Sebenernya ini hal yang saya pertimbangkan berulang-ulang beberapa minggu belakangan ini. Saya nggak tahu kalau yang kayak ginian perlu diposting apa nggak. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk menceritakan ini. Tujuan saya sih, simpel. Buat bantu orang lain.
Jadi gini.
I’ve been seeing a psychologist lately.
Bukan karena saya gila, walau saya sadar, sih, saya emang keliatan agak kurang waras :p
Tahun lalu saya fucked up karena diselingkuhi pasangan saya yang telah tujuh tahun bersama saya. Saya lari ke alkohol, kerjaan berantakan, insomnia, mimpi buruk, berat badan berkurang 10 kg. Tempat saya bekerja sampai bikin meeting serius khusus untuk membahas buruknya performance saya di kantor. Saya pun dua kali dipanggil atasan karena kerjaan saya yang hasilnya nol, dan kebiasaan saya menangis dan murung di kantor.
Akhirnya saya melalui masa itu. Dan saya pikir sejak saat itu saya baik-baik saja.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa saya memiliki kemampuan yang payah banget untuk handle stress. Saya mudah stress, dan tidak bisa menanganinya dengan baik. Belum lagi saya memiliki trust issue yang gede banget pada pasangan-pasangan saya selanjutnya.
Long story short, saya nggak bisa hidup dengan santai. Karena ada sesuatu yang rusak di dalam diri saya.
Belakangan, saya mulai mengalami lagi insomnia, kesulitan makan, mimpi buruk, dan performa kerja menurun. Itu belum dengan gejala yang lainnya yang malas saya bahas. Dan yang paling membuat saya seram dengan diri saya sendiri adalah pikiran saya yang konstan untuk bunuh diri. Setiap hari, setiap jam, apapun yang sedang saya lakukan, itu terpikir. Saya merasa… I have all the rights to check out before my actual time. Saya bahkan sudah nggak peduli jika saya melakukan itu, akan menyakiti keluarga dan sahabat saya.
Karena alasan itu, saya memutuskan mencari pertolongan professional. Saya nggak tahan dengan pikiran saya sendiri. Saya sadar, cara saya berpikir dan menghadapi masalah, sangat tidak benar.
Di sesi pertama saya ketemu dengan terapis saya, saya sudah mendapatkan diagnosis dan mengetahui inti masalah saya. Saya dinyatakan depresi dan juga mengidap psychosomatic disorder, kondisi di mana saya mudah stress dan tekanan tersebut berefek ke tubuh saya. Saat itu saya baru sadar, pantas saya sering demam, gejala tyfus, sesak nafas, sakit kepala, maag, dan merasa sakit di dada. Jika diingat-ingat, saya selalu sakit ketika stress. Itu belum ditambah gejala lain seperti insomnia, anorexic, dan mimpi buruk. Itu ternyata termasuk gejala psikosomatik.
Dan inti masalah saya, ternyata berasal dari trauma masa kecil, dan pola asuhan keluarga yang salah (yes, i had a not-very-nice childhood phase :p), yang tanpa sadar berdampak sama saya hingga dewasa. Hal ini membuat saya memiliki cara yang berbeda dalam menyerap dan menerima masalah dalam hidup saya (jadi tolong ya, berhenti bilang saya galau permanen atau drama, hahahaha).
Untuk sembuh, kata terapis saya, saya harus belajar menyayangi diri saya sendiri, dan berhenti menyalahkan diri saya. Saya kaget pas denger itu. Karena emang bener banget, saya memiliki kecenderungan untuk menyalahkan diri saya ketika ada masalah/musibah. Akhirnya saya diberi sesi hypnotherapy dan diajarkan beberapa teknik agar saya lebih positif dan optimis.
Ternyata, psikolog itu bisa membantu kita.
Sekarang saya merasa lebih baik, walaupun saya masih suka sedih karena hal-hal nggak penting. Dan sekarang sedang mengalami batuk permanen. Well, kayaknya saya juga akan berhenti merokok, deh. Kalau sudah lebih jago menangani stress. Buat saya merokok itu katarsis. Satu-satunya yang bisa bikin saya merasa sedikit tenang ketika tertekan.
Menurut psikolog saya, saya sudah ada improvement. Dan mungkin hanya tinggal 1-2 kali konseling kalau kondisi saya nggak menurun. Dia harus memastikan saya benar-benar sembuh agar gejala saya tidak berujung menjadi depresi major. Emang ke psikolog itu nggak murah buat kantong saya yang pas-pasan. But hey, sakit emang nggak ada yang murah. Saya benar-benar ingin sembuh, and I am willing to do anything, literally anything, untuk membuat diri saya lebih kuat dan tahan banting.
Sebelum ketemu psikolog, saya pikir saya bukan sakit, tapi memang sifat bawaan lahir. Salah satu alasan saya ingin bunuh diri juga karena mikir begitu. Saya mikir, saya nggak akan kuat hidup kalau harus kayak gini setiap ketemu masalah. Mendingan mati aja lah. Tapi, kata terapis saya, kondisi saya ya penyakit. Dan penyakit itu bisa disembuhkan. Setelah mendengar itu, saya jadi jauh lebih optimis. Saya lega.
Sejauh ini, hanya satu kali perasaan ingin bunuh diri itu datang. Ketika saya lagi minum-minum dengan teman-teman saya. Saya mikir, what’s the point. Harus ketemu orang dan ngobrol dan sosialisasi. These kind of things are tiring. Mendingan mati aja, biar gak usah repot-repot sosialisasi sama manusia. Dan kata terapis saya, itu tetap perkembangan. Seenggaknya pikiran itu nggak muncul setiap hari setiap jam.
Well. Bener juga.
Saya bersyukur saya mengambil keputusan untuk mencari professional help. Apa yang nggak bisa saya selesaikan berbulan-bulan, bisa berubah jadi lebih baik hanya dalam beberapa minggu.
Nah, setelah kalian baca ini, mungkin bisa membantu teman-teman yang butuh. Tapi, kalau ada teman saya yang baca ini, saya harap (PLEASE BANGET) kalian nggak meminta saya menceritakan soal kondisi dan sesi terapi saya ketika kita bertemu/chatting π
Selain itu, curhat itu penting. Kalau ada masalah, biasakan curhat, ya. Tapi ketika curhat nggak membantu, dan kondisinya sudah berbulan-bulan, itu adalah saat yang tepat untuk mencoba konsultasi dengan psikolog. Ingat, ke psikolog nggak berarti sakit jiwa. In the end, sebenarnya semua manusia sedikit sakit di dalam kepalanya. Bedanya, ada yang bisa handle, ada yang cuma sementara, namun ada yang sampai mempengaruhi kesehatan tubuh, pekerjaan, dan hubungan dengan orang lain. Nah, jika sudah mempengaruhi tiga hal itu, saya anjurkan, pergi ke psikolog.
Dan untuk orang-orang yang meremehkan depresi karena kalian nggak pernah merasakan, tolong baca ini.
Aku belum siap dana buat ke psikolog, Kakak. :’) Tapi someday, bakal ke sana jg. Kadang orang gak ngerti, nganggep kalau CUMA depresi, jd gak bs peka sama mrk yg depresi. Okay, mereka yg depresi kelihatan egois, tapi sbnrnya dr lubuk hati terdalam mrk tuh gak mau kayak gitu.
Semangat, Kak Lea! Tetep rajin “ngedumel” di Twitter. π
Aku bingung sebenarnya gejala depresi yang kamu rasain kayak gimana. Tapi kata terapisku, sebaiknya jangan rely on self-diagnose untuk menyatakan diri depresi. Ya jadinya kayak aku. Kirain depresi doang. Ternyata psikosomasis.
bingung mau komen apa, tp saya senang dirimu lebih baik dari ‘sebelumnya’, smoga bisa tetap menikmati dunia ini Le ..
AMIN OM! π
Waah udah ada kemajuan ya Mbak. π³
Syukurlah.
Eh tapi, saya bener2 menyarankan utk berhenti merokok lho.
Pasti sekarang memang susah Mbak. Tapi, kalo udah berhenti merokok, saya yakin kehidupan Mbak akan berubah. π Badan jadi lebih segar, nggak mudah ngos2an dan nafsu makan jadi lebih baik. π
Rokok sih, pasti berhenti. Kalo gak bisa brenti, aku pergi ke tukang hipnotis aja. Biar dihipnotis jadi nggak suka rokok :p
Setuju. Saya dulu juga pernah jadi perokok Mbak, pas masih S1. Biasalah, ngikut temen2. Tapi saya ga bertahan lama, cuma 3 bulan. Lama2 rasanya gak enak di mulut. Keren sih keren, tapi gak enak. Hahahahaha π
Semoga segera membaik ya, kak.
My ex bertrayed me too and I’m really screw up -_-
But, I found this blog and read about your experience too.
Bagaimana mengatakannya, tapi membaca pengalamanmu membuat saya seperti terbangun dan benar benar berusaha untuk move on dari si mantan.
Yeah, kalau sekarang kira kira udah 50% move on.
Terima kasih atas bantuannya secara tak langsung.
Semoga segera membaik π
Semoga kamu juga cepat membaik dan 100% move on ya π Makasih doanya. It means a lot.
Bole minta contact psikolognya gak? Lagi cari psikolog juga