa hal yang baru-baru ini saya sadari. Ketika seseorang mengatakan sebaris kalimat pada saya, “Gue nggak ngarepin dia lagi, kok. Gue cuma masih marah sama dia.” (kira-kira begitu). Beberapa hari kemudian saya sadar, iya ya, saya juga merasa marah. Sampai hari ini ternyata saya masih marah. Kadang, ngobrol dengan orang lain, dan mendengarkan keluhan orang lain, bisa membuat kita belajar tentang diri sendiri. Kadang, pada orang ini, saya melihat refleksi saya, dan membuat saya jadi lebih mengerti diri saya. Masalahnya, saya belum tahu, seberapa marah kah saya saat itu.
Pada saat saya menyadari itu, kebetulan salah seorang teman saya nongol, dan kami mengobrol semalaman sambil menenggak bir masing-masing dua botol besar (kami sama-sama suka sekali bir). Awalnya dia hanya menanyakan kabar, kemudian bersama saya mentertawakan mantan-mantan, cerita ngalor ngidul, lalu saya membagi beberapa update dalam hidup saya.
Ternyata saya belum menceritakan beberapa detail tentang hal-hal yang sudah agak lama terjadi pada saya. Salah satunya bagaimana mantan pacar saya memperlakukan saya sebelum saya tahu ia berselingkuh. Ada beberapa kata-katanya yang menyakiti saya (oke nggak beberapa, sih, banyak), yang saya baru ingat karena kebetulan hari-hari sebelumnya saya menemukan banyak screen shots percakapan saya dengan mantan di handphone saya. Filenya sudah saya hapus, tapi saya sempat membaca beberapa dan itu terngiang di dalam pikiran saya.
Teman saya terdiam, dan menjawab pelan, “Oh, ternyata dia bajingan juga, ya, sampai bisa ngomong kayak gitu.” Saya terdiam dan baru teringat, oh iya, ya, dia memang bajingan. Kok, saya sempat lupa, ya. Teman saya memasang wajah tak percaya dan menatap saya dengan kasihan, “Kok dia bisa ya kayak gitu sama lo? Gue nggak nyangka.” Tentu saja teman saya nggak nyangka, dia kenal dengan mantan saya, tapi nggak sedekat itu. Tapi dipikir-pikir, siapapun yang dekat dengan dia, juga pasti nggak akan nyangka.
Saya menjawab, “Tapi mungkin yang paling bikin gue sedih, waktu dia ninggalin gue kehujanan sendirian di Kota Kasablanka. Padahal dia bilang dia lagi di Plaza Festival, yang jaraknya hanya sekilo dua kilo. Tapi dia nggak mau jemput gue karena lagi nongkrong sama teman-temannya.”
“Oh, yang barang-barang lo sampe pada hancur karena kehujanan dan jatoh di jalan?”
“Iya. Gue sampe nangis sendirian di jalan raya sambil kehujanan.”
Kami diam, lalu seperti tersambar kilat, saya teringat sesuatu, “Jangan-jangan dia bukan lagi sama temen-temennya di Plaza Festival, ya? Tapi lagi sama cewek itu…”
Teman saya diam, menatap saya dengan lebih kasihan.
“Kalau bener kayak gitu, sampah banget, ya, gue? Dia tega ngebiarin gue usaha nyari taksi di jalanan tengah malem sampe kehujanan dan barang-barang gue pada rusak cuma demi ngedate sama cewek lain yang dia baru kenal sebentar. Berjam-jam loh, gue berdiri sambil bawa barang segitu banyak dan berat.” Saya ingat waktu itu saya mencari taksi dari pukul 9 malam, dan baru dapat 3 jam kemudian. Ojek maupun angkot pun nggak ada karena waktu itu benar-benar hujan deras sederas-derasnya hujan. Kalau misalnya, dia mau jemput saya, saya nggak perlu berdiri di jalan raya sambil kehujanan demi mencari taksi. Saya bisa menunggu sambil duduk manis di kafe.
Kemudian saya melirik teman saya. Biasanya, jika topik mantan diangkat, teman-teman saya yang lain akan pasang ekspresi, “Oh come on, Le. Please stop!” Tapi dia nggak. Dia terus mengorek detail dan menanyakan perasaan saya. Dan dari membahas masa lalu, kami melanjutkan pembicaraan ke masalah perasaan. Apa yang saya rasakan saat itu, saat ini. Dia terus mengorek dan menimpali dengan kemarahan dan kesedihan yang sama dengan saya.
Dan pada caranya mendengarkan, membuat saya merasa berani mengeluarkan seluruh isi pikiran saya. Entah kenapa malam itu saya bisa menceritakan semuanya, mungkin karena sedikit terpengaruh alkohol, atau mungkin juga karena teman saya ini terlihat sangat peduli dengan keluhan saya dan wajahnya tidak menampakkan ekspresi menghakimi.
Malam itu saya baru sadar, kalau ternyata saya mempunyai pikiran-pikiran gelap. Saya ternyata memiliki kemarahan lebih besar dari yang saya kira. Saya bahkan mendendam. Sebetulnya saya nggak pernah mengira dari mulut saya akan keluar kalimat-kalimat kebencian, nggak pernah mengira saya menyimpan kebencian. Saya pikir saya hanya seorang yang sedih, ternyata saya juga seorang yang marah.
Selama ini saya mengira saya sudah move on, dan hanya kesal pada mantan. Iya lah. Sakit hatinya nggak sembuh-sembuh. Tapi saya sangat yakin saya sudah memaafkan mantan, sudah memaklumi kalau dia memang lebih cocok dengan selingkuhannya. Kalau memang ini jalan terbaik buat saya. Saya nggak lagi dipenjara oleh hubungan yang nggak pasti. Nggak ada lagi yang memaksa saya untuk bertahan tanpa kepastian. Saya kira, saya masih bersedih hanya karena kesepian, hanya karena belum terbiasa menjalani hari-hari tanpa mantan. Saya sangka, saya sedih karena saya tahu saat masih bersama dia saya sebenarnya cukup bahagia. Saya sedih karena saya jadi punya masalah dalam memulai hubungan dengan laki-laki lain; jadi paranoid sekaligus skeptis pada lawan jenis.
Ternyata, saya belum move on dari rasa sakit hatinya, dari kebencian dan kemarahan saya.
Saya nggak pernah marah dan berteriak, atau memaki, atau menampar mantan saya setelah saya tahu perselingkuhan yang dia lakukan. Saya hanya menangis. Kemudian curhat di blog, atau marah-marah di twitter. Tetapi ketika berdua dengannya, saya hanya bisa menangis, dan menyayanginya. Saya bahkan mencoba berbesar hati dengan mendengarkan curhatannya tentang selingkuhannya yang kemudian jadi pacar resminya. Walau setelah itu, tentu saja saya menangis sendirian di kamar hingga tertidur karena kelelahan.
Saya sampai lupa untuk marah. Dan baru sekarang saya sadari kalau marah itu ada pada saya.
Ketika bercerita dengan teman-teman yang lain, saya baru sadar kalau lama kelamaan saya hanya mengatakan hal-hal yang ingin didengarkan teman-teman saya. Oh, saya baik-baik saja. Saya sudah memaafkan dia, kok. Saya bahagia. Saya lega.
Tapi ternyata saya juga masih merasa marah. Saya marah untuk banyak alasan yang nggak bisa saya sebutkan. Tapi semua itu saya ceritakan pada teman saya. Mungkin dia satu-satunya orang, yang akhirnya, tahu pikiran-pikiran gelap saya. Saya sendiri bahkan nggak nyangka saya memiliki pikiran dan perasaan seperti itu sampai semua itu keluar dari mulut saya begitu aja tanpa saya rencanakan.
Saya melihat wajahnya.
Dan dia tidak menghakimi saya. Apalagi mentertawakan saya.
Saya bersyukur bertemu dia dan bisa melepaskan emosi-emosi negatif yang selama ini diam-diam bersembunyi entah di mana di dalam pikiran saya. Dia bahkan mengatakan sesuatu yang membuat saya jadi lebih mengerti perasaan saya sendiri; “Ya wajar lah, Le… lo masih berantakan, trus ketika lo kira ada seseorang yang datang menyelamatkan elo, orang itu malah bikin lo tambah rusak. Ibaratnya, nih, lo cuma tinggal sisaan, tiba-tiba yang sisaan itu malah masih juga dirusak orang lain.” – kalau lagi normal, mungkin saya akan ketawa sambil bilang, “EXACTLY!”
Sebenarnya cukup menyedihkan, sih, ketika saya sadar, perasaan sayang yang saya pernah punya sekarang berubah menjadi perasaan benci. Karena rasa benci dan marah itu jauh lebih kuat daripada rasa sayang dan sedih. Tapi lebih sedih lagi kalau saya harus pura-pura nggak kenapa-kenapa, pura-pura baik-baik aja, cuma biar nggak diketawain atau dimarahin teman-teman sendiri.
Iya. Jadi ternyata, saya nggak cuma sedih. Saya marah. Saya membenci. Sekarang saya mengerti. Nah, kalau sudah mengerti, mungkin habis ini bisa belajar untuk berhenti marah dan membenci. Ya kan?
I feel you, Le. Sangat sangat bisa merasakan. Sekarang ketika sudah tahu kita marah, kita harus terima kenyataan bahwa kita marah. Marah karena disakiti, dibohongi, diselingkuhi itu wajar. Dan tugas selanjutnya adalah membebaskan diri dari amarah tersebut. Belajar memaafkan. Which is not an easy task. I’m still working on it, too. 🙂
Aku bahkan kesulitan untuk define perasaanku sendiri ((=
“saya baru sadar kalau lama kelamaan saya hanya mengatakan hal-hal yang ingin didengarkan teman-teman saya”.
susah memang nemuin teman yang benar2 mau mendengakan cerita kita tanpa ada perasaan menghakimi apalagi menertawakan.
belajar dari situ, aku pengen berusaha nggak ngejudge temen2 aku sendiri. hehehehe…
“Iya. Jadi ternyata, saya nggak cuma sedih. Saya marah. Saya membenci. Sekarang saya mengerti. Nah, kalau sudah mengerti, mungkin habis ini bisa belajar untuk berhenti marah dan membenci. Ya kan?”
Iya betul bangeettzzz kak Lea, saya aja kalo lagi marah/benci paling lama dua hari abiz itu saling tegur sapa dan tidak membuang muka.. 🙂