Aku sudah berhenti bertanya mengapa dirimu selalu menangkapku ketika aku jatuh. Menyambutku di dalam rumahmu, membungkusku dengan selimut, dan menyediakan segelas kopi hangat di meja untukku. Kemudian dengan sabar kamu menjahit luka-lukaku yang tertoreh di atas luka-luka lama yang pernah kau sayat sendiri pada tubuhku.
Apakah itu maaf yang kau bayar menyicil karena kau sudah sadar maaf tak menyembuhkanku. Atau cinta yang tersisa namun keras kepala tak mau pergi padahal hanya ampas di sudut hatimu. Atau bahkan kamu sekedar menunggu waktu yang tepat untuk membunuhku yang ke empat kali. Seperti serigala yang selalu lapar dan menunggu korbannya lengah untuk kemudian dicabik sampai habis.
Dan mungkin bagiku kamu seperti alprazolam yang kata psikiater ku harus diminum jika aku mengalami serangan panik atau gelisah terlalu parah. Untuk mencegah diriku terlarut dalam depresi mayor. Ketika aku sakit, aku menenggakmu sesegera mungkin. Dan brengseknya kamu selalu berhasil menenangkanku. Padahal alprazolam sekalipun tidak seampuh itu.
Aku sudah tidak mau bertanya alasanmu atau menghitung seberapa berbahaya dirimu.
Aku pinjam dirimu sebentar saja sebelum aku lupa kamu bukan rumahku.
Tapi jaga aku sebentar. Sampai aku terlelap. Peluk aku sebentar agar aku ingat rasanya dikasihi. Biarkan aku menghabiskan kopiku dahulu.
Aku pinjam dulu bahumu
sejenak.