Hampir setahun lalu, saat saya mulai membahas tentang depresi sedikit demi sedikit, saya belum menemukan banyak artikel berbahasa Indonesia yang membahas depresi secara personal, bukan secara klinis. Terutama di twitter.
Ketika saya dalam fase depresi major, saya banyak googling soal gejala dan cara penyembuhannya. Itupun saya masih belum yakin 100% bahwa saya memang mengidap depresi. Artikel berbahasa Indonesia kebanyakan membahas depresi secara klinis, atau menceritakan keadaan pasien. Ada juga artikel tanya jawab konsultasi yang diinisiasi pakar-pakar psikolog. Namun banyak yang tidak update. Saya mengirim email, tidak dibalas. Postingan pun tidak di-update sejak lama.
Jika ada postingan blog, kebanyakan adalah orang-orang yang sedang bersedih dan mengaku depresi. Saya mencocokkan gejala saya dengan mereka, kok beda jauh banget. Kenapa mereka nggak kayak saya? Akhirnya saya memutuskan mencari artikel berbahasa Inggris saja, dan saya menemukan banyak sekali blog personal yang membahas depresi mereka secara detail. Begitu juga tips dan trik dari mereka untuk melawan depresi. Yang sialnya saya ikuti tanpa ke dokter dahulu.
Akhirnya saya hidup dalam depresi nyaris selama 2 tahun. 2 tahun yang melelahkan. Sampai akhirnya saya memutuskan ke psikolog.
Kini depresi sudah biasa dibahas di socmed. Mungkin karena ada beberapa komunitas yang fokus pada kesehatan jiwa yang mulai aktif. Padahal setahun lalu saya tidak menemukan mereka di halaman google. God bless them!
Tapi seiring banyaknya orang yang membahas soal depresi, saya juga mendapati banyak yang masih salah kaprah soal penyakit mental yang satu ini.
Berikut ini beberapa salah paham soal depresi. Dan mohon diingat. Saya membahasnya dalam kapasitas sebagai penderita depresi, bukan sebagai ahli.
1. Depresi = Sedih Berkepanjangan
Sedih dan depresi itu beda. Beda jauh. Pada depresi, ada gejala-gejala lain yang mengikuti selain galau dan murung; perubahan nafsu makan, masalah tidur, gelisah, suicidal, kecenderungan mengasingkan diri, abusing alkohol, perubahan berat badan yang drastis, rasa sakit pada tubuh, dan masih banyak lagi. Dan depresi tidak selalu datang karena ada masalah. Tolong diingat. Kadang depresi datang begitu saja seperti maling, kemudian mencuri semangat hidup kami. Ketika depresi datang, justru kami menjadi sedih akan semua hal. Atau malah sebaliknya, kami nggak bisa merasakan apapun. Makanan nggak ada rasanya, hobi kami jadi tidak menarik, kami melupakan hal-hal yang kami sukai, bahkan kehilangan hasrat seksual.
2. Curhat dan Yoga Bisa Menyembuhkan Depresi
Curhat memang bisa membantu melawan depresi. Karena salah satu yang dibutuhkan pengidap depresi adalah merasa didengar dan dimengerti, melawan perasaan bahwa kami hanya sendirian di dunia ini. Yoga juga bisa membantu, bagi sebagian orang. Ada juga malah yang nggak ngefek pake yoga. Karena setiap orang punya pengalihan yang berbeda. Untuk saya, berenang lebih membantu daripada yoga.
Tapi kegiatan tersebut tidak dapat menyembuhkan depresi. Seperti misalnya kalau kamu sakit tyfus. Curhat, dan yoga, atau berenang itu kayak makan bubur, minum air hangat, sebatas membantu kita merasa lebih baik, nggak lebih. Hanya obat dan istirahat yang bisa benar-benar membuat kamu sembuh.
3. Orang yang Depresi Pasti Malu Mengakui Penyakitnya
Kalau kamu googling soal depresi, kamu akan menemukan banyak banget pengidap depresi yang secara terbuka membahas penyakit mereka.
Kenapa? Mungkin karena alasan yang sama dengan saya.
Ketika saya depresi, saya makin down menyadari bahwa hampir tidak ada orang yang mengerti kondisi saya. Saya sampai nyaris putus asa mencari tempat berbagi atau minimal informasi yang bisa membantu saya. Membaca blog para pengidap depresi merupakan semacam oase untuk saya. Saya merasa ada yang mengerti saya. Saya merasa terbantu dengan artikel-artikel mereka, termasuk tips yang mereka bagi.
Karena itu, saya terbuka perihal depresi saya, untuk berbagi dengan orang-orang yang merasakan apa yang saya rasakan. Saya tidak ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan dulu. Putus asa sendirian dan merasa tidak dimengerti. Tidak mendapatkan informasi yang dibutuhkan tentang apa yang saya rasakan.
Di lain pihak, saya nggak pernah sharing soal ini di facebook. Karena di facebook ada saudara dan tetangga. Ya, saya sendiri masih takut pada stigma dari orang-orang tertentu. Saya nggak ingin tetangga atau keluarga besar saya tahu. Karena saya takut dianggap “miring”. Saya takut orang lain juga memandang orang tua saya sebagai orang tua yang tak becus. Saya juga takut jika suatu saat saya pindah kerja, perusahaan baru nanti tidak bisa menerima kondisi saya.
Jadi jawabannya antara ya dan tidak. Untuk di beberapa kondisi, kami tidak malu mengakui mengidap depresi. Tapi mungkin di lingkungan tertentu, kami malah takut banget orang lain tahu.
4. Orang Depresi Selalu Terlihat Emo dan Galau
Seperti yang saya bilang di postingan sebelum ini, kenyataannya pengidap depresi justru sering terlihat aktif dan ceria. Tapiiii… kalau ini depresi major, memang nggak selalu terlihat seperti itu. Bisa aja dia nggak mau keluar kamar 3 bulan, atau terus-terusan membicarakan bunuh diri, atau mengasingkan diri, menangis terus-terusan, atau mabuk-mabukkan tanpa kontrol selama berbulan-bulan. Tapi pada intinya, jangan pernah termakan dengan akting-akting di televisi. Depresi lebih rumit daripada itu.
Pengidap depresi justru pejuang, kami nggak mau terjebak di dalam kondisi seperti ini terus menerus dengan whining, fokus membahas kesedihan kami, apalagi minta dikasihani. Memang sesekali kami drop dan murung. Tapi itu kami lakukan bukan dengan sengaja, bukan karena kami menikmati kesedihan kami. Kami simply kehilangan kemampuan untuk mengontrol pikiran-pikiran negatif atau mengalihkan ke hal lain. Apa yang biasanya berhasil bikin tenang, bisa jadi tidak berefek apapun, dan itu malah bikin kami tambah “down”.
–
Saya sadar, orang yang nggak pernah depresi nggak akan bisa mengerti kayak apa rasanya. Tapi karena itu lah saya menulis artikel kayak gini. Biar semakin banyak orang yang mengerti, semakin banyak yang aware.
Semoga mereka yang memiliki teman yang sedang depresi, bisa lebih mengerti kondisi pengidap depresi. Tidak menghakimi apalagi mentertawakan (saya soalnya sempat diketawain dan dijadiin bahan ejekan oleh teman-teman saya sendiri).
Dan saat ada seseorang yang nggak sadar dirinya depresi kemudian mencari jawaban di internet, mudah-mudahan dia nyasar ke blog ini, kemudian mengerti kalau dia nggak sendirian.
Syukurlah yaa, Lea sudah jauh lebih baik. 🙂
Semoga semakin tambah baik keadaannya ya, kak 🙂