Saya bukan tipe cewek yang harus tahu segala sesuatu tentang pasangan saya. Saya bukan cewek yang insecure, yang selalu penuh curiga. Saya terbiasa membebaskan pasangan, percaya sama pasangan, nggak peduli sama hal-hal remeh. Jarang nanya-nanya tentang pasangan saya sampai detail, ngorek-ngorek informasi dari teman-temannya, atau memantau social media pasangan saya terus-terusan. Selama saya bersama dengan pasangan saya, saya jarang ngutak-ngatik kehidupan dia. Saya selalu percaya. Kalau dia bilang A, maka benar itu A. Dia bilang B, ya berarti B. Kecuali kalo nanti ketahuan ternyata dia bohong. Tapi saya jarang nyari tahu.
Dengan Mr. X, misalnya, karena pacarannya cukup lama, saya tahu kapan dia bohong, kapan dia jujur. Tapi saya nggak pernah nyari validasi ketika saya tahu dia berbohong. Saya hanya bisa bertanya (atau menurut istilah dia, menginterogasi), dan dia juga bebas mau bohong atau jujur.
Di social media, saya tidak terkoneksi dengan mantan saya (waktu masih pacaran) di twitter maupun path. Begitupun dengan pasangan berikutnya. Saya tidak terkoneksi di facebook dan path.
Alasannya simpel aja.
Kalau dengan Mr. X, saya sering debat dengan dia karena dia tidak pernah menunjukkan statusnya sebagai pasangan saya di socmed. Selain itu, saya kesal melihat bahwa teman-temannya tidak menyadari bahwa Mr.X bukan jomblo. Saya mencoba membahas hal yang mengganggu saya ini, dan ujung-ujungnya kami bertengkar karena dia nggak mau mengerti keluhan saya. Akhirnya saya berhenti berkoneksi dengan akun socmednya, dan menganggap masalah selesai. Karena saya tidak perlu melihat dia beramah tamah dengan perempuan yang tidak saya kenal (atau bergenit-genit jika dilihat dari sudut pandang saya).
Dengan pasangan saya selanjutnya, saya melihat indikasi yang sama dengan Mr. X, dan daripada membahas, karena sudah pengalaman dengan Mr. X yang malah ujung-ujungnya berantem, saya lebih memilih langsung menghapus facebooknya dari friend list saya. Karena saya nggak mau pikiran saya terganggu dengan masalah yang menurut saya nggak penting.
Akhir-akhir ini saya baru sadar, ternyata apa yang saya lakukan mungkin salah. Karena itu saya jadi mudah dibohongi.
Misalnya ketika Mr. X mulai berubah. Saya tahu dia berubah. Tapi saya nggak pernah menyangka itu dikarenakan ada perempuan lain. Saya pikir… dia hanya berubah. Karena saya selalu percaya, dia nggak akan pernah selingkuh. Itu sesuatu yang saya bahas dengan dia berkali-kali. Saya selalu bilang, kalau sudah nggak sayang sama saya, silakan putuskan saya, asal jangan selingkuh. Dan Mr. X berkali-kali bilang, dia nggak akan pernah dan nggak akan bisa selingkuh dari saya. Maka saya percaya sama dia.
Sama seperti Mr. A, saya percaya sama dia. Saking percayanya sampai saya nggak mengindahkan peringatan-peringatan dari teman-teman saya. Saya mikirnya gini, saya lebih tahu dia, saya kenal dia, saya akan lebih percaya dia daripada apa kata orang. Dan saya nggak nyari tahu. Saya hanya bisa konfirmasi ke Mr. A, dan jika dia bilang iya, maka saya anggap iya. Jika tidak, saya anggap tidak. Karena… kalau saya nggak bisa percaya kata-kata dia dan malah nyari kebenaran dari orang lain, terus buat apa saya pacaran sama dia?
Buat apa saya pacaran dengan orang yang kata-katanya nggak saya percaya?
Teman saya bilang, harusnya saat saya baru dekat sama seseorang, sebelum saya melanjutkan hubungan tersebut ke arah lebih serius, saya cari tahu dulu. Dia siapa, sifatnya seperti apa, teman-temannya seperti apa. Cari tahu semuanya. Kalau ada yang mencurigakan, cari tahu, bukannya sekedar tanya langsung ke orangnya terus terima aja apapun jawabannya.
Saya sekarang paham kenapa Elia sering bilang saya naif. Karena saya memang naif. Saya selalu percaya tiap orang baik, saya selalu melihat the best in people. Padahal… nggak semua orang kayak gitu. Sekarang saya sadar. Semua orang, indeed, punya ulterior motives.
Teringat kata teman saya kemarin, “Seharusnya elo jangan langsung cepat percaya sama orang. Selidiki dulu.”
Dan melihat gimana mantan-mantan terakhir saya, saya sadar, temen saya bener banget. Dipikir-pikir, semua hal yang terjadi sama saya belakangan ini, disebabkan kesalahan saya juga. Saya terlalu percaya. Dan ketika orang-orang yang saya percaya membuktikan kalau mereka sanggup membohongi saya, saya malah jadi terlalu kecewa dan menyalahkan mereka.
Padahal, salah saya sendiri. Kenapa saya memberikan kepercayaan saya sama orang-orang yang niatnya jelek sama saya? Mungkin mereka juga mikir kalau nggak mungkin saya nggak tahu dan nggak sadar ada yang nggak beres. Ada yang salah. Iya, saya ngerasa sih, emang. Tapi saya selalu mikir, itu semua asumsi saya, dan saya merasa bersalah kalau nggak percaya sama pasangan saya. Kalau saya nggak percaya sama pasangan saya, terus ngapain saya bertahan sama dia?
Well, apparently, kepercayaan itu harusnya diberikan setelah orang tersebut membuktikan kalau dia bisa dipercaya. Bukan justru diberikan sejak awal, sampai akhirnya dia membuktikan kalau dia nggak bisa dipercaya.
Mungkin saya kebanyakan nonton Spongebob Squarepants 🙂
Trust is like an eraser, it gets smaller and smaller after every mistake gak berlaku dong yah kak?
BTW nih yang salah kan dia kok elo yang nyalah-nyalahin diri sendiri yah? *toast*
Tapi temen2ku bilang aku salah juga. Soalnya terlalu percaya, jadi nggak waspada. Makanya gampang ditipu, jadinya malah ngasi kesempatan buat orang2 ngerjain aku 😀
Perihal “percaya”, pas banget ya convo-nya Patrick sama Spongebob itu. Oiya, salam kenal, Mb.
Salam kenal 😀
Cerita yg mba tulis sama dgn apa yg saya alami. Yup, terlalu percaya dgn seseorang tanpa memperdulikan masukan nasehat omongan dari teman bahkan dari keluarga. Akhirnya semua itu terbukti, terlalu percaya dgn seseorang yg ngga taunya malah mengkhianati kepercayaan kita. Memberikan kepercayaan kpd org yg salah -___-