Hi, nama saya Lea. Saya didiagnosa dengan depresi pada tahun 2015, depresi saya relaps pada tahun 2014. Setelah terapi dengan psikolog pada tahun 2015-2016, saya beralih ke psikiater pada tahun 2018, ketika depresi saya kembali relaps, berlanjut hingga sekarang. Pada tahun 2019, saya mendapatkan diagnosa tambahan; bipolar. Tahun ini, 2020, saya beralih psikiater, dan mendapatkan diagnosa bipolar. Sejak 2018 hingga sekarang, saya mengkonsumsi obat penenang dan anti-depressant agar saya bisa berfungsi dengan normal.
Saya berkali-kali membahas soal depresi dan saya rasa saya cukup mengerti tentang kondisi saya, terutama karena dibantu oleh psikolog saya. Sayangnya, saya tidak begitu mengerti soal bipolar. Sebagian diri saya masih merasa saya tidak memiliki bipolar, namun ketika kedua psikiater saya menunjukkan gejala-gejala saya, saya jadi lebih sadar dan mengerti.
Apa efek dari diagnosa tambahan ini untuk saya?
Efek positifnya, saya jadi belajar bahwa ada sikap-sikap dan pemikiran saya yang sebenarnya “tidak normal”. Kadang saya begitu impulsif, merasakan semacam tekanan untuk melakukan sesuatu seperti berbelanja, membersihkan kamar mandi tengah malam, menggambar, menulis cerita, membuat creative project yang ambisius, dan masih banyak lagi, namun keinginan itu tiba-tiba bisa hilang esok harinya. Padahal sudah saya mulai lakukan. Ada kalanya saya menelepon teman saya pukul 12 malam, mengajak untuk melakukan project tertentu, dengan begitu ambisius saya menjelaskan rencana saya, apa saja yg dibutuhkan, dan berbagai detail lainnya. Kemudian, paginya, saya bahkan tidak mau membahas hal tersebut. Selamanya.
Atau kadang saya tiba-tiba begitu bawel, bicara tanpa koma. Saya merasakan tekanan bahwa saya harus terus bicara. Topik saya melompat-lompat, seperti isi kepala saya. Biasanya, ketika pulang dan sendirian, saya akan merasa menyesal dan malu. Malu kenapa saya bicara seperti seorang narsis yang selalu ingin menguasai topik pembicaraan. Di lain waktu, kebalikannya, saya bisa tenang, diam, dan mendengarkan lawan bicara saya dengan baik. Namun, kadang diam saya terlihat seperti orang sombong yang tidak tertarik mengobrol dengan orang lain (ini asumsi saya sendiri).
Saya bisa tiba-tiba mengerjakan pekerjaan saya dengan cepat, tajam, detail. Namun di lain waktu, saya bisa merasa susah konsentrasi. Mata saya hanya menatap kosong pada monitor, saya sulit mencerna kalimat-kalimat berbahasa inggris di depan mata saya. Pikiran saya melayang kemana-mana, atau justru kosong sama sekali. Kadang saya suicidal, di lain waktu saya merasa optimis bahwa saya bisa melakukan apapun.
Ada kalanya saya membuat keputusan-keputusan atau melakukan hal yang ekstrim, yang melawan kebiasaan, atau norma saya sendiri. Hanya karena impulsif, atau menginginkan efek dari adrenalin. Kadang saya menyesalinya, kadang saya berusaha melupakannya seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Sesekali saya bisa menerimanya, dan berusaha tidak mengulangi.
Sebelumnya, saya mengira itu hal yang biasa. Saya hanya mampu mengenali gejala depresi saya. Sampai psikiater saya melihat sendiri keadaan saya ketika dalam fase manik.
Saya merasa menjadi pribadi yang aneh, dan menjadi semakin minder. Sayai merasa diam-diam teman-teman saya menghakimi saya dengan aneh, caper, narsis, bawel, atau mungkin bagi sebagian orang lain; sensitif dan agresif/galak. Tidak sekali dua kali saya dibilang terlalu galak di sirkel yang satu, namun di sirkel pertemanan yang lain saya dianggap sebagai pribadi yang tidak pernah marah, dan tidak mungkin bisa marah.
Ada beberapa teman yang diam-diam saya benci dan ingin saya jauhi karena saya merasa mereka menghakimi saya. Padahal, mereka tidak melakukan satupun hal yang bisa membuat saya berasumsi seperti itu. Tapi pikiran saya meyakini bahwa mungkin saja mereka betul-betul tidak menyukai saya karena sikap saya yang aneh.
Satu waktu, saya pernah merasa begitu sensitif hingga saya marah tanpa alasan yang jelas dan menyebabkan saya mendiami serta menghindari teman-teman saya sampai beberapa minggu. Saya menangis kala itu, entah karena apa. Seperti ada emosi berlebihan, kesedihan dan sakit di hati saya, padahal mereka tidak melakukan apa-apa. Sejak saat itu, saya merasa ada yang berubah dengan pertemanan kami. Seenggaknya untuk 1-2 orang. Saya tahu mereka menganggap saya menyebalkan dan mungkin juga lebay.
Kejadian itu mungkin sudah setahun lewat, tapi sampai hari ini, saya masih merasa dibenci. Yang membuat saya sedih adalah, sampai hari ini saya tidak tahu apakah itu kognitif disorder, atau benar mereka membenci saya.
Ada begitu banyak pikiran negatif di dalam kepala saya. Kadang mudah untuk membedakan mana yang bagian dari penyakit saya, namun sering juga tidak mudah untuk memisahkan mana yang nyata dan mana yang hanya ada di dalam pikiran saya.
Kadang saya tidak peduli jika ada orang yang tidak menyukai saya, namun, kadang saya juga menjadi insecure dan membenci diri saya sendiri.
Saya banyak menulis soal penyakit saya di blog dengan harapan setidaknya orang-orang yang mengenal saya bisa mengerti saya, mengerti apa yang ada di kepala saya, mengerti mengapa kadang saya bertingkah aneh. Lebih bagus jika pembaca saya jadi lebih mengenali mental illness dan mengubah opini negatif mereka menjadi lebih toleran dan belajar untuk memahami serta memaklumi.
Tapi tentu saja, saya harus belajar menerima, bahwa pasti akan ada orang yang membenci, mencibir, atau mentertawakan saya karena penyakit saya. Tentu saja akan ada orang yang menganggap sikap saya sebagai kepribadian instead of gejala yang sedang mati-matian saya pelajari untuk manage.
Dan dengan diagnosa tambahan ini, bipolar, saya belajar mulai dari nol lagi untuk mengerti diri saya. Memilah mana sikap atau pikiran yang normal dan tidak normal, kemudian belajar menekan yang tidak normal. Saya belajar lebih mengenal diri saya.
Terlalu sedikit pemahaman saya tentang bipolar, dan banyak pertanyaan saya tentang diagnosa ini. Apakah saya sudah bipolar sebelum MDD saya relaps? Ataukah saya menjadi bipolar setelah saya MDD? Apakah itu mungkin? Apakah seseorang bisa tiba-tiba mengidap bipolar setelah mengalami relaps depresi? Apa penyebab bipolar? Mengapa orang-orang yang bipolar bisa memiliki gejala yang jauh berbeda? Pertanyaan saya terlalu banyak, dan saya tidak tahu apakah perlu mencari jawabannya atau tidak. Apakah jika saya tahu jawabannya, bisa membantu saya mengontrol gejala saya? Karena mengerti soal depresi membuat saya bisa belajar mengenali gejala dan mengontrolnya (walau tidak selalu bisa). Tapi apakah hal yang sama bisa diaplikasikan pada bipolar? Apakah tidak masalah jika saya menolak obat-obatan bipolar? Karena saya selalu menolak diresepkan abilify karena saya tidak menyukai efek sampingnya.
Rasanya seperti tiba-tiba tidak mengenali diri saya. Apa yang saya tahu tentang diri saya sendiri ternyata banyak kelirunya.
Jika entah bagaimana ada teman saya yang membaca postingan ini, semoga mereka mengerti bahwa saya tidak selalu bisa mengontrol diri saya, namun saya sedang belajar. Saya tidak menghabiskan uang 1-2 juta sebulan hanya untuk membuat konten di social media. Saya mengorbankan uang dan waktu agar saya bisa merasa lebih baik. Saya menulis bukan untuk menjadi selebritis, saya menulis agar orang-orang bisa belajar mengerti dan tidak menghakimi. Saya meminum obat setiap hari agar saya tidak terjebak dalam kesedihan yang berlebihan, kegelisahan yang aneh, pikiran-pikiran liar, dan mengurangi serangan gelisah dan panik saya yang sering membuat saya sesak nafas dan merasakan sakit di dada saya .
Saya sudah cukup membenci diri saya dan merasa rendah diri karena mental illness saya, karena penampilan saya yang tidak memenuhi standar kecantikan society, skill saya yang mediocre, dan strata sosial yang mepet ke bawah, dan hal-hal lainnya yang tidak saya miliki. Namun, saya sudah berusaha. Saya berobat, terapi, olah raga, membaca buku, menggambar, belajar fotografi analog, main game, beristirahat yang cukup. Sedih aja kalau saya dikira nyaman berada dalam kondisi ini. Saya sudah cukup minder dengan diagnosa saya, yang membuat saya meyakini bahwa tidak akan ada yang menerima kondisi saya seumur hidup.
Tidak ada yang nyaman hidup di dalam isi pikiran yang paranoid, suicidal, dan merasa kehilangan kontrol atas diri sendiri.
Semangat, Lea! Akan selalu ada teman-temanmu yang setia menemanimu. Aku termasuk di antaranya. :’)
Huhu… makasih Kimi. Skrg udah ngerasa lebih baik. Kemarin kayaknya lg down aja.
terus sehat ya, le
dirimu, gimanapun tetap temen yg keren di mataku 🙂