Pertama kali saya mengenal Sylvia Plath, mungkin tahun 2014. Ketika depresi mayor saya relaps, namun saya belum menyadari bahwa saat itu saya depresi. Saat itu, saya kira, yang saya rasakan adalah galau. Meski saya tahu, seumur hidup saya belum pernah merasakan kesedihan sesakit itu.
Pada masa itu, saya sibuk mencari artikel tentang perselingkuhan dan cara menyembuhkan kesedihan akibat perselingkuhan. Dan entah apa keyword yang saya ketik di halaman Google, artikel tentang Sylvia Plath muncul di hasil pencarian saya. Saya lupa artikel yang mana, namun yang menarik perhatian saya adalah informasi bahwa Sylvia Plath meninggal bunuh diri karena terluka atas perselingkuhan suaminya.
Setelahnya, saya mencoba mencari puisi dan buku milik Sylvia Plath. Untungnya tulisan miliknya termasuk mudah ditemukan dalam bentuk pdf walau tidak lengkap. Saya terhanyut ke dalam tulisan-tulisan puisi miliknya yang seakan mewakili perasaan saya.
Salah satu puisi favorit saya adalah Pursuit, yang secara akurat menggambarkan perasaan saya kala itu.
There is a panther stalks me down:
One day I’ll have my death of him;
Ketika membaca pursuit, saya merasa mantan kekasih saya adalah “Panther”, yang hendak membunuh saya.
Kemudian, semakin saya menaruh minat pada karya-karya Sylvia Plath, saya jadi mengetahui bahwa puisi-puisi miliknya memiliki nuansa suicidal, gelap, dan penuh amarah. Selain itu, ternyata ada sebagian yang menganggap Sylvia Plath sebagai panutan mereka dan membuat penulis ini menjadi semacam simbol romantisasi bunuh diri dan depresi (tentu saja tanpa disengaja).
Kala itu saya merasa jijik. Karena menurut saya, emosi di dalam syair-syair milik Sylvia Plath sangat nyata, sangat hitam, bukan terlihat sophisticated, atau elegan. Sangat tidak sopan jika syair milik Sylvia Plath didegradasi sebagai “kode sedang galau”.
Akhirnya saya didiagnosa menderita depresi oleh psikolog saya setelah hampir 2 tahun berjuang hidup dengan depresi yang tidak terdiagnosa dan tertangani. Pada masa-masa saya terapi dengan psikolog, saya mulai belajar mengenali luka-luka dan perasaan negatif saya.
Saya teringat, saya kembali membaca ulang Pursuit, dan persepsi saya berubah. “Panther” di dalam puisinya, bagi saya bergeser. Mulanya saya menganalogikan mantan kekasih saya sebagai “Panther”, namun kemudian saya merasa “Panther” adalah depresi saya. Saya berusaha lari dari “Panther”, tapi saya tahu, suatu hari dia akan berhasil menangkap saya, dan menelan saya.
Barulah saya merasakan betapa Sylvia Plath dan karyanya sangat relevan dengan saya. Akhirnya saya mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan penulis ini.
Sylvia Plath meninggal bunuh diri dengan cara memasukkan kepalanya ke dalam oven dan menyalakan kompor gas, sementara anak-anaknya tertidur di ruangan lain di dalam rumah. Sementara, suaminya sedang hidup berbahagia dengan selingkuhannya. Saat Sylvia Plath meninggal, status mereka masih menikah.
Saya menangis membaca artikel tersebut. Saya tidak bisa tidak untuk menempatkan diri saya di dalam posisi tersebut walaupun saya belum menikah dan memiliki anak. Karena menikah atau tidak, rasa sakit karena diselingkuhi tetap sama. Terutama saya memiliki underlying trauma terhadap perselingkuhan. Saya tidak memiliki resiliensi untuk obyek satu ini.
Sangat sulit untuk tidak terpelatuk ketika membaca kisah hidup Sylvia Plath. Begitu tragis. Dan (mantan) suaminya, Ted Hughes, tidak merasa perselingkuhannya salah. Persis seperti mantan kekasih saya. Tentu saya sadar, ini adalah internalisasi yang berlebihan. Namun memang ini adalah hal yang benar saya rasakan.
Entah sejak kapan, saya mulai merasa bahwa saya tidak lagi memiliki kemampuan untuk mewujudkan kesedihan tak berdasar saya dalam kata-kata. Saya lupa sejak kapan saya sudah mulai berhenti curhat kepada sahabat-sahabat saya. Saya tidak lagi mengirim voice note berisi tangisan dan keluhan saya yang aneh. Saya tidak lagi mencari sahabat-sahabat saya ketika saya merasakan kesedihan yang mendalam. Saya tidak lagi membicarakan keinginan saya untuk mati kepada mereka walau saya terus merasakan itu.
Entah sejak kapan, saya tidak mempercayai lagi bahwa ada orang yang mengerti saya. Akhir-akhir ini, saya merasa semua orang menghakimi dan membenci saya. Saya menatap wajah teman saya, dan bertanya, apakah saya masih temanmu? Apakah kamu masih peduli? Apakah kamu diam-diam berpikir aku drama dan berlebihan? Apakah kamu sama dengan yang lainnya?
Malam ini tiba-tiba saya teringat Sylvia Plath, dan terpikir, apakah hal yang membuat ia tiba-tiba memutuskan ingin mati dan melaksanakan keputusannya? Apakah orang-orang mengatakan Sylvia Plath meromantisasi depresi? Apakah orang-orang di sekitarnya juga menganggap dia berlebihan dan drama?
Saya sudah menelan lorazepam 4 jam yang lalu, dan rasa kantuk belum mampir.
Di depan monitor, sambil mengetik ini, saya berpikir, apakah semua perjuangan untuk terapi dan berobat ini sia-sia? Apakah saya akan terus seperti ini?
Saya nyaris meng-uninstall aplikasi whatsapp di telepon genggam saya, kemudian saya teringat, saya bisa lari dari orang-orang, tapi saya nggak akan bisa lari dari rasa sakit saya yang permanen.
Saya melihat nama teman-teman saya di history chat whatsapp, dan bertanya-tanya, “Apakah mereka masih teman saya?”
Jika iya, mengapa saya sulit untuk bercerita kepada mereka? Mengapa saya takut mereka tidak peduli atau malah menghakimi saya dengan cap drama?
Ternyata hanya butuh 1 orang yang menghakimi saya, untuk kemudian mencurigai semua teman saya melakukan hal yang sama di belakang saya.
Saya tahu tulisan saya nggak nyambung. Tapi saya butuh menulis ini untuk katarsis.
Anyway, jika kamu merasakan apa yang saya rasakan, lekas ke dokter, ya. Nggak akan ada yang bisa menyelamatkan kamu selain dirimu sendiri. Kamu nggak bisa nyalahin orang lain, karena mereka nggak mikirin kamu dan sedang melanjutkan hidupnya.
Saya mau bilang hangin’ there.
Tapi saya tahu kalimat tersebut omong kosong dan tidak berpengaruh apa-apa.
Lea, hang in there. You know I care a lot about you. Mau jajan somay eh apa itu yang kamu bilang kamu nemu di Grab? Kamu bilang jajanan di situ enak-enak semua.