“What happened in 2014?”
Sebuah pertanyaan di sesi meeting review performance kerja saya. Atasan saya memasang wajah bingung. Bingung karena menurutnya performance saya selama ini tergolong bagus, stabil, target-target saya tercapai, peningkatan terlihat jelas. Performance tahun lalu pun sangat baik dan melampaui target. Tapi kantor principal menolak rekomendasi naik jabatan saya dengan alasan mereka takut saya kembali seperti tahun 2014.
Dan sejujurnya, ini adalah tahun kedua kenaikan jabatan saya ditunda.
Sejauh apapun saya melangkah, sebagian hidup saya tetap tertahan di tahun 2014.
Saya memberi sedikit penjelasan bagaimana performance saya di kantor saat itu hancur berantakan karena depresi yang tidak ditangani professional. Depresi yang tidak saya sadari. Saya baru kembali normal dan bahkan jauh lebih baik sejak ke psikolog dan mendapat penanganan. Kebetulan atasan saya ini baru menjabat setahunan, dia tidak tahu keadaan saya waktu depresi.
Saya paham, orang yang nggak pernah menderita depresi nggak akan mengerti bagaimana depresi bisa mempengaruhi hidup seseorang. Dan saya harus hidup dengan track record yang menunjukkan bahwa saya pernah menjadi manusia gagal. Alasan yang sama membuat saya sedikit takut menyeberang ke perusahaan lain. Saya takut sesuatu terjadi dan depresi saya kembali relaps.
Depresi dan sedih/stress adalah kondisi yang jauh berbeda. Dan saat itu saya kira saya hanya sedang dalam masa bersedih, saya belum sadar itu depresi.
Awalnya, yang saya rasakan adalah tidak sanggup konsentrasi. Karena komunikasi di kantor saya kebanyakan menggunakan Bahasa Inggris, saya mulai kesulitan menerjemahkan semua email-email itu. Kemudian, pekerjaan saya yang fokus pada memberikan creative review dan creative brief, sangat menuntut konsentrasi tinggi. Sebuah problem yang bisa saya selesaikan dalam setengah jam, saat itu baru bisa saya selesaikan dalam 4 jam karena saya tidak bisa konsentrasi, tidak mampu memikirkan solusi, kemudian disela dengan breakdown – menangis tanpa kontrol.
Saya sering hanya menatap kosong pada monitor, kemudian menangis, kemudian melamun, kemudian menangis.
Kemudian saya mudah lupa. Saya tidak bisa mengingat apa yang harus saya kerjakan. Saya tidak bisa mengingat apa deadline saya. Saya mencoba melawan dengan membuat to-do-list, reminder, catatan kaki. Mulai dari membuat list di kertas yang saya letakkan di atas meja, kemudian mengulang catatan yang sama di post-it note dan memasangnya di samping monitor, ditambah dengan mengulangnya lagi di handphone. Tidak berguna.
Semakin parah, saya lupa pada jadwal-jadwal meeting dan janji-janji nongkrong dengan teman. Beberapa meeting penting saya lewatkan, padahal saya sudah pakai reminder. Janji-janji nongkrong saya batalkan karena lupa, padahal sudah ada remindernya di kalender saya.
Saya tidak makan, tidak tidur, merokok 2 bungkus sehari, minum kopi 5-6 kali sehari, malamnya minum alkohol dengan harapan bisa tidur – kemudian tetap tidak bisa tidur. Berat badan hilang 10kg dalam 2 bulan.
Saya pikir kesedihan saya sementara. Tahu-tahu sudah 6 bulan saya hidup dalam kondisi seperti itu. Dan banyak pekerjaan yang terbengkalai. Masalah sekecil apapun di kantor, membuat saya panik dan menangis.
Hubungan pacaran saya pada masa itu terjadi karena emotional dependency. Saya butuh merasa disayang, diperhatikan, saya butuh merasa berharga. Untuk kemudian saya sadari, berakhir dengan menyayangi orang-orang yang salah. Dan itupun membuat pekerjaan saya terganggu. Cowok-cowok yang posesif menuntut waktu saya terlalu banyak. Saya menikmatinya saat itu karena saya butuh merasa diperhatikan. Sikap-sikap posesif membuat saya merasa disayang.
Ketika saya mengira bahwa saya sudah tidak sedih lagi, karena saya jatuh cinta dan merasa disayang, saya semakin tidak menyadari gejala depresi saya. Saya tidak menyadari bahwa saya masih sulit konsentrasi dan sering lupa. Saya pikir itu kondisi normal. Pekerjaan saya membaik, saya berpikir itu cukup, dan tidak memperhatikan gejala-gejala yang masih saya alami setiap harinya. Pada masa itu, performance saya sudah jauh lebih baik.
Setelah saya ke psikolog lah baru saya bisa melihat semuanya dengan lebih jelas. Bahwa kesulitan konsentrasi itu menunjukkan bahwa saya masih “sakit”. Emosi saya yang tidak stabil, perasaan kesepian dan tidak berharga yang permanen, dan pikiran-pikiran bunuh diri, bukanlah sesuatu yang dimiliki seseorang dalam kondisi normal.
Pada titik ini, saya merasa “sembuh”. Tidak hanya dari segi kecepatan bekerja, kualitas desain yang saya buat pun jauh lebih baik. Ketelitian dan kemampuan saya mencari solusi pun sering membuat rekan kerja salut. Solusi-solusi yang saya buat semakin praktis namun detail. Berkali-kali saya mendapat pujian tertulis di email.
Sayangnya, itu nggak cukup.
Pada akhirnya kondisi saya di tahun 2014 akan kembali dibahas. Padahal 2016 sudah mau habis.
You know, saya nggak bisa nyalahin orang yang memicu depresi saya. Walau seberapapun saya ingin melemparkan kesalahan padanya. Walau banyak kerusakan yang nggak bisa saya perbaiki karena dia. Saya di sini terseok-seok dan harus berusaha membuktikan bahwa saya sudah tidak “rusak” lagi, saat dia enak-enakan menikmati kehidupannya.
Tahun akan berganti yang ke-tiga kalinya. Namun sebagian hidup saya berhenti di tahun 2014, sebagian diri saya tertinggal di sana. Dan hidup saya setelahnya adalah perjuangan mengejar waktu yang hilang, dan memperbaiki kerusakan yang terlalu parah.
Saat merayakan ulang tahun ke-30 kemarin, saya terpikir, saya masih berada di titik yang sama dengan 2014. Depresi saya belum sembuh benar, tidak punya hubungan yang settle, karir stagnan, belum ada pencapaian berarti dalam hidup.
Jika semuanya berbeda, akankah saya yang sekarang sudah menjadi seorang wanita karir yang sukses, menikah, dan memiliki anak? Tanpa depresi, tanpa trauma, tanpa ketakutan pada komitmen dan pernikahan, tanpa kebiasaan menyabotase kehidupan saya sendiri, tanpa kegagalan di karir.
Sungguh fatal efek dari menyia-nyiakan waktumu dengan orang yang salah, menaruh kepercayaanmu pada orang yang salah.
Semoga tahun 2017 lebih baik dan dimudahkan dalam segala urusan, Kak 🙂