Beberapa minggu belakangan ini, ada hal yang mengganggu saya.
Awal mula saya menulis tentang depresi, mungkin sekitar tahun 2014, dan saat itu saya belum sadar bahwa saya mengidap depresi, dan apakah sebenarnya depresi itu. Tahun 2014, saya mengalami relaps, dan menurut psikolog saya belakangan pada tahun 2015 akhir, apa yang saya alami saat itu adalah MDD, atau Major Depressive Disorder.
Saat itu, saya yang belum mengerti apa yang sedang saya alami, hanya memiliki menulis di blog dan twitter untuk mengekspresikan rasa sakit tak tertahankan yang saya alami. Tentu saja bukan hanya menulis yang saya lakukan untuk berusaha menyembuhkan atau setidaknya melarikan diri dari rasa sakit. Saya mengambil sidejob yang banyak, agar bisa melarikan diri dari pikiran saya. Saya menenggelamkan diri dalam alkohol agar bisa lupa dan tidur, ikut komunitas menggambar, traveling, meditasi, tidur sembari mendengarkan soundwave, menggunakan aroma therapy, berkencan, bermain dengan teman-teman saya, olah raga, menonton film, membaca buku, semuanya saya lakukan agar merasa lebih baik.
Menulis hanyalah satu dari sekian pelarian yang saya miliki.
Saya ingat pada masa itu, saya butuh wadah untuk mewujudkan rasa sakit saya dalam bentuk kata-kata. Dan blog ini adalah wadah saya.
Loh, kenapa tidak menulis di buku harian saja? Tentu saja saya punya buku harian, yang berisi pikiran-pikiran tergelap saya. Tapi bagaimana caranya saya bisa membuat orang lain mengerti atau setidaknya tahu apa yang sedang saya alami di kepala saya jika saya tidak menulis di blog?
Tentu saja, menulis di blog ada resikonya. Nggak semua respond positif, kok. Ada teman-teman yang menertawakan tulisan saya, ada yang menjadikan saya bahan ejekan, walau ada juga yang menyemangati saya dan meminta maaf karena tidak tahu apa saja yang saya alami selama ini. Dan jika saya tidak menulis di blog saya, ada kah yang akan datang dan meraih tangan saya?
Akhirnya, setelah hampir dua tahun hidup dengan depresi yang tidak ditangani dengan benar, saya memutuskan ke psikolog. Selain itu, saya juga membaca-baca artikel tentang depresi – bukan artikel pop yang memvalidasi dan meromantisasi depresi, melainkan artikel dan tulisan blog pribadi maupun komunitas yang mengajarkan bagaimana cara melawan depresi, bagaimana cara mengerti depresi, bagaimana cara mengenali gejala depresi dan cara menanganinya.
Tulisan- tulisan ini menolong saya. Menolong saya mengenali depresi, membantu saya tidak merasa sendirian, membantu saya lebih mengerti tentang penyakit saya. Sesuatu yang awalnya saya kira tidak memiliki jalan keluar dan bersifat permanen, sesuatu yang awalnya membuat saya takut untuk terus hidup. Ternyata, depresi adalah penyakit yang cukup banyak diderita orang, pengidapnya mencapai kira-kira 300 juta orang menurut WHO.
FYI, di tahun 2014-2015, ketika saya mencoba mencari informasi tentang depresi di media online, nyaris tidak ada informasi berbahasa Indonesia. Tidak ada tips, trik, penjelasan, info akses psikolog/psikiater yang jelas, komunitas yang bisa membantu. Tidak ada. Semua itu nggak ada. Ada info nomor telepon cegah bunuh diri, yang ternyata tidak aktif. Lalu hotline bunuh diri dari Depkes, saya telepon, tidak ada yang menjawab. Bayangkan betapa putus asanya saya waktu itu. Tidak ada satupun orang, komunitas, institusi, atau apapun yang bisa saya tanya soal apa yang saya alami.
Hanya ada satu artikel blog, dari seorang perempuan yang menderita mental illness dan harus ke psikiater. Artikel itu berhenti di sang perempuan tidak melanjutkan pengobatan karena biayanya terlalu mahal. Tidak ada tips atau penjelasan apapun.
Saat itu, saya merasa sangat sendirian.
Setelah beberapa kali terapi dan mulai bergabung dengan komunitas yang fokus pada mental illness, saya memberanikan diri berbagi tentang penyakit saya secara terbuka di blog ini. Dan tidak lama setelah itu, saya mulai melihat (atau mungkin saya baru menyadari) banyak orang dan komunitas yang berbicara tentang mental illness.
Tujuan awal saya menulis tentang mental illness pada mulanya hanya agar orang lain yang seperti saya tidak merasakan apa yang saya rasakan; tidak merasa sendirian dan kebingungan, dan tahu kapan harus ke psikolog/psikiater. Ditambah lagi saya kemudian bergabung dengan komunitas yang berfokus ke mental illness dan pencegahan bunuh diri, Into The Light.
Dari Into The Light, saya belajar banyak banget, dan mata saya terbuka soal hal-hal yang dihadapi penderita mental illnes. Salah satunya adalah STIGMA. Salah satu fokus dari kegiatan Into The Light; melawan stigma terhadap penderita mental illness. Dan memang itu juga yang saya alami.
Waktu saya belum mengerti bahwa saya mengidap depresi, saya melakukan banyak hal di luar nalar; abuse alkohol, oversharing di internet, dan ngetwit tanpa henti. Kenapa? Simply karena saya nggak bisa mengontrol diri saya dan pikiran saya. Pikiran saya jalan terus, dan saya nggak mungkin nelpon semua orang yang saya kenal selama 24 jam, although, i did call people every single day, to talk about what was going on in my head. Nangis-nangis 2 jam sambil ngomongin hal yang sama berulang-ulang kayak kaset rusak. Pagi, siang, sore, malam. Tapi itu nggak cukup. In between, i tweeted, a lot. Like… A LOT.
Saya jadi bahan ketawaan, dan kadang ada juga orang-orang yang nyuruh saya diem dan berhenti ngetwit. But i couldn’t help it. Saya nggak bisa kontrol diri saya dan isi pikiran saya. That time, i needed help, but no one understood. Yang mereka lihat hanya cewek galau berlebihan yang ngetwit karena caper. Masa itu, nggak ada orang yang ngerti depresi itu apa, termasuk saya sendiri.
Saya yang sekarang, jauh berbeda dengan saya yang dulu. Bertahun-tahun kemudian saya memutuskan ke psikiater (well nggak juga, sih, niatnya ganti psikolog aja tapi saya nggak lihat gelarnya, main bikin janji, tau-tau psikiater). Dan saya bersyukur sudah memutuskan ke psikiater. Apa yang tidak bisa dibantu oleh psikolog saya, ternyata bisa dibantu oleh psikiater. Saya jauh lebih baik.
Tapi keinginan saya untuk menulis tetap ada. Semakin saya mengenali penyakit saya, semakin saya ingin berbagi, agar orang-orang lebih mengerti, agar orang lain yang mengalami hal yang sama dengan saya, nggak merasa sendirian. Karena itu yang saya rasakan ketika akhirnya menemukan blog-blog penderita mental illness dari negara lain yang secara terbuka menjelaskan penyakitnya dan membantu mengajarkan bagaimana cara menanganinya.
Tentu saja, kadang saya menulis bukan karena itu, kadang saya menulis karena saya butuh katarsis untuk mengejawantahkan rasa sakit saya sebagai bentuk fisik yang bisa dilihat. Sebagai tulisan.
Dan mungkin… kadang merupakan permintaan pertolongan yang tidak saya sadari karena saya bingung harus cerita apa ke siapa.
Dalam menulis blog atau twit, bagi saya tantangan terbesarnya adalah stigma.
Itu lah yang akhir-akhir ini mengganggu saya. Saya semakin menyadari bahwa dengan meningkatnya awareness soal mental illness, arus stigmatisasi pun semakin kencang. Salah satu hal yang membuat saya sedih, kadang stigma itu datang dari teman sendiri, maupun dari penderita mental illness.
Kadang saya temukan komentar yang kira-kira seperti ini, “Ah, gue juga penderita mental illness, tapi gue gak se-drama elo, deh.” atau, “Gue penderita mental illness, tapi gak whining kayak lo. Gue fokus ke penyembuhan.”
Kamu punya mental illness dan bisa handle dengan baik? Then good for you.
Tapi apakah semua pengidap mental illness harus sama seperti kamu? Apakah menyuruh orang lain diam dan berpura-pura baik-baik saja bisa menyembuhkan orang lain?
Atau komentar lainnya dari teman-teman sendiri, “Daripada kamu ngetwit galau, mending kamu diem aja dan kontak temen-temen kamu.”
All i can say… Chester Bennington, Robin Williams, dan banyak orang lainnya yang memilih diam, tidak membicarakan tentang mental illnesnya secara terbuka, berakhir membunuh dirinya. Why do you try to silence people with mental illness if you’re not going to help them?
Mental illness nggak melulu soal galau kemudian curhat dan semuanya selesai.
Kadang mental illness adalah tentang keinginan aneh untuk nggak keluar kamar dan melakukan apapun selama berhari-hari, tentang tidak ingin berinteraksi dengan siapapun hingga kalian meng-uninstall whatsapp dan semua aplikasi chat, tentang duduk sendiri di sudut kamar menangis dalam gelap. Tentang tidak ingin melakukan hobi-hobi yang biasanya membuatmu senang, seperti menggambar atau berfoto. Tentang pikiran-pikiran aneh irasional di kepalamu, yang saking nggak masuk akalnya, kamu nggak berani cerita ke siapapun.
Bagaimana caranya curhat ke teman kalau kondisimu seperti itu?
Belum lagi ketika sesama penderita mental illness saling membanding-bandingkan penyakitnya. Kayak, “Gue loh, bipolar + PTSD + depresi + panu kadas kurap, pokoknya penyakit gue lebih parah dari elo, tapi gue gak cengeng kayak lo.”
Saya sih, kalo ada yang ngomong begitu, bawaannya mikir, lah situ emang gak sakit kali? Kok ya bisa ngaku sakit tapi nggak empati? You’ve been there, but you can’t understand how hurt it is? How come?
Banyak cara dilakukan oleh orang-orang untuk merendahkan penderita mental illness dengan stigma. Dan kadang, dari pengalaman saya, stigma itu nggak cuma diberikan oleh orang normal, sesama penderita mental illness pun bisa loh saling discourage. Itu menyedihkan.
Buat saya nggak ada bedanya dengan perempuan yang berkomentar kepada sesama perempuan korban pelecehan seksual, “Saya juga pernah dilecehkan oleh laki-laki, tapi saya lawan. Mbak kenapa diem aja? Harusnya lawan juga, dong.”
Buat apa glorifikasi diri sendiri sebagai survivor mental illness kalau tujuannya adalah untuk menjatuhkan penderita mental illness lainnya?
Ada 2-3 orang dalam linimasa twitter saya, yang kerap melakukan shitposting soal mental illness, yang berteriak betapa mereka ingin mati saja, dan betapa sakitnya mereka. Saya nggak bisa nggak melihat itu sebagai permintaan tolong. Banyak yang bilang mereka caper. Apakah iya mereka caper? Well tentu saja. Karena mungkin hanya cara itu yang mereka tahu untuk menunjukkan ke orang lain bahwa mereka butuh pertolongan. Who am i to judge and to silence them?
Ada juga orang-orang dengan diagnosa bipolar dan mental illness lainnya yang nggak pernah posting apa-apa di socmed selain postingan yang hepi-hepi, tapi sesekali akan menelpon saya sambil menangis menjerit-jerit mengatakan mereka nggak sanggup lagi. Yang ketakutan bilang nggak boleh ada satupun kenalan mereka yang tahu penyakit mereka entah karena takut dipecat, atau takut diketawain bisa punya mental illness dan bereaksi berlebihan hanya karena masalah-masalah kecil.
Are we going to be that person who discourage them to express themselves?
I refuse to silence people with mental illness. I refuse to judge how they express their pain. And i refuse to stop writing just because some people in my life told me to do so. Other people’s writings have helped me through my darkest times. Dan ada pula orang-orang yang reach out ke saya via email, blog, DM di instagram dan twitter, yang menyatakan tulisan saya telah menolong mereka. I just don’t post it.
Saya nggak posting email dan DM yang saya terima karena saya nggak mau encourage orang untuk curhat sama saya, since i am not compatible for that. Dan saya juga nggak mau glorifikasi diri saya dan tulisan saya seakan apa yang saya lakukan ini istimewa. But at least i know… tulisan saya ternyata membuat beberapa orang merasa terbantu dan termotivasi. Membuat orang-orang seperti saya nggak merasa sendirian. Dan seenggaknya, membuat beberapa teman saya lebih sedikit mengerti tentang apa yang saya rasakan dan pikirkan.
Tentu, dibandingkan tahun lalu, tulisan saya jauh lebih sedikit karena saya memiliki banyak coping mechanism lain dan saya sendiri merasa jauh lebih baik. Dan kadang saya hanya menulis karena saya sedang mengalami fase yang buruk sehingga butuh katarsis.
Tapi apakah saya harus berhenti menulis? Apakah orang-orang seperti saya harus berhenti mengekspresikan dirinya sendiri hanya agar tidak dihakimi dan dicemooh orang lain?
Jalan menuju kewarasan memang berat, tapi saya rasa, selama kita nggak abuse orang lain, alkohol, apalagi narkoba untuk coping mechanism, seharusnya kita tidak perlu takut dan malu.
Tulis saja dulu. Lawan stigma dengan kejujuran dan niat baik. Selama kita nggak menjelek-jelekkan atau menghina orang lain, kenapa harus takut dan malu? Kalau tidak ada orang yang menulis tentang mental illness, saya nggak akan pernah belajar apa itu depresi dan maju melakukan sesuatu yang real untuk menyembuhkan penyakit saya. Kalau saya tidak menemukan blog orang-orang yang berjuang dengan mental illness dan jujur tentang kegagalan dan ketakutan mereka, saya nggak akan tahu bahwa saya tidak sendirian. Saya akan minder dengan orang-orang yang mengaku bisa melakukan hal-hal hebat disamping mengidap mental illness. Saya akan putus asa melihat orang-orang yang mengglorifikasi keberhasilan mereka melawan mental illness tanpa menjelaskan support dan privillege apa saja yang mereka punya dan perjuangan panjang yang mereka lalui.
Bagaimana dengan stigma? Diterima saja. Sesama penderita mental illness saja bisa melempar stigma, apalagi orang awam yang ngaku “dulu saya depresi, tapi sembuh setelah mendekatkan diri ke tuhan” tanpa mendapat diagnosa resmi dari professional. Bahkan temen deket sendiri pun bisa mencap kita dengan stigma.
Tapi, mungkin dengan menulis, sedikitnya ada 1 orang yang membaca dan dari tidak mengerti jadi mengerti. Dari skeptis menjadi simpati. Atau ada 1 penderita mental illness yang kesepian, kemudian jadi merasa tidak sendiri.
PS: Saya menolak self-diagnose yang tidak dilanjuti dengan penanganan professional. Jika kamu merasa memiliki mental illness dan tidak memiliki dana cukup untuk berobat, silakan hubungi puskesmas atau RSUD untuk penanganan dengan biaya yang lebih terjangkau. Hindari self-diagnose. Please.