Tentang Lelaki yang Saya Cintai Apa Adanya

Sudah 44 hari sejak Papa pergi.

Banyak hal yang nggak pernah sangka-sangka akan terjadi dalam hidup saya, hal yang nggak pernah terpikir. Salah satunya adalah kepergian Papa.

Papa saya mengalami stroke sejak tahun lalu, ini stroke ke-3, dan serangannya cukup berat. Papa menderita dementia sekaligus lumpuh sebelah. Papa kehilangan kemampuan berkomunikasi dan menelan makanan karena lidahnya kaku. Papa juga kehilangan pendengaran dan penglihatan sebelah.

Pertama kali saya melihat Papa di rumah sakit akibat serangan stroke ke-3 ini, saya patah hati. Papa tidak bisa bicara, sempat tidak mengenali saya, dan bertingkah aneh. Hanya menatap saya dengan tersenyum lebar, diajak bicara apapun tidak mengerti. Ketika semua orang pulang dan tinggal saya sendiri menjaga Papa, saya menangis diam-diam tengah malam. Nggak ada orang yang bisa saya ajak bicara, nggak ada orang yang bisa saya jadikan tempat berbagi kedukaan saya.

Untungnya setelah itu, Papa membaik. Walau tidak bisa berbicara, Papa akhirnya bisa diajak berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Makannya pun lahap, tenaganya masih kuat, dan terlihat bersemangat. Saya pun jadi semangat. Saya bekerja 2 kali lipat untuk mengumpulkan uang demi membiayai pengobatan dan terapi Papa, dan membeli semua keperluan Papa selama sakit. Saya bahkan sempat optimis, Papa pasti sembuh. Minimal, bisa duduk di kursi roda dan bicara sedikit-sedikit.

Tapi sekali lagi saya patah hati.

Menurut saya, tidak ada yang lebih membuat patah hati daripada melihat orang yang kamu kasihi perlahan semakin lemah dan akhirnya memilih untuk menyerah.

Papa bukan ayah yang sempurna. Saya pun tak pernah menjadi anak favoritnya, apapun yang saya lakukan, tidak pernah cukup baik untuk Papa saya. Masa kecil hingga dewasa saya dipenuhi oleh tindakan abusive secara mental (dan secara fisik ketika saya masih kecil), dan hal ini yang menjadi salah satu penyebab saya mengidap depresi. Namun, setelah serangkaian konflik besar antara saya dan Papa, hubungan kami malah membaik. Bahkan Papa sampai mengijinkan saya merokok bersama beliau. Tumbuh pengertian di antara kami berdua. Minum kopi di kafe bersama Papa dan Mama sambil merokok dan ngobrol adalah hal yang kami lakukan saat berakhir minggu. Dan saya selalu menyukai momen seperti itu.

Rasanya tidak adil Tuhan mengambil Papa di saat kami sudah berdamai.

Saat Papa sakit dan terbaring, Papa tidak pernah absen bertanya mana pacar saya, kapan saya menikah. Papa terus menunjuk jari manis saya. Setiap saya menjawab tidak ada, Papa akan memasang wajah sedih. Menjelang Papa pergi, beliau bahkan sempat memegang jemari saya dengan erat, kemudian mengguncang jari manis saya dengan panik, seakan sudah tahu beliau akan pergi dan tidak rela jika saya masih sendiri.

Dulu, ada yang pernah bilang sama saya, saya pasti akan menyesal kalau orang tua “pergi” di saat saya belum menikah.

Saya baru tahu, memang begini rasanya… Papa pergi sebelum sempat menikahkan anak perempuannya. Padahal menikahkan anak adalah sebuah kebanggaan untuk orang Batak. Dan mengingat wajah sedih Papa ketika tahu anaknya masih sendiri, sebenarnya membuat saya menyesal. Tentunya sebagian karena kesalahan saya sendiri. Saya memilih bertahan selama 7 tahun dengan orang yang tidak direstui Papa, kemudian akhirnya saya malah diselingkuhi. Ironisnya, itu terjadi justru setelah Papa merestui hubungan kami, dan bertanya kapan pasangan saya akan menikahi saya. Sampai Papa pergi, nggak satu kalipun pernah saya sebut bahwa kami berpisah karena saya diselingkuhi. Karena saya nggak mau Papa merespond, “Tuh benar kan. Papa selalu bilang sama kamu, dia laki-laki yang tidak bisa dipercaya.”

Sampai sekarang, saya masih sesekali terpikir. Seandainya saya menuruti Papa saya waktu itu, mungkin sekarang ceritanya akan berbeda.

Sayangnya, kita nggak bisa memutar waktu.

Seandainya saya selalu tahu, jalan mana yang sebaiknya saya pilih, keputusan apa yang seharusnya saya buat. Seandainya saya bisa tahu, mana orang baik, mana orang jahat. Mana lelaki yang memegang kata-katanya, dan mana yang pembohong belaka.

Tapi kita nggak hidup di dunia yang ideal seperti itu.

Dan menangisi Papa saya tidak akan membuat beliau kembali.

Saya rindu weekend di mana saya mengajak orang tua saya ke mall, menyuruh mereka memilih mau makan di restoran apa. Kemudian belanja, dan dilanjutkan duduk-duduk di kafe sambil berbicara soal hal-hal tidak penting.

Published by

macangadungan

Fulltime Dreamer

4 thoughts on “Tentang Lelaki yang Saya Cintai Apa Adanya”

  1. Aku juga lagi merasakan ini. Bener2 seperti orang yang sebentar lagi akan kehilangan akal.
    Aku linglung.
    Entah mau berbuat apa.
    Aku baru aja kehilangan mamaku bulan agustus kemarin. She had a cancer
    Ketauan sakit nya 3 bulan sebelum dia meninggal.
    Bener2 patah hati.
    Aku belum sempet bahagiain dia:'(

    1. Maaf aku ga punya kata-kata yang bisa menguatkan kamu… aku cuma bisa bilang, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Dengan kamu mikir gitu aja, mama kamu pasti tahu kamu anak yang baik dan menyayangi mendiang. Jangan mikir “belum sempet membahagiakan dia”. *peluk*

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s