Sudah sebulan lebih saya stay di dalam kamar, hanya keluar 2 kali untuk ke rumah sakit dan belanja bulanan. Situasi masih belum membaik, bahkan diramalkan, puncak pandemi COVID-19 di Indonesia baru akan terlihat pada bulan Juni-Juli.
Mungkin saat ini sebagian besar orang sudah karantina mandiri di rumah, atau ada yang dipecat karena perusahaannya bangkrut, atau dirumahkan tanpa gaji. Dan kini pengguna social media menjadi lebih cerewet dan reaktif dibanding sebelumnya.
Anyway.
Ada salah satu topik di media daring yang mencuri perhatian saya. Mungkin istilahnya “sex and tell”? Beberapa kali saya melihat thread di twitter yang membahas isu tentang perempuan yang ditinggalkan begitu saja setelah berhubungan badan.
Saya nggak mau bahas gosipnya, tapi dari isu seperti ini, saya belajar mengenali sebuah term; sexual coercion.
Sexual coercion, menurut artikel ini, didefinisikan kira-kira sebagai berikut:
Aktivitas seksual yang tidak diinginkan yang terjadi karena tekanan non-fisik, termasuk diantaranya:
- Terpaksa dilakukan karena lelah dengan ajakan/permintaan untuk berhubungan seks yang berulang-ulang.
- Dibohongi/dibujuk/dirayu/dijanjikan sesuatu (yang tentu saja janjinya palsu) untuk memanipulasi korban agar mau diajak berhubungan badan. Misalnya; mengaku single, janji akan menikahi, pura-pura sayang dengan tulus, pura-pura baik dan perhatian, misleading dan manipulasi agar korban mengira bahwa mereka “berpacaran”, dan masih banyak lagi.
- Mengancam putus atau akan membuka aib/informasi pribadi korban jika tidak ingin melakukan hubungan seks.
- Relasi kuasa, menggunakan jabatan atau posisi otoritas untuk menekan seseorang agar mau berhubungan seks dengannya.
Ada berapa di antara kalian yang berhubungan seks karena alasan di atas?
Diancam putus, dijanjikan akan dinikahi, dirayu dengan kata-kata sayang, atau dimanipulasi dengan menciptakan situasi seakan-akan kalian berdua sedang dalam hubungan pacaran (lalu kemudian pelaku akan bilang, “Loh, kita kan gak pacaran. It’s just sex.”), atau bahkan dengan mengaku single padahal sudah punya pacar atau istri.
Ada beberapa kasus yang dialami oleh orang yang saya kenal.
Misalnya, katakanlah, Andi dan Ani. Andi mendekati Ani, mulai dari chat, kemudian ketemuan, kemudian ngedate, setiap hari teleponan, seminggu sekali jalan selayaknya orang pacaran biasa. Ani mengira status mereka berdua sudah menjadi “pacaran” karena semua treat yang dilakukan Andi seperti itu. Suatu hari, Andi mengajak Ani liburan ke luar kota, kemudian mereka berhubungan badan. Seperti itu selama berbulan-bulan.
Lalu Ani memergoki Andi ternyata juga jalan dan tidur dengan perempuan lain. Ani marah, ia langsung mengkonfrontasi Andi. Dan dengan enteng, Andi menjawab, “Loh, kita kan bukan pacaran. Memang aku pernah bilang kalau kita pacaran?”
Ani menjawab, “Tapi aku sudah berhubungan badan sama kamu! Harusnya kamu tanggung jawab.”
“Loh, tapi aku kan gak pernah maksa untuk berhubungan badan. Kita melakukan itu karena suka sama suka. Kamu gak pernah nolak, kok.” kilah Andi.
Tidak, Andi. Apa yang kamu lakukan adalah sexual coercion. Bagaimana jika sebelum kalian berhubungan badan, kamu bilang ke Ani, “Hi Ani, aku ingin bermesraan dengan kamu dan melakukan hubungan seks. Tapi perlu kamu ketahui, aku nggak ingin kita pacaran, dan aku juga memiliki partner seks yang lain selain kamu.”
Apakah jika Andi jujur dari awal seperti itu, Ani mau berhubungan badan dengan Andi?
Jika jawabannya Ani tidak akan mau berhubungan badan dengan Andi, apa yang dilakukan Andi adalah manipulasi dan dikategorikan sebagai “pemerkosaan”.
Contoh kasus lain. Sebut saja Budi dan Bebi. Budi berkenalan dengan Bebi, dari perkenalan itu, Budi mendekati Bebi. Mulai dari chat, ngedate, akhirnya suatu hari Budi “nembak Bebi”. Beberapa bulan kemudian, akhirnya Budi dan Bebi berhubungan badan. Mereka bahagia. Sampai suatu hari… Bebi mengetahui bahwa Budi ternyata sudah punya istri/pacar.
Sambil menangis, Bebi bilang, “Kok kamu tega? Aku pikir kamu serius sama aku.”
Dan Budi hanya menjawab, “Maaf, aku betul-betul sayang sama kamu. Tapi aku nggak bisa meninggalkan pacar/istri aku. Hubungan seks kita kemarin-kemarin karena aku benar-benar sayang sama kamu.”
Apakah jika Budi jujur dari awal bahwa ia punya pacar/istri, Bebi akan mau berpacaran dan berhubungan seks dengan Budi?
Jika tidak, sekali lagi, itu adalah sexual coercion. Pemerkosaan.
Ada lagi, Cipto dan Citra. Citra belum pernah berhubungan badan, lalu bertemu Cipto. Pedekate dan jadian. Awalnya hanya pegangan tangan, lama-lama ciuman, lalu semakin lama berhubungan, mereka semakin jauh. Suatu hari Cipto dan Citra terlalu jauh, Cipto menarik celana dalam Citra.
Citra meminta Cipto tidak melakukan penetrasi, Cipto menjawab, “Aku nggak janji.” kemudian tiba-tiba ia melakukan penetrasi tanpa mempedulikan jeritan Citra. Citra dalam kondisi bingung. Ia sayang dan percaya pada Cipto, tapi ia tidak yakin ingin melakukan penetrasi. Namun detik itu, Citra tidak berani untuk melawan karena Cipto adalah pacarnya, dan mereka sudah terlanjur telanjang. Citra menyalahkan dirinya dan berpikir bahwa dia lah yang membuat hubungan badan ini terjadi.
Itu, sexual coercion. Cipto memanfaatkan status hubungan mereka, memanfaatkan situasi, dan memanipulasi Citra agar tidak berani untuk menolak berhubungan badan. Pemerkosaan.
Tentu saja, pembelaan yang paling common adalah, “Tapi saya tidak memaksa, kok. Kami sama-sama suka. Sama-sama menginginkan. Toh ceweknya gak nolak, malah doyan.”
Tapi jika pelaku jujur, terbuka soal ekspektasi, situasi, kondisi, dan statusnya, dan menjelaskan apa yang dia mau serta tidak menuntut, apakah pasangannya akan mau diajak berhubungan badan?
Jika tidak, maka, yang kamu lakukan adalah sexual coercion.
Jadi… sudah berapa perempuan yang kamu “perkosa”?
Baru tau istilah ini. Semoga hukum di Indonesia bisa mengakomodir definisi istilah sexual coercion sbg salah satu unsur yg memenuhi tindak pidana perkosaan.
Gak akan pernah bisa kayaknya…
Kalau di negara lain, bagaimana?
Karena penasaran, aku jadi gugling dan nemu ini:
The United Kingdom (comprising England and Wales, Scotland and Northern Ireland), Ireland, Belgium, Cyprus, Luxembourg, Iceland, Germany and Sweden all have consent-based definitions.
perkosaan yang jelas-jelas saja sulit untuk menghukum pelakunya, dan justru banyak menyalahkan korban, apalagi perkosaan jenis halus seperti ini.. đŸ˜¦
Nggak akan ada hukumnya kalau di Indonesia mah. Sexual assault saja susah untuk dilaporkan dan cenderung membela pelaku daripada korban.