An Eulogy for Mr. I

*Post ini dipersembahkan untuk Mr. I, mantan sahabat dan kekasih yang pernah menemani saya berjuang dalam depresi dan menyayangi saya dengan sepenuh hati*

Mungkin saya bukan yang terbaik untukmu, dan jelas bukan yang pertama maupun yang paling lama. Namun kamu datang di saat yang tepat.

Ingatkah kamu malam-malam kita membicarakan bagaimana rasanya diselingkuhi? Hingga akhirnya kita memutuskan mengapa tidak kita coba saja bersama. Saya mengatakan, “Tapi kamu jangan berharap terlalu banyak dari saya.”, kamu tersenyum dan menjawab kamu mengerti.

Dan kamu memang mengerti.

Kamu memang bukan lelaki yang sempurna, akupun jelas tidak, dan mungkin kita sama-sama sedang mencari tempat bersandar karena sedang terlalu lelah. Tapi banyak hal yang kita lalui bersama, banyak hal yang kita bagi bersama.

Saya nggak akan lupa hal-hal kecil yang kamu lakukan untuk saya.

Ketika kita menginap di rumah seorang teman, aku mendengar kamu terbangun pukul dua malam. Lalu perlahan kamu bangun dan keluar. Aku mendengar suara motormu. Tidak lama kamu kembali, masuk ke kamar tempat aku beristirahat, kemudian mengeluarkan sebungkus autan. Sambil berusaha tidak mengganggu tidurku, kamu mengoleskan autan ke kulitku. Aku sebenarnya terbangun, tapi aku diam saja. Menikmati dimanja olehmu seperti anak kecil dimanja ibunya.

Atau ketika aku sakit, malam-malam kamu datang ke kosan, membawa makanan, menghibur aku dengan lelucon tololmu, kemudian menemani aku tidur sampai pagi.

Atau kengototanmu untuk menjemputku di kosan, kemudian mengantar ke kantor, dan menjemputku kembali pulang. Padahal aku sudah bilang tidak usah, mengingat tempat tinggalmu yang jauh.

Atau saat kamu berkenalan dengan sahabat dekatku laki-laki, lalu ketika kita tinggal berdua, kamu berbisik, “Aku cemburu.” dengan nada kekanak-kanakanmu. Aku nggak akan bisa marah dengan caramu mengekspresikan perasaanmu.

Atau di lain waktu, saat kita bertengkar di motor sepulang dari Kali Biru menuju Jogja, entah karena apa. Lalu aku terdiam. Tidak sampai satu menit, kamu meminta maaf dengan suara lembut. Seketika semua pertengkaran kita selesai.

Aku sempat kesal ketika kamu “menjebakku” untuk makan malam dengan keluarga besarmu, lalu mereka sibuk membahas soal nikah. Aku terkejut ketika mereka secara terang-terangan memintaku menikah denganmu dalam tiga bulan. Panik tepatnya. Namun, tanpa aku perlu berbicara apa-apa, kamu bisa membaca ekspresiku. Dengan nada tegas kamu membelaku dan mengatakan, “Jangan bahas nikah dulu. Lea masih muda, masih banyak yang mau dia kerjakan. Lihat saja dulu nanti.” Di bawah meja, tanganmu menggenggam erat tanganku, seakan ingin melindungiku.

Kamu pernah bilang, “Aku sudah capek patah hati, kalau bisa, aku mau kamu jadi yang terakhir.” – maaf aku tidak menjawab apa-apa waktu itu.

Mungkin tidak ada laki-laki yang menyayangiku selembut kamu menyayangi aku. Seterbuka kamu dalam berbagi masalah, dari soal keluarga, keuangan, hingga mantan pacar. Bahkan kamu begitu mengerti soal aku dan perasaan insecureku. Kamu selalu menyemangati aku, mengingatkanku bahwa aku adalah wanita yang layak disayangi dan diperlakukan dengan baik.

Waktu nenekku meninggal, kamu tetap datang ke pemakaman walau sadar dengan resiko dijutekkin oleh mendiang papaku yang saat itu masih segar bugar dan punya tenaga banyak untuk bersikap galak. Kamu nggak peduli. Kamu ingin ada buat aku. Dan jujur, aku senang melihat kamu tiba-tiba muncul di antara kerumunan, datang tanpa takut ditolak oleh Papa. Tentu saja Papa nggak mungkin berani marahin kamu, karena aku nggak akan mengijinkan itu terjadi.

Kamu yang terbang dari Jogja ke Jakarta dengan modal nekad agar bisa bertemu aku. Membelikan aku kalung dengan uang simpananmu yang seharusnya kamu pakai untuk biaya hidup di Jakarta. Dan katamu, ketika pertama melihatku, “Loh kamu ternyata lebih cantik daripada di video call. Kok bisa-bisanya kamu gak pede sama dirimu sendiri?” – aku yang saat itu punya masalah krisis kepercayaan diri hanya bisa tersenyum malu.

Dan semuanya itu, malah aku balas dengan membuatmu menangis di sebuah restoran ketika aku mengucapkan selamat tinggal.

Aku minta maaf karena tidak bisa memenuhi permintaanmu untuk bertemu terakhir kali sebelum kamu beranjak dari Jakarta, meninggalkan kota yang membuatmu patah hati. Walau aku tahu, penolakanku membuatmu menangis. Maaf aku begitu keras kepala dan tidak berperasaan ketika meninggalkanmu.

Aku masih ingat kata-katamu ketika melihat aku sudah menemukan pasangan baru, “Dia mengubahmu menjadi seseorang yang berbeda. Dia nggak baik buatmu. Lebih baik kamu sama aku.”

Aku menyakitimu, dan kamu masih peduli padaku.

Aku nggak tahu apa yang terjadi setelah kamu pergi dari Jakarta selain akhirnya Mamamu pergi karena kanker rahim. Mama yang menyayangiku seperti anak sendiri. Yang masih kutelepon untuk mengucapkan selamat idul fitri dan meresponku dengan ceria ketika mendengar suaraku. Yang selalu gembira ketika melihat aku, dan tidak lupa harus selalu dandan dulu sebelum keluar kamar untuk menemuiku.

Papamu yang berwajah keras, tapi tidak pernah mempermasalahkan aku yang berbeda agama, dan aku tahu banget almarhum Papa kamu punya hati yang luar biasa sabar dan mencintai Mama sepenuh hati. Saking cintanya sampai tak lama menyusul kepergian Mama.

Tapi nggak sedikitpun aku mengira kamu akan pergi di usia semuda ini.

Aku terduduk di sisi tempat tidurku ketika membaca pesan dari seorang teman bahwa kamu sudah tiada. Aku terdiam, menyalakan sebatang rokok, dan mengingat kembali pembicaraan terakhir kita. Kamu mengingatkanku untuk jaga diri dan kesehatan, jangan sampai sakit seperti Mama. Kamu minta aku untuk lebih peduli sama kesehatanku lewat chat. Dan aku membalas seadanya karena saat kamu menghubungiku aku sedang sibuk menikmati pertunjukkan teater dengan pasanganku saat itu.

Seharusnya kamu yang lebih peduli sama kesehatan kamu, Mas.

Aku terpikir, bagaimana kamu selama 3-4 tahun belakangan ini? Apakah kamu menjaga kesehatan? Apakah kamu bahagia? Apakah kamu bertemu wanita lain yang bisa mengisi harimu dan mengurusimu yang manja dan ceroboh? Aku harap kamu sempat jatuh cinta dan dijaga oleh wanita yang baik.

Maaf, aku tidak bisa menyayangimu dengan seharusnya, dan maaf, aku membuatmu menangis. Tapi kamu harus tahu, di hatiku ada tempat buatmu, lelaki yang menyayangi aku begitu tulus dan sabar. Yang membantuku membangun kepercayaan diriku dan menyembuhkan luka-lukaku.

Maaf, aku tidak ada ketika kamu sedang terpuruk… Tapi bukan berarti kamu benar-benar hilang dari pikiranku. Sesekali, aku masih teringat dengan kebaikan-kebaikan kamu. Lelucon-lelucon rahasia milik kita, yang hanya dimengerti oleh kita berdua. Dan ketika kamu tidak keberatan aku terus menggenggam tanganmu selama kita nonton film di bioskop walaupun aku tahu kamu pegal. Aku tidak akan lupa semua hal itu.

Semoga kamu tenang di surga sana. Aku berdoa untukmu. See you when i see you…

Published by

macangadungan

Fulltime Dreamer

One thought on “An Eulogy for Mr. I”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s