Beauty, Beauty, and Beauty.

“Gue nggak percaya yang namanya Brain, Beauty, and Behaviour. In the end, yang paling penting itu cuma Beauty, Beauty, and Beauty.

Those lines hit my head.

“Gue pernah ada di posisi ngerasain yang namanya kerja mati-matian. I tried my best. Tapi in the end, yang posisinya cepet naik adalah anak baru yang modalnya cantik doang. Kita nggak pernah lihat hasil kerjanya apa, karena dia selalu ada di dalam ruangan bos. Selalu pergi ke mana-mana sama Si Bos. Tahu-tahu udah naik jabatan.”

It’s unfair. Tapi kenyataannya gitu. In the end, beauty is the only thing that can get you to places.

Ini hal yang nggak bisa saya sangkal. Kalimat-kalimat seperti “It’s beauty on the inside you that make you special.” atau istilah “Beautiful mind is better than beautiful face.” itu omong kosong.

Contoh di atas adalah curhatan seseorang, dan emang saya sadari sering kejadian.

Misalnya tante saya pernah cerita. Beliau pernah bertemu kandidat pegawai yang cerdas dan secara kemampuan sebenarnya layak untuk mengisi posisi akunting yang dia butuhkan. Masalahnya adalah, kandidat ini gendut, pendek, dan berkulit gelap. Sementara, di perusahaannya, penampilan menarik juga masuk dalam standar. Nggak perlu sampai cantik, sih. Tapi setidaknya proporsional.

Pada akhirnya beliau tidak menerima pelamar tersebut. Hanya karena penampilannya.

Atau dalam rumah tangga. Seberapapun seorang wanita mengabdi pada suaminya, menemani sejak masih susah, menyayangi tanpa syarat, pada akhirnya akan selalu kalah dengan wanita yang lebih cantik dan lebih muda. Apalagi kalau masih pacaran. Dadah babay, deh.

Saya sendiri merasakan, kok. Ketika saya mulai memperhatikan penampilan saya, saya mendapat beberapa perlakuan spesial yang sebelumnya tidak saya dapatkan. Mobil BMW yang berhenti di tengah jalan untuk membiarkan saya menyeberang, lelaki yang menghampiri meja saya dan mengajak kenalan ketika saya sedang minum bir bersama adik saya, orang asing yang tiba-tiba menghampiri saya dan mengatakan saya cantik saat sedang berbelanja di hypermarket.

Atau teman-teman lelaki yang dulu tidak pernah menganggap saya perempuan tapi belakangan tiba-tiba mendekati saya dan ngajak ngedate setelah berat badan saya berkurang dan saya belajar memakai lipstik (like hell gue mau jalan sama mereka setelah bertahun-tahun suka becandain lipetan di perut gue dan ngeluh gue gendut).

Walau tentu saja saya masih jauh dari kategori cantik. Dengan tubuh gemuk, perut bleweran kemana-mana, kulit legam, rambut seperti sarang tawon, wajah yang senantiasa berminyak.

Bayangkan jika saya kurus langsing, toket gede, memakai dress manis, rambut halus dan lemas, serta wajah mulus seperti pantat bayi. Mungkin instead of cuma berhenti buat ngasi jalan, saya bakal diajak jalan sama orang yang punya mobil BMW.

Mungkin itu nggak enaknya jadi perempuan. In the end, kebanyakan orang akan memperlakukan elo berdasarkan penampilan lo. Even sesama perempuan juga sering bersikap lebih “manis” sama mereka yang berpenampilan lebih menarik.

(Tapi menurut saya sangat nggak adil ketika seorang cewek menjadi judes sama cewek lain yang lebih cantik. Bukan salah mereka lah kalau mereka lebih jaga makanan, olah raga, dan memperhatikan penampilan. Please, deh. Do something about yourself instead of sirik dan nyari kelemahannya buat dijelek-jelekkin.)

Dan salah satu yang paling fucked up adalah ketika elo merasa harus selalu cantik untuk menjaga hubungan lo dengan pacar/suami lo. Saya melihat perempuan-perempuan yang bela-belain perawatan jutaan dan fitness di antara jam kerja mereka yang kayak orang gila demi menjaga keharmonisan rumah tangga. Masalahnya, segimana juga elo berusaha cantik, selalu ada perempuan yang lebih cantik lagi dari elo.

 

Nggak lama sebelum teman saya ini curhat soal Beauty, Beauty and Beauty, seseorang juga mengatakan kepada saya bahwa sebaiknya saya ngurusin badan, apalagi perut saya yang membuncit sejak pulang berlibur. Itu malah bikin saya jadi inget mantan yang selingkuh sama cewek yang lebih kurus dan cantik dari saya. I really like him. The guy who told me that. Tapi quite painful untuk mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulutnya.

So i decided to cut him off.

Jika saya harus jadi cantik agar pekerjaan saya dihargai di tempat saya bekerja. Jika saya harus jadi cantik agar orang-orang yang saya temani atau saya suka bisa memperlakukan saya lebih baik, mending saya jauh-jauh dari mereka. Berusaha memperbaiki diri memang penting, itu saya akui. Tapi saya nggak akan memperbaiki diri saya untuk orang-orang seperti mereka. I’ll do that only for my own satisfaction.

 

 

Published by

macangadungan

Fulltime Dreamer

5 thoughts on “Beauty, Beauty, and Beauty.”

  1. Sepakat, Le. Menjadi pintar dan punya kepribadian menarik itu penting. Tapi, tidak kalah penting juga punya penampilan yang menarik. Karena sudah kodratnya manusia memang senang sama yang bening. Gak usah dipungkiri. Aku juga lebih senang melihat diriku sendiri yang rapi dan enak dilihat. Kalau cantik mah yah ini subjektif. Aku mana tahu aku ini cantik atau gak. 😆

    Intinya demikian. Aku belajar dandan, pakai baju bagus, lebih memperhatikan penampilan karena aku senang melihat diriku sendiri pas di depan kaca. Bikin senyum. Bikin level kepercayaan diri jadi meningkat. Efeknya lagi kalau sudah PD, auranya otomatis keluar kan. And other things will follow.

  2. baru-baru ini ada temen yang curcol di wa sama gue ketika gue nanya, “kangen ga kerja lagi” ? dia jawab, “gue bukan kangen kerjanya, tapi karena gue kangen berasa cantik lagi ketika lagi kerja”. 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s