Saat saya masih duduk di bangku kuliah, saya pernah terbangun satu malam dengan perasaan begitu sedih dan kesepian, entah kenapa. Kemudian saya turun ke lantai satu dari kamar saya di lantai dua. Mengetuk pintu kamar orang tua saya, kemudian dibuka oleh ibu saya. Saya menangis sambil meminta untuk tidur dengan mereka, malam itu saja. Ayah saya marah dan menyuruh saya kembali ke kamar. Saya menangis sambil mengemis-ngemis agar bisa tidur bersama ibu saya. Jika tidak boleh tidur bersama mereka, minimal ibu saya mau tidur menemani saya di kamar saya.
Yang terjadi malah orang tua saya menutup pintu kamar sambil ngedumel, meninggalkan saya menangis-nangis di depan pintu mereka tengah malam. Usia saya saat itu 19-20 tahun, terlalu tua untuk merengek seperti itu tanpa alasan yang jelas.
Saat itu saya tidak tahu apa depresi. Saya pikir depresi sama dengan gila. Dan tidak pernah terpikirkan bagi saya bahwa apa yang saya lakukan bisa saja merupakan gejala depresi. Saya pikir, saya hanya seorang anak perempuan yang sensitif.
Saya memulai terapi sekitar Oktober-November 2015, berhenti di Januari 2016, padahal sebenarnya terapi saya belum selesai (kesalahan besar, jangan ditiru). Dari sesi terapi, saya diberi tahu bahwa kecenderungan depresi saya sudah ada sejak remaja.
Saya baru memberi tahu orang tua saya (tepatnya ibu) tentang kondisi saya pada pertengahan 2016. Namun saya tidak menceritakan isi terapi dan diagnosa dokter tentang sumber depresi saya. Saya belum siap untuk cerita soal itu.
Ibu saya menanggapi begini, “Mama sudah curiga ada sesuatu dengan kamu sejak dulu. Kamu dari dulu nggak bisa stress. Kalau lagi banyak pikiran, sikap kamu berubah banget. Kamu ingat, nggak, dari dulu mama suka bilang ke kamu, ‘Jangan stress, jangan banyak pikiran’? Soalnya mama khawatir ngeliat kamu suka panik sendiri.” – kira-kira seperti itu. Bukan dengan nada menghakimi, melainkan dengan penuh pengertian.
Beberapa hari sebelumnya, saya pulang dari kantor dalam keadaan yang begitu sedih. Saya mematikan lampu, menangis sambil berpikir ingin mati saja. Saya sempat ngetwit di akun twitter protected milik saya, sempat chatting dengan satu dua teman dekat, mengucapkan hal-hal yang ngelantur. Kemudian saya tidak tahan dengan pikiran saya sendiri, saya memutuskan menelan dua butir obat tidur agar bisa lelap dan melupakan semua pikiran saya. Paginya saya bangun dengan perasaan jauh lebih baik, saya bahkan tidak terpikir lagi soal bunuh diri. Mood saya kembali baik. Dan saya menyesali apa yang saya lakukan malam sebelumnya. Saya menyesal sudah ngetwit soal bunuh diri, saya menyesal sudah menghubungi teman-teman saya dan ngomong ngelantur. Menyesal sekaligus malu.
Hari ini, teman saya datang ke kosan. Tidak sengaja dia membaca satu halaman jurnal harian saya. Yang berisi pikiran-pikiran gelap saya. Ia menanyakan pada saya, mengapa saya menulis seperti itu. Saya jawab, saya menulisnya saat sedang dalam keadaan depresi. Saat ini saya tidak berpikir seperti itu, karena saya sedang baik-baik saja.
Lalu teman saya menjawab, “Yaelah, Le. Malah nyalahin depresi.”
Saya tertawa, tapi sebenarnya responnya membuat saya merasa malu dan bersalah.
Saya tidak ingin menjadi orang yang sedikit-sedikit nyalahin depresi. Saya nggak ingin menjadi orang yang bertingkah aneh, kemudian mengatakan “Itu bukan saya, itu depresi saya.”
Di postingan sebelum ini, yang saya tulis dalam keadaan down/bad days/relaps (you name it, tapi kalau boleh jujur saya nggak mau pakai kata relaps), saya menyalahkan mantan saya atas kondisi depresi ini. Di kondisi yang lebih baik, seperti sekarang, saya menolak menyalahkan dia. Saya tidak mau menyalahkan orang lain atas kondisi mental saya.
Dalam kondisi baik-baik saja seperti ini, saya nggak merasa mantan saya punya salah sama saya. Saya merasa bahwa ya shit happens. Deal with it and move on.
Jujur, roller coaster emosi ini melelahkan buat saya. Tapi saya nggak mau jadi orang yang sedikit-sedikit menyalahkan depresi. Saya menolak menjadi orang yang melebih-lebihkan keadaan saya dan memposisikan diri saya sebagai korban.
Teman saya yang tadi tidak sengaja membaca jurnal saya, sempat mengatakan begini, “Serem juga ya kalo nikah sama lo. Harus ngadepin lo yang kayak gini. Kalo lo lagi kumat gimana coba?”
To be honest, I’ve been thinking about that for months. Tapi ketika ada yang mengucapkan itu pada saya, rasanya seperti ditampar. Bagaimana mungkin saya bisa menemukan pasangan yang bisa menerima saya dengan kondisi saya seperti ini? Saya nggak mau jadi perempuan yang whining; “Kamu harus mengerti saya. Kamu harus mengerti bahwa saya melakukan ini karena depresi.”
But i’m going to deal with it. It’s ok if i can’t find anyone who gets me. Nggak ada orang yang perlu bertanggung jawab dengan keadaan saya.
My depression doesn’t define me. Dan saya nggak mau membiarkan hal itu juga. Saya minta maaf pada semua sahabat saya yang mendengar saya menangis tengah malam, menerima chat-chat ngelantur saya, atau yang chat, telepon, dan ajakkan nongkrongnya justru saya diemin karena saya sedang ingin sendiri. Saya menolak untuk bilang, “It’s not me, it’s my depression.”
It’s not my depression. It’s me, fighting my depression. And i am NOT my depression.
Le, ayo terapinya dilanjutin sampai tuntas.
Iya, aku baru mo janjian lagi sama dokter ini.
Jadi pengen tau lebih tentang depresi. Terima kasih.
Menurutku artikel-artikel berbahasa Indonesia tentang depresi kurang akurat. Tapi katanya depresi itu bukan hal yang langka. Sebenarnya banyak banget yg ngalamin, tapi karena kita nggak terbiasa dengan psikolog gitu2 makanya banyak yang nggak sadar kalau sebenarnya dia depresi.
Temen lo yg ngomong gitu, kalo ngomong ke gue pasti gue senyumin. Iya, gak tau mau bales apa soalnya. Tapi diem-diem hati gue teriris, luka. x)))
By the way Bipolar disorder yang kamu miliki tipe berapa 1 atau 2? kalau sudah confirmed bipolar disorder kuncinya memang di treatment. Tetep semangat ya 🙂
Aku diagnosanya depresi dan psikosomatis. Bukan bipolar. Sekarang udah sembuh, kok 🙂