The Journey Of Learning To Love Myself

I’ve been having a lot of heart-to-heart discussions with some friends this past week. Some of those imprinted so deep in to my mind.

Tapi ada salah satu hal yang lumayan membuat saya tepikir lebih dalam dibanding diskusi lainnya.

We were talking about one of my exes and red flags. Kisahnya saya sedang bingung apakah saya telah membuat keputusan yang tepat dengan meninggalkan mantan saya. I mean, i loved him, hell, maybe i still love him. I don’t know. We had a lot of fun, i was happy when i was with him. We weren’t only just a lover, we’re best friends, partner in crime, each other’s supporters, or so i thought.

Tapi saya mengatakan sesuatu pada sahabat saya. Ada satu momen di mana saya sulit untuk melupakan.

One day, i had a break down. Penyebabnya, i had this assignment from my dream company, but i couldn’t do it. Kesalahan saya, pada saat itu saya sudah 1 bulan tidak meminum regimen obat saya, sudah melewati 2 pertemuan dengan psikiater saya. Saya merasa stress dan tidak sanggup melakukan assignment tersebut.

Orang pertama yang saya cari secara instingtif, tentu saja, adalah pasangan saya. Sebut saja namanya Mr. Metal. I was crying like a baby. I called him. I called his name the moment he picked up my phone. He asked, “What’s wrong.” To which i replied, “Gak apa-apa, aku cuma butuh kamu temenin.” Dia tanya beberapa kali lagi, dan saya tidak menjawab. Saya cuma bisa menjawab bahwa saya hanya butuh ditemani dia saat ini.

Di luar dugaan, dia menjawab, “Gue males ngeladenin orang nangis gak jelas. Gue tanya kenapa malah gak jawab.” Then he closed the phone. For the note, most of the time, he’s not like that. Dia tipe yang akan terus menelpon dan mengirim chat ke saya bila saya tidak mengangkat teleponnya. Dia tipe yang akan langsung datang ke kosan saya jika sedang mumet hanya untuk ngobrol dengan saya. Dia tipe yang akan menelepon saya untuk mengeluh. Dia tipe yang akan memeluk saya jika saya ngambek sama dia.

So, it was really out of nowhere for me.

Later on that day, setelah saya tenang dan selesai curhat dan menangis dengan teman saya yang lain, Mr. Metal menanyakan kabar saya. I said i’m already okay. Then we talked. Saya menjelaskan ke dia kalau saya sedang stress dengan assignment saya karena saya merasa tidak sanggup mengerjakannya, makanya saya mendadak menangis. Kemudian saya tambahkan, saya sudah curhat dengan teman saya, jadi saya sudah baik-baik saja. Dia menjawab, “If you said it earlier, i’d know better and i’d know how to handle you. Now I understand.”

Dengan polos saya menjawab, “It’s ok, next time, i’ll just contact my friends for these kinds of issue.” It’s days later until i able to understand that my respond was hurtful for him. I felt guilty.

But my best friend told me this.

“Kalau cewek gue nelpon gue dalam keadaan nangis, walaupun gue ga tahu alasannya apa, gue gak akan pernah nutup telpon. Lea. Itu red flags.”

You know, i have lot of words in my mind to explain why i understood Mr. Metal and i don’t consider what he did was a red flag.

But then my best friend added these. Something that is very important for me to understand and to be kept in my mind. Kira-kira seperti ini, sort of, i was drunk, so i don’t really remember the details. But this is how i understand it.

“Le, lo itu secara mental udah punya issue. Lo punya bipolar, dan lo harus nyari pasangan yang bisa ngerti kondisi lo. Apa yang menurut orang biasa aja, gak biasa buat elo. Cara lo menerima sebuah situasi, berbeda dengan cara orang lain. Lo harus bisa mengutamakan kondisi lo ini saat memilih pasangan. Dia ngerti nggak lo punya bipolar?”

“Gue udah bilang ama dia gue punya bipolar.”

“Tapi dia ngerti nggak apa itu bipolar?”

To be honest, saya bahkan ga tahu apakah dia peduli gejala bipolar saya separah apa. Saya ga tahu apakah dia bisa mengerti beberapa actionnya mampu memberikan efek emosional yang ekstrim bagi saya (tapi tentu saja reaksi saya tidak ekstrim karena sudah belajar bertahun-tahun mengendalikan output dari rasa sedih saya yang berlebih).

Dari diskusi tersebut, saya belajar, iya, saya punya pre-existing condition yang nggak akan bisa diterima dan dimengerti oleh orang yang menjadi pasangan saya. For the record, saya bukan tipe perempuan agresif yang mengamuk dan mengejar pasangan dengan posesif. Saya bukan tipe perempuan yang melempar gelas ke pasangan saya, atau berteriak ketika emosi. Saya adalah tipe perempuan yang menangis di kamar, question my own worth, mati-matian mengendalikan insecurities saya, berusaha melawan keinginan bunuh diri, dan saya tidak menceritakan hal tersebut ke pasangan saya.

You know, saya simply ingin dimengerti, didengar, dan diperlakukan dengan lembut. Saya punya trauma yang dalam terhadap sikap-sikap agresif seperti diteriaki, dimaki dengan bahasa kasar, dan diselingkuhi. Kadang, cara saya melihat dan menerima suatu kondisi, bisa berbeda dengan kenyataannya. Namun saya mencoba mengerti, dan biasanya saya akan bertanya agar memastikan apakah judgement saya terganggu oleh kelemahan kemampuan kognitif saya mengolah informasi. Sayangnya, tidak semua orang punya kesabaran untuk membantu saya mengerti.

Sahabat saya menunjukkan pada saya, mengapa Mr. Metal bukan orang yang tepat untuk saya. Mungkin bukan berarti Mr. Metal adalah lelaki yang jahat. Simply karena dia tidak punya energi, kapasitas, dan kemampuan untuk adjust dan kemauan untuk mengerti saya.

Despite everything, saya masih menyayangi dia. Though, di antara diskusi dengan psikiater saya, saya sudah diajari untuk mengerti, mungkin dia memang tidak sesayang itu sama saya. Mungkin ya relationship dia dengan saya tidak memiliki arti yang sama antara dia dengan saya. Which, sangat possible karena cara saya menyayangi orang mungkin sedikit berbeda. In relationship, i go all the way, atau nggak sama sekali. Dan psikiater saya mengajari saya untuk menerima kenyataan tersebut.

Kalau dia tidak sesayang itu sama saya, dia nggak salah sama sekali.

Sahabat saya yang lain bilang, “At least, elo masih bisa menilai situasi secara logika dan membuat keputusan berdasarkan logika tersebut instead of menurut emosi lo dan bertahan di dalam hubungan yang malah membuat lo bersedih.”

Since those discussions, i’ve been busy working, doing side projects, going to the gym, read books, hang out with friends. I played game less, i stopped scrolling on dating apps, i stopped replying chat from guys, i said to friends when i want to be alone, i stopped seeing guys who don’t meet my bare minimums.

Instead, i start seeing how my friends treat me, and remind my self, “This is how i want to be treated.”

I went to dinner with mom, bought stuffs i like, and thinking, “This is my standards. I don’t want less than this.”

As i sat next to my friend’s bed, tonight, listening to grunge and post rock songs from my friend’s playlist, i’m thinking, “I can love someone, but that doesn’t mean i must settle with him. It’s ok if he doesn’t love me as much as i love him. It’s ok if he falls for another girl. Instead, i should focus to improve my self, reach my goals, work my ass out to buy the iPad pro and other stuffs that i’ve been wanting.”

If i wasn’t good enough for him, it’s okay. I can never be what he wants, and anyway, that’s not my goal.

I should only be good enough for myself. I should be the kind of person i want.

As my best friends keep telling me, “If you want to be with someone, be with someone who understands you and believe your feelings are important.”

Published by

macangadungan

Fulltime Dreamer

3 thoughts on “The Journey Of Learning To Love Myself”

  1. At the end of the day, it is ourselves that we have to focus on, right? I hope when I happen to like someone, I can remember that. Thank you, Lea, for sharing your experiences and thoughts.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s