Akhirnya saya sempat lagi menulis blog setelah sibuk dengan pekerjaan, patah hati, kumpul dengan teman-teman, dan main game.
Sudah masuk bulan Februari, tapi rasanya ada yang salah kalau saya tidak menulis napak tilas 2018 ya. Seperti tahun-tahun dalam hidup saya sebelumnya, tahun 2018 adalah tahun yang sangat berat untuk saya. Ya, mungkin memang ada beberapa orang yang nasibnya kurang bagus aja. Dan saya salah satu dari orang tersebut.
Akhir 2017 lalu, seseorang di masa lalu kembali ke dalam hidup saya. Sepanjang akhir 2017 hingga awal 2019, orang dari masa lalu ini sukses menghancurkan hidup saya. Tapi nanti saya cerita soal dia.
2018 saya diisi dengan kehilangan terbesar dalam kehidupan saya yang pernah saya alami. Setelah berjuang sebisa saya untuk pengobatan Papa saya yang stroke, akhirnya Papa menyerah pada tanggal 22 Agustus 2018. Saya tidak akan pernah lupa hari-hari terakhir kepergian beliau.
Saya ingat bagaimana saya melihat Papa mulai menyerah. Hati saya patah setiap hari. Bagaimana ia semakin lemah, semakin tidak mau makan, dan terus-terusan menunjuk jari manis saya, menanyakan mana pasangan saya.
Satu malam saya bertanya pada Papa, “Papa khawatir kalau nanti nggak ada yang jagain aku, ya?”
Dengan wajah sedih, ayah saya mengangguk.
Saya hanya bisa tersenyum belagak kuat dan menjawab, “Aku nggak perlu dijagain siapa-siapa. Kan selama ini aku yang jagain Papa Mama. Papa tenang aja. Aku bisa jagain Mama.”
Malam menjelang kepergian Papa, mata beliau sudah tertutup, tidak bisa bergerak, hanya napas satu-satu. Saya pulang ke rumah, duduk di samping Papa, dan berbisik, “Aku maunya Papa nggak pergi, tapi kalau Papa capek, ya udah… Papa boleh istirahat duluan.”
Mungkin nggak ada patah hati yang lebih sakit selain mengatakan kepada orang lain bahwa kita ikhlas ditinggalkan oleh orang yang kita sayang, padahal hati kita tahu, kita nggak mau mereka ninggalin kita.
Air mata ayah saya jatuh ketika saya berbisik seperti itu. Saya yang sedang menangis, langsung menghapus air mata saya dan mencoba tertawa, “Idih Papa kenapa nangis? Jangan nangis, dong. Kan enak, Papa mau istirahat duluan. Aku bisa kok jaga Mama. Tenang aja. Kan selama ini Papa lihat sendiri aku udah ngurusin Papa Mama dengan baik.”
Mama bertanya dengan ekspresi bingung, “Kok kamu malah ketawa?”
“Biar Papa nggak pergi dalam keadaan sedih.”, jawab saya dengan senyum yang saya paksakan.
Paginya Papa pergi, bertepatan dengan suara Adzan sembahyang Idul Adha. Mama menangis, kerabat menangis, saya duduk diam nggak tahu harus merasa apa.
Saya ingat, hari itu saya mencari lelaki yang sedang dekat dengan saya. Saya mengabari dia sejak malam, sepertinya Papa akan pergi. Tapi ia tidak ada. Kemudian paginya saya mengabari Papa saya sudah pergi. Beberapa waktu kemudian baru dia merespon saya dan bilang ingin menelepon saya. Dalam pikiran saya, sudah terlambat. Dia tidak ada ketika saya membutuhkan dia. Saya jawab tidak usah.
Di hari itu, saya melihat sahabat-sahabat, teman, keluarga, berdatangan, mengontak saya, membantu saya. Mengingatkan saya makan, membawa makanan, menghibur saya, mendoakan saya. Saya berpikir, ini lah orang-orang yang menyayangi saya. Orang-orang yang ada saat saya jatuh. Saya melihat wajah mereka, dan saya sadar, mereka yang peduli, mereka yang tulus, ada di sini, ada bersama saya. Yang tidak bisa datang, ada di handphone saya. Memastikan saya baik-baik saja. Menunjukkan pada saya bahwa mereka peduli.
Belakangan saya mengetahui, lelaki ini, lelaki yang selama setahun beranjak dari sekedar mantan menjadi orang spesial saya, ternyata saat itu sedang sibuk bersama perempuan lain. Di bulan Papa saya bergelut antara hidup dan mati kemudian meninggal, di bulan saya sedang jatuh, ia sedang sibuk liburan di kota lain bersama perempuan lain.
Itu adalah patah hati kedua saya di tahun 2018.
Kembali ke lelaki ini. Sebutlah Mr. A. Ia muncul dalam hidup saya, menyatakan ingin kembali dengan saya. Meyakinkan saya bahwa ia ingin menikahi saya, ingin bertemu dengan orang tua saya. Dan hati saya tidak nyaman. Saya butuh hampir setahun untuk akhirnya memutuskan, oke, mari kita coba. Ketika saya sudah menawarkan padanya, mari kita mencoba, tiba-tiba Mr. A mengatakan ia tidak bisa. Ia menyayangi saya, namun tidak bisa bersama saya.
Dan entah mengapa, suatu hari, Mr. A berani mengaku dengan jujur bahwa selama ini ia dekat dengan banyak perempuan. Sejak awal ia masuk ke dalam hidup saya kembali, dia sudah dengan perempuan lain. Saya bingung harus menanggapi ini semua dengan perasaan apa. Saya merasa sia-sia. Lalu untuk apa selama ini Mr. A mengejar saya dan meyakinkan saya bahwa ia menyayangi saya?
Tentu saja ini kenyataan berat untuk saya terima. Ketika saya struggling dengan kondisi keuangan, dengan kondisi Papa, dengan penyakit saya sendiri, dengan pekerjaan, ternyata lelaki yang saya kira menyayangi saya sedang sibuk dengan perempuan-perempuan lain, karena saya tidak cukup untuk dia.
Bulan November 2018 saya kembali terapi, dan diharuskan meminum obat anti depressant dan penenang minimal selama 6 bulan. Depresi saya kumat lagi karena Mr. A membuat saya merasa diselingkuhi, hal yang paling membuat saya trauma dan trigger depresi saya yang paling kuat.
Saya menghabiskan akhir 2018 dengan berpikir penuh sakit, mengapa Mr. A tega melakukan ini ke saya? Dia tahu saya pengidap depresi, dia tahu perjuangan saya, dia tahu masalah-masalah dalam hidup saya, tapi dia tetap muncul dan menghancurkan saya.
Untungnya, saya jadi tersadar. Selama ini, selama Mr. A sibuk menghancurkan saya, saya punya sahabat, teman, rekan, keluarga, yang justru sibuk mendukung saya. Sibuk memberi saya semangat, meluangkan waktunya untuk mendengar keluh kesah saya. Mereka ini, mereka ini lah sumber kekuatan saya.
2018 adalah tahun yang mengubah saya. Mulai dari cara saya mengatur keuangan, hingga cara saya menanggapi laki-laki yang mendekati maupun meninggalkan saya.
Banyak orang yang muncul dan memberi pertolongan ketika saya putus asa nggak tahu harus melakukan apa. Ketika saya menghadapi masalah keluarga dan diancam akan dilaporkan ke polisi, ketika Mama saya diteror, ketika saya masuk rumah sakit, ketika Papa pergi. Bahkan kadang pertolongan itu datang dari orang yang tidak saya duga. Laki-laki yang sudah saya ghosting lebih dari 6 bulan, Mr. Mantan Ultimate yang sudah hilang dari hidup saya selama 4 tahun, laki-laki yang sudah saya tolak berkali-kali selama bertahun-tahun. Mereka justru ada ketika saya nggak tahu harus lari ke mana, dan memberi bantuan tulus sebagai teman. Bukan karena ada maunya.
Ada juga pencapaian-pencapaian lain yang membuat diri saya bangga di tahun 2018. Namun, buat saya 2018 bukan tentang saya. 2018 adalah tentang siapa yang tulus, dan siapa yang ular. 2018 adalah tentang belajar merelakan, mengikhlaskan, memaafkan, dan menghargai mereka yang ada bersama saya.
Terima kasih untuk semua yang bertahan dalam hidup saya, semua yang menopang saya di saat saya jatuh. Terima kasih kalian yang tidak menusuk saya dari belakang. Yang sudah stay real sama saya. Yang tidak menambah duka dan malah menyuntikkan semangat untuk saya ketidak kalian sendiri struggling dengan hidup kalian.
Saya nggak akan pernah lupa.
Semoga 2019 ini lebih ramah kepada kita semua, dan semoga, saya bisa membalas semua kebaikan kalian.
Terima kasih telah ada.
Hi kak Lea.. semoga kabar kakak baik.. saya turut berduka cita atas meninggalnya Papa dari Kak Lea. Semoga Papa terlahir kembali di alam bahagia. Saya termasuk salah satu yang mengikuti blog kakak sejak 2016. Pada saat itu saya juga di selingkuhi oleh mantan pacar saya. Tapi setelah membaca blog kak Lea, saya merasa termotivasi untuk move on dan menjalani hidup yang lebih baik lagi. Dan ya.. waktu berjalan cepat.. its 2019 right now. Mantan saya sudah menikah dengan selingkuhannya awal tahun ini. Dan saya sedang menjalani hubungan pacaran yang bahagia selama 2 tahun belakangan. I wish all the best things for you and 2019 will treat all of us better. Thank you Kak Lea.
Hi… thank you for the kind words ❤ Semoga kamu terus bahagia ya.
Lea, semangat terus ya. Sehat terus. Meski aku jauh, tapi percayalah kau selalu di hatiku. Eaaa…
Kamu juga ada di hati aku, kakkkk ❤