An Episode

Saya melangkahkan kaki lebar-lebar. Bergegas pulang. Langkah saya terhenti beberapa detik ketika berada di atas jembatan penyeberangan. Satrio selalu macet seperti biasa, dengan lampu-lampu kendaraan berwarna merah dan kuning.

Dada saya sesak. Sesuatu seperti hendak meledak. Saya tahu perasaan ini. Saya tahu jika saya tidak lekas pulang, saya akan pecah di antara kerumunan.

Beberapa detik, saya terpaku memandang sepanjang Satrio. Saya merasa tidak nyata. Saya merasa mengambang di antara realita dan kekosongan.

Saya terisak. Buru-buru tangan saya mengatup erat mulut saya. Jangan dulu. Jangan sekarang.

Tergesa, saya melanjutkan langkah, sambil tetap menahan isak tangis saya, mati-matian menahan air mata yang memberontak. Kepala saya berteriak, Tuhan, saya ingin mati sekarang. Tolong. Bunuh saya sekarang.

Suara Chester Benningtong dari ear set blue tooth saya menyanyikan lirik yang sangat relevan.

But nobody can save me now
I’m holding up a light
Chasing up the darkness inside
‘Cause nobody can save me

Beberapa pesan di telepon selular berisi ajakan bertemu karena tahu ada yang salah sama saya. Saya tolak. Saya ingin sendiri, menutup pintu, berdiam di dalam kamar, tidur, dan semoga tidak usah bangun lagi.

Sepanjang perjalanan, saya melihat perempuan berkerudung dengan jaket parka, berdiri melamun menunggu bus. Perempuan lain, duduk sambil menikmati semangkuk mie ayam di pinggir trotoar. Mie ayam yang beberapa bulan lalu membuat saya diare, sehingga saya bersumpah tidak akan makan di situ lagi. Orang-orang lain terlihat seperti bayangan hitam yang berdiri dan bergerak tanpa suara, tanpa tujuan.

Dalam pikiran saya bertanya, apakah di antara mereka ada yang pernah merasakan apa yang saya rasakan saat ini.

Ketika saya sampai di tempat saya tinggal, saya membuka pintu, dan air mata saya tiba-tiba mengalir seperti sungai. Lekas saya kunci pintu, jatuh berlutut, dan saya menahan jeritan yang ingin berontak dari kerongkongan, air mata saya mengalir tak henti.

Dan yang paling menyedihkan dari semua ini, saya tidak bisa menyalahkan siapapun. Tidak ada yang salah. Saya tidak bisa menunjuk jari saya dan mengatakan, “Kamu yang membuat saya menjadi begini.” Saya tidak bisa marah pada siapapun.

Saya telan 2 butir Xanax. Lekas lah bekerja. Buat saya tidur.

Hanya butuh sebaris kalimat. Sebaris kalimat yang menyatakan saya adalah seseorang yang tidak layak untuk dicintai. Untuk menghancurkan saya.

Perjuangan saya bertahun-tahun untuk belajar mencintai diri saya apa adanya, hancur begitu saja dalam satu malam. Perjuangan saya menyembuhkan luka-luka saya, berantakan dalam satu malam.

Saya pernah melihat, jika tidak mendengar, bagaimana seseorang membenci orang lain yang meninggalkan luka pada dirinya. Saya belajar bahwa hidup tidak seperti itu. Yes, kita jatuh ke dalam lubang karena ada seseorang yang mendorong itu ke dalam lubang tersebut. Kita berdarah, karena ada seseorang yang menikam kita dari belakang. Tapi saya belajar untuk tidak menjadi orang itu, orang yang terus berteriak menunjuk lukanya dan menyalahkan pelakunya.

Saat kita sibuk melakukan itu, mereka sudah beranjak pergi dan menikmati hidupnya.

Saya nggak mau jadi manusia yang seperti itu.

Tapi Tuhan pasti tahu. Kalau Tuhan memang ada. Luka tidak terjadi begitu saja.

Dan saya terjebak bersama seseorang yang tahu harus menikamkan pisaunya di sebelah mana. Karena ia sudah berkali-kali melakukannya terhadap saya.

Ingin saya menatap matanya, dan berbisik, “Mengapa tidak kamu bunuh saja saya, agar saya tidak perlu menghabiskan hidup dengan berusaha menyembuhkan luka ini?”

Mengapa ia selalu tahu bagaimana cara menghancurkan saya? Bahkan di saat saya sudah berlari jauh dari dirinya.

Alih-alih marah, saya hanya menjawab terima kasih.

Jika satu hari saya tidak ada, dan kalian membaca lagi halaman ini, saya hanya minta satu hal… If you decide to hurt someone, please just kill them. It would be easier for them.

Some scars don’t heal. Don’t let people live that kind of life.

And no, this message is not for those people who use their pain to black mail others. To hurt and guilt tripping others. If you do that, you’re a piece of selfish shit.

Good bye. Wish me heal, or die in peace.

Published by

macangadungan

Fulltime Dreamer

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s