7 Tanda Bahaya di Akun Social Media Pacarmu

Social media itu barang kali sering jadi sumber masalah dalam relationshit. Tapi menurut saya pribadi, bagaimana cara pasanganmu menggunakan dan berinteraksi di social media sebenarnya bisa jadi indikator yang penting untuk kepribadiannya. Orang-orang yang sering selingkuh, misalnya, saya perhatikan memiliki kebiasaan yang sama dalam menggunakan social media.

Banyak alasan yang digunakan untuk tidak mementingkan perilaku di social media, salah satunya yang paling sering saya dengar adalah, “Ini cuma social media. Apa yang ditampilkan di social media kan berbeda dengan kehidupan nyata.”

Continue reading 7 Tanda Bahaya di Akun Social Media Pacarmu

SEXUAL COERCION IS RAPE

Sudah sebulan lebih saya stay di dalam kamar, hanya keluar 2 kali untuk ke rumah sakit dan belanja bulanan. Situasi masih belum membaik, bahkan diramalkan, puncak pandemi COVID-19 di Indonesia baru akan terlihat pada bulan Juni-Juli.

Mungkin saat ini sebagian besar orang sudah karantina mandiri di rumah, atau ada yang dipecat karena perusahaannya bangkrut, atau dirumahkan tanpa gaji. Dan kini pengguna social media menjadi lebih cerewet dan reaktif dibanding sebelumnya.

Anyway.

Ada salah satu topik di media daring yang mencuri perhatian saya. Mungkin istilahnya “sex and tell”? Beberapa kali saya melihat thread di twitter yang membahas isu tentang perempuan yang ditinggalkan begitu saja setelah berhubungan badan.

Saya nggak mau bahas gosipnya, tapi dari isu seperti ini, saya belajar mengenali sebuah term; sexual coercion.

Sexual coercion, menurut artikel ini, didefinisikan kira-kira sebagai berikut:

Aktivitas seksual yang tidak diinginkan yang terjadi karena tekanan non-fisik, termasuk diantaranya:

  1. Terpaksa dilakukan karena lelah dengan ajakan/permintaan untuk berhubungan seks yang berulang-ulang.
  2. Dibohongi/dibujuk/dirayu/dijanjikan sesuatu (yang tentu saja janjinya palsu) untuk memanipulasi korban agar mau diajak berhubungan badan. Misalnya; mengaku single, janji akan menikahi, pura-pura sayang dengan tulus, pura-pura baik dan perhatian, misleading dan manipulasi agar korban mengira bahwa mereka “berpacaran”, dan masih banyak lagi.
  3. Mengancam putus atau akan membuka aib/informasi pribadi korban jika tidak ingin melakukan hubungan seks.
  4. Relasi kuasa, menggunakan jabatan atau posisi otoritas untuk menekan seseorang agar mau berhubungan seks dengannya.

Ada berapa di antara kalian yang berhubungan seks karena alasan di atas?

Diancam putus, dijanjikan akan dinikahi, dirayu dengan kata-kata sayang, atau dimanipulasi dengan menciptakan situasi seakan-akan kalian berdua sedang dalam hubungan pacaran (lalu kemudian pelaku akan bilang, “Loh, kita kan gak pacaran. It’s just sex.”), atau bahkan dengan mengaku single padahal sudah punya pacar atau istri.

Ada beberapa kasus yang dialami oleh orang yang saya kenal.

Misalnya, katakanlah, Andi dan Ani. Andi mendekati Ani, mulai dari chat, kemudian ketemuan, kemudian ngedate, setiap hari teleponan, seminggu sekali jalan selayaknya orang pacaran biasa. Ani mengira status mereka berdua sudah menjadi “pacaran” karena semua treat yang dilakukan Andi seperti itu. Suatu hari, Andi mengajak Ani liburan ke luar kota, kemudian mereka berhubungan badan. Seperti itu selama berbulan-bulan.

Lalu Ani memergoki Andi ternyata juga jalan dan tidur dengan perempuan lain. Ani marah, ia langsung mengkonfrontasi Andi. Dan dengan enteng, Andi menjawab, “Loh, kita kan bukan pacaran. Memang aku pernah bilang kalau kita pacaran?”

Ani menjawab, “Tapi aku sudah berhubungan badan sama kamu! Harusnya kamu tanggung jawab.”

“Loh, tapi aku kan gak pernah maksa untuk berhubungan badan. Kita melakukan itu karena suka sama suka. Kamu gak pernah nolak, kok.” kilah Andi.

Tidak, Andi. Apa yang kamu lakukan adalah sexual coercion. Bagaimana jika sebelum kalian berhubungan badan, kamu bilang ke Ani, “Hi Ani, aku ingin bermesraan dengan kamu dan melakukan hubungan seks. Tapi perlu kamu ketahui, aku nggak ingin kita pacaran, dan aku juga memiliki partner seks yang lain selain kamu.”

Apakah jika Andi jujur dari awal seperti itu, Ani mau berhubungan badan dengan Andi?

Jika jawabannya Ani tidak akan mau berhubungan badan dengan Andi, apa yang dilakukan Andi adalah manipulasi dan dikategorikan sebagai “pemerkosaan”.

Contoh kasus lain. Sebut saja Budi dan Bebi. Budi berkenalan dengan Bebi, dari perkenalan itu, Budi mendekati Bebi. Mulai dari chat, ngedate, akhirnya suatu hari Budi “nembak Bebi”. Beberapa bulan kemudian, akhirnya Budi dan Bebi berhubungan badan. Mereka bahagia. Sampai suatu hari… Bebi mengetahui bahwa Budi ternyata sudah punya istri/pacar.

Sambil menangis, Bebi bilang, “Kok kamu tega? Aku pikir kamu serius sama aku.”

Dan Budi hanya menjawab, “Maaf, aku betul-betul sayang sama kamu. Tapi aku nggak bisa meninggalkan pacar/istri aku. Hubungan seks kita kemarin-kemarin karena aku benar-benar sayang sama kamu.”

Apakah jika Budi jujur dari awal bahwa ia punya pacar/istri, Bebi akan mau berpacaran dan berhubungan seks dengan Budi?

Jika tidak, sekali lagi, itu adalah sexual coercion. Pemerkosaan.

Ada lagi, Cipto dan Citra. Citra belum pernah berhubungan badan, lalu bertemu Cipto. Pedekate dan jadian. Awalnya hanya pegangan tangan, lama-lama ciuman, lalu semakin lama berhubungan, mereka semakin jauh. Suatu hari Cipto dan Citra terlalu jauh, Cipto menarik celana dalam Citra.

Citra meminta Cipto tidak melakukan penetrasi, Cipto menjawab, “Aku nggak janji.” kemudian tiba-tiba ia melakukan penetrasi tanpa mempedulikan jeritan Citra. Citra dalam kondisi bingung. Ia sayang dan percaya pada Cipto, tapi ia tidak yakin ingin melakukan penetrasi. Namun detik itu, Citra tidak berani untuk melawan karena Cipto adalah pacarnya, dan mereka sudah terlanjur telanjang. Citra menyalahkan dirinya dan berpikir bahwa dia lah yang membuat hubungan badan ini terjadi.

Itu, sexual coercion. Cipto memanfaatkan status hubungan mereka, memanfaatkan situasi, dan memanipulasi Citra agar tidak berani untuk menolak berhubungan badan. Pemerkosaan.

Tentu saja, pembelaan yang paling common adalah, “Tapi saya tidak memaksa, kok. Kami sama-sama suka. Sama-sama menginginkan. Toh ceweknya gak nolak, malah doyan.”

Tapi jika pelaku jujur, terbuka soal ekspektasi, situasi, kondisi, dan statusnya, dan menjelaskan apa yang dia mau serta tidak menuntut, apakah pasangannya akan mau diajak berhubungan badan?

Jika tidak, maka, yang kamu lakukan adalah sexual coercion.

Jadi… sudah berapa perempuan yang kamu “perkosa”?

Batas Antara Wanita Percaya Diri dan Bucin Kronis

Memperebutkan pria adalah salah satu hal yang paling anti saya lakukan. You want my boyfriend? Take him. If he falls for you, he never mine since the beginning. (Walau habis itu diam-diam nangis darah di kamar kosan kemudian pergi ke psikolog/psikiater untuk menekan gejala depresi saya)

But hey… saya percaya kalau seseorang benar-benar sayang sama kamu, dia ga akan selingkuh atau menjadikan kamu selingkuhan.

I had this discussion with my (douchebag dickhead cheating asshole) ex early this year, i asked him, “If you love me, why did you sleep around with other girls?”

He replied, “For me, love and sex are two different things. You and the other girls are placed in different boxes. You are in my special box, the rest are in other box.” Atau kira-kira begitu lah. Intinya buat dia, cewek-cewek lain ga ada artinya, dan dia membedakan antara cinta dan bukan cinta.

Instead of flattered, yang biasanya akan dialami bucin (budak cinta) pada umumnya, saya bertanya balik, “Gimana kalau posisi kita dibalik? Gimana kalo aku yang jalan sama cowok-cowok lain?”

Percakapan selanjutnya tidak penting karena tidak ada hubungannya dengan isi pikiran saya hari ini.

So… lately, teman-teman perempuan saya datang dengan curhatan yang menurut saya menyebalkan: tentang berebutan cowok.

Like… bitches… seriously?

Ada yang jadi selingkuhan, ada yang jadi pihak yang diselingkuhi. Tapi intinya sama, mereka ga mau kalah sama cewek yang satu lagi.

First of all, euw, that’s disgusting.

Knowing what you want and fighting for it, is cool. Tapi kalau setelah kalian diselingkuhi atau dijadikan selingkuhan dan ngotot perjuangin cowok tersebut sementara si cowok masih entertain cewek satunya lagi, artinya kalian masuk kategori bucin. IMHO (ditambahkan agar tidak terkesan kasar).

Ketidakmampuanmu untuk mencintai diri sendiri sebaiknya dikenali dan diperbaiki sebelum mencintai orang lain.

Buat saya, ini adalah tanda-tanda kamu cewek bucin kronis:

– saat pasanganmu selingkuh atau menjadikan kamu selingkuhan, kamu malah sibuk nyalahin bahkan sampai nyerang cewek satunya lagi instead of nyalahin cowoknya

– kamu terima aja pas tahu si cowok masih jalan sama cewek lain dengan berhalusinasi bahwa mungkin suatu saat cowok itu sadar bahwa kamu lah yang terbaik buat dia

– effort kamu untuk perjuangin si cowok jauh lebih besar daripada effort si cowok untuk mempertahankan kamu

– sibuk mencari pembenaran atas sikap si cowok

– kamu membiarkan si cowok memanipulasi kamu dengan kebohongan dan gombalan yang cuma modal bacot doang

– modal bacot aja udah kamu anggap effort dan bisa bikin kamu pede dan merasa dicintai

– rebutan cowok. Anjir… Cowok bukan benda mati. Ga bisa direbut. Kalau dia jalan sama cewek lain, ya itu karena dia mau sama cewek itu. Bukan karena direbut. Bukan karena ceweknya ngejar-ngejar. Ya emang cowoknya juga doyan sama tu cewek. Deal with it.

– kamu nyari 1000 tanda bahwa dia sebenarnya cinta sama kamu. Nggak. Dia ga cinta sama kamu. Kalau dia cinta sama kamu, dia ga akan perlakukan kamu kayak sampah.

– sibuk membela dia di depan temen-temen kamu yang protes soal kelakuan si cowok. Gurl, he treats you like shit. How dare you defending him in front of your friends, who love you for who you are and been standing behind your back all this time…

Mungkin satu atau dua teman saya akan membaca postingan ini dan berpikir, “Oh, jadi lo ngejudge gue kayak gini, Le…”

Just so you know.

I don’t judge you. I merely stating facts and want you to love yourself and open your eyes.

Kita semua pernah jatuh cinta sama laki-laki brengsek dan memperjuangan lelaki yang memperlakukan kita kayak sampah. Tapi mau sampai kapan kayak gitu terus? Mau sampai kapan jadi bucin dan halu nyari pembenaran bahwa lelaki yang menyelingkuhi atau menjadikan kamu selingkuhan sebenernya sayang sama kamu?

He doesn’t love you. Deal with it, suck it up, move on.

Why Modern Dating?

FWB atau friends with benefits adalah sebuah istilah yang sudah lama saya dengar. Sebuah konsep hubungan yang nggak bisa saya mengerti dan selalu sukses membuat alis saya mengernyit ketika mendengarkan teman-teman saya bercerita soal pengalaman mereka dalam fwb.

Secara garis besar begini. FWB adalah hubungan di mana kalian berteman seperti biasanya, namun seks dan sejenisnya termasuk dalam variabel pertemanan itu, and no strings attached.

Kadang, konsepnya bisa lebih mirip booty call. Kalian nggak ngobrol, nggak berteman, nggak dating, tapi ketika butuh aktivitas fisik, kalian bertemu. Setelah urusan selesai, kalian melanjutkan hidup masing-masing sampai kalian butuh lagi.

Terdengar sangat kejam, kalau bukan sangat dangkal.

Lalu sekarang ada lagi yang namanya modern dating. Sesuatu yang lebih rumit lagi.

Kalian ngedate, punya momen deep conversations, care for each other, kissing dan sejenisnya, terasa eksklusif, tapi kalian nggak punya label apapun untuk hubungan tersebut.

No, i’m not joking. This kind of relationship does exist. Dan nggak sedikit dari teman-teman saya yang terjebak dalam hubungan seperti ini. Bertanya-tanya, “What are we?”, atau sebaliknya, berdoa jangan sampai pertanyaan itu muncul dari partner hubungan ini.

I can’t tell you why modern dating is now a thing. But i can speculate.

1. Dating apps dan social media menciptakan ilusi bahwa kita memiliki banyak pilihan dan membuat kita ingin mencoba sebanyak-banyaknya. Wajah-wajah di instagram, twitter, facebook, terlihat seperti kumpulan produk di dalam katalog. Orang-orang yang secara fisik menarik perhatian kita dan membuat penasaran. Seakan “pacaran” menjadi sebuah konsep hubungan yang terdegradasi. Bahkan di saat seseorang sudah memiliki pacar atau menikah, sedikit fling di sana dan di sini menjadi terasa wajar.

Interaksi di social media membuat kita lupa melihat manusia sebagai individu yang perlu dihargai, individu yang memiliki perasaan dan bisa terluka.

2. Sebagian dari kita sudah lelah dengan dongeng-dongeng a la Disney tentang jodoh, atau cinta sejati, atau apa lah itu. Sehingga apa yang biasa kita sebut dengan cinta, tergerus oleh perasaan sekedar butuh sandaran emosional dan pelepas syahwat. Kita tidak tertarik pada tanggung jawab dalam komitmen; menjaga, merawat, berbagi, mendengar. Buat apa melakukan semua itu jika kita bisa mendapatkan kebutuhan utama tanpa memberi investasi apapun terhadap orang yang menjadi pengisi kebutuhan ini?

3. Kemungkinan ke tiga, mungkin karena memang kita udah nggak percaya lagi sama yang namanya cinta? Kita terlalu sering melihat pasangan suami istri yang selingkuh, hubungan pacaran yang kandas dengan begitu mudahnya despite investasi waktu dan perasaan yang sudah diberikan bertahun-tahun. Kita belajar bahwa nggak ada satupun manusia yang bisa dipercaya. Kemudian kita terjebak pada this s0 called modern dating, dengan keyakinan bahwa tanpa komitmen apapun, mungkin rasanya nggak akan sesakit itu ketika ditinggalkan.

4. Seberapapun kejamnya alasan ini terdengar, kadang seseorang memilih berada di dalam hubungan seperti modern dating, karena pasangannya nggak layak dijadikan “pacar”. Kita ingin merasa disayang, merasakan afeksi, tanpa harus menutup kemungkinan untuk bertemu “jodoh” kita kapanpun. Kasarnya, “You’re just not good enough to be my girlfriend, but i need you to take care of my feelings and needs.” Sampai kemudian akhirnya dia menemukan orang yang dia mau, dan dia bisa pergi begitu aja karena kalian toh bukan apa-apa.

5. Dan kemudian ada alasan bodoh ini. Orang-orang yang nggak suka modern dating, namun terlanjur terjebak di dalamnya. Kalian menyukai pasangan kalian, namun galau sendiri karena dia nggak memberikan komitmen apapun, tidak mengakui kalian sebagai pasangan, tapi memperlakukan kalian sebagai pacar. Dia menghindari pertanyaan, “What are we?”, kalau bukan sekalian ngomong, “We’re nothing and i want to keep it that way.”

Lalu akhirnya kalian hanya bisa diam, mencoba menikmati hubungan nggak jelas ini, karena takut kalau bertanya malah akan kehilangan dia. Diam-diam berharap suatu saat dia memutuskan bahwa dia sayang sama kalian, dan akhirnya kata C dan request untuk naik tingkat jadi P diucapkan. Ended up kecewa karena hal itu nggak pernah terjadi.

Modern dating bukan hal baru juga. Dari dulu kita punya yang namanya TTM dan HTS, menurut saya nggak ada bedanya dengan modern dating. It’s totally ok kalau hubungan kayak gini dijalani oleh pasangan yang memiliki tujuan sama. Yang fucked up itu kalau salah satu pihak nggak being real dan upfront tentang hal yang dia mau, malah mislead pasangannya kemudian tiba-tiba bilang “We’re nothing.” setelah melakukan kegiatan ngedate, midnight calls, kissing, holding hands, etc.

Ditambah dengan adanya istilah “baper” (penemu kata baper kayaknya layak disundut pake piso daging).

Saat lo mulai merasa sayang, cemburu, insecure dll, dengan seenaknya lo dicap dengan kata “baper”, seakan memiliki perasaan adalah sebuah ketololan yang memalukan.

First of all, people do have feelings. If someone can’t deal with your feelings, it’s not your fault. It’s his/her fault for being an ultimate asshole by not respecting your feelings.

Despite betapa menyebalkannya modern dating, dan betapa kacaunya perasaan lo saat terjebak di dalamnya, lo harus sadar satu hal penting.

Lo selalu punya pilihan.

Lo bisa stay di situ dan nikmatin, stay sambil galau dan ngarep, atau pergi gitu aja. Lo nggak perlu terjebak di dalamnya. Lo ngerasa yang lo punya itu nyata, lo juga sayang ama dia, tapi lo merasa kayak berjalan di atas es tipis. Lo takut salah ngomong, lo takut kehilangan dia karena toh kalian bukan pacaran, dia bisa pergi gitu aja. Believe me. It doesn’t matter in the end. Emang kenapa juga kalau nggak ketemu dia lagi? Hidup lo nggak jadi susah, kok. Kalo sedih, palingan sedihnya juga sebentar doang.

Do never afraid of losing what’s never been yours.

Kalo Anak Lo Homo Gimana?

Percakapan beberapa tahun lalu, saat Jakarta lagi heboh karena Q Film Festival.

“Le, pendapat lo tentang homo gimana?”

“Hmmm… gimana, ya. Gue gak ada masalah sama gay. Kenapa emang?”

“Kok, lo begitu? Kalo anak lo homo gimana? Lo mau? Lo bakal ngebiarin?”

“Gini. Kalo boleh milih, gue gak mau anak gue jadi homo. Bukan karena gue benci homo, tapi karena gue tahu gimana masyarakat akan memperlakukan dia. Dan gue gak akan kuat ngeliat anak gue tumbuh dalam situasi kayak gitu.

Coba lo mikir. Lo punya anak, gay. Di luar rumah, dia harus menghadapi kondisi ditekan lingkungannya, digencet teman-temannya, dihina orang-orang. Trus, masa pas dia pulang ke rumah, lo juga ngelakuin hal yang sama kayak orang-orang ini?

Trus, lo tega gitu ngeliat anak lo dihina dan disakitin sama orang lain hanya karena dia gay?”

“Oh… iya juga, ya. Gue gak mikir ke sana…”

“Daripada sama gay, gue lebih takut sama orang-orang ini. Orang-orang yang ngerasa berhak nyakitin orang lain hanya karena menurut mereka perbedaan ini adalah dosa.”

 

***

Dulu Q Film Festival diributin karena katanya mempropagandakan LGBT. Sekarang topik ini naik lagi, dan sumpah berlebihan banget.

Apa yang mau dipropagandakan dari LGBT? LGBT nggak kayak kampanye pemilu. Ketika didatangi kemudian diberi presentasi ini itu yang menggebu-gebu, kemudian setelah acara selesai, orang-orang langsung memutuskan “Oke, saya akan memilih caleg yang ini.”

Hebat banget seksual preferensi bisa diubah hanya melalui kampanye.

Banyak orang yang nggak suka dengan keberadaaan kaum LGBT, sementara saya lebih nggak suka dengan keberadaan orang tolol judgemental. Apakah lantas saya boleh menunjuk wajah orang lain sambil bilang, “Kamu tolol, pergi jauh dari sini!”?

Kita pernah remaja, pernah sekolah. Saya masih ingat bagaimana teman-teman saya mengejek anak lelaki yang feminin atau perempuan yang terlalu tomboy. Saya nggak pernah ada di dalam kelompok anak-anak seperti itu. Simply karena saya nggak peduli. Tapi teman-teman saya yang lain bagaimana? Mereka menganggap itu lucu, tapi bagaimana dengan anak-anak yang jadi korban?

Bayangkan, jika setiap orang dewasa, kita-kita ini lah, teriak-teriak soal LGBT haram dan lain sebagainya. Cemoohan seperti apa yang akan dialami anak laki-laki yang memiliki kecenderungan feminin, dan anak perempuan yang tomboy? Jangan-jangan lebih buruk daripada teman-teman saya di masa kecil.

Kok kalian tega, sih?

Orang-orang mengatakan jangan mempropagandakan LGBT dibalik alasan HAM. Nggak ada yang melanggar hak kaum LGBT. Pembela LGBT membantu menyebarkan LGBT.

Ini yang saya lihat:

Kalian menyebarkan kebencian dan fitnah terhadap kaum LGBT.

Kalian yang mulai menyerang LGBT. Yang mana, jumlahnya minoritas, dan kebanyakan memilih diam ketika dihina dan ditekan.

Lalu muncul orang-orang yang peduli, dan stand up, untuk minoritas yang terus direpresi oleh masyarakat mayoritas.

Tiba-tiba orang-orang yang mencoba memberikan penjelasan dan pengertian kepada kalian soal LGBT malah dituduh kampanye LGBT.

Oh, come on.

Nggak usah bahas LGBT salah atau benar dulu, deh. Lihat dulu. Ketika kalian berteriak soal anti LGBT, apakah kalian nggak menjadi monster dan menggigit orang-orang yang nggak pernah menyakiti kalian?

Kemudian sok bawa agama dan moral, sambil menambahkan LGBT harus dibawa ke jalan yang benar.

Bagaimana caranya? Disekap kemudian dipaksa berhubungan badan dengan lawan jenis? Diancam agar melawan naluri biologi dan keadaan psikologinya? Ditekan dan dicemooh agar takut mengakui orientasi seksualnya? Dicuci otak?

Kalian meminta orang-orang berhenti membahas tentang bagaimana menghargai kaum LGBT. Meminta orang-orang berhenti memberi penjelasan dan pengertian soal LGBT. Sementara, kalian bebas menghina, mengutuk, mengancam, dan memfitnah?

Dulu ada yang pernah mengilustrasikan tentang preferensi seksual ke saya.

“Le, lo straight kan?”

“Iya.”

“Kalo ada orang yang nodong pistol ke elo, terus maksa lo harus jatuh cinta sama cewek, lo bakal nurut gak?”

“Lah ya gimana mo nurut juga? Mo ditembak juga gue gimana caranya naksir cewek kalo emang gue doyannya ama laki. Yah tembak aja lah. Mo gimana lagi.”

“Nah, itu kondisinya sama kayak homo dipaksa jadi hetero. Nggak ada bedanya.”

Kalian mikir aja deh, pake otak kalian yang jenius. Jika kalian yang merasa sang maha suci dan maha benar sebagai seorang straight, kemudian dipaksa mencintai sesama jenis di bawah paksaan dan ancaman, bisa ngelakuin nggak? Mencintai loh ya, bukan ngesle sama sesama jenis.

Intinya. Kalian boleh nggak suka sama kaum LGBT. Tapi ya nggak usah lebay mengkampanyekan kebencian terhadap LGBT, lah. Kalian juga pasti kesel kan kalau misalnya mayoritas masyarakat tiba-tiba mengkampanyekan kebencian terhadap orang bodoh kemudian mengatakan kebodohan itu menular maka harus dihapuskan dengan cara memaksa orang bodoh membaca dan belajar terus di dalam asrama sampe pinter?

Tentang Tuhan dan Percaya

Dalam salah satu sesi saya dengan terapis saya, ada satu pertanyaan yang dilontarkan olehnya. Ia menanyakan apakah saya percaya tuhan dan pergi ke gereja regularly. Saya jawab “tidak”. Kenapa, tanyanya. Saya jawab, menurut saya kegiatan itu nggak logis. Nyari simpel aja.

Malam ini, teman saya menanyakan hal yang sama lagi. Dan kali ini saya memberi jawaban yang sebenarnya.

Sejujurnya, saya pernah menjadi faithful believer. Dikit-dikit berdoa, tiap minggu ke gereja, aktif di kegiatan gereja, bahkan bergabung sama semacam training camp yang diadakan katedral.

Saya kehilangan kepercayaan saya tahun lalu. Saya nggak bilang saya menjadi atheis. I just… lost everything i once believed.

Kenapa?

Karena kalimat ini: “Aku bakal doain kamu biar dapat lelaki yang terbaik, yang sayang sama kamu apa adanya.”

Atau kira-kira seperti itu. Saya lupa.

Saya benci tuhan karena hardcore fansnya.

Saya nggak ngerti ketika melihat orang bisa menyakiti orang lain, kemudian mikir bisa menyembuhkan luka orang itu dengan “mendoakan”. Kemudian merasa semua dosanya terbayar. Dia bahkan nggak pernah minta maaf sama saya. Minta maafnya sama tuhannya doang.

Read my lips: you’re not the one who live with the fucking consequences.

Kalau saya ketemu orang yang ngucapin kalimat itu ke saya lagi, saya mau tanya, “When will your god answer your prays? Were your prays mean nothing to your god?”

Waktu itu saya benci tuhan karena melihat gimana orang-orang munafik ini terus mengucapkan kalimat yang sama. Tuhan yang bikin keadaan jadi begini. Semua ini diatur tuhan. Nanti tinggal berdoa sama tuhan. Minta maafnya sama tuhan aja udah cukup. Kalau saya berdoa, semua kejahatan saya dimaafkan.

Buat apa ada entitas yang bernama tuhan dan pegangan yang bernama agama kalo toh ujung-ujungnya dipake buat nyari pembenaran saat lo menyakiti orang lain? In the end ini bikin saya mikir, agama dan tuhan cuma mainan orang-orang munafik. Dan saya nggak mau menjadi makhluk yang sama kayak mereka. Saya merasa jijik.

However.

Setelah nyaris 2 tahun akhirnya saya berdoa lagi. Berdoa beneran. Bukan yang sekedar basa basi karena terbiasa. Hal ini selain karena disuruh terapis saya (dia ngasih saya alasan yang logis banget kenapa saya harus percaya tuhan), juga karena saya sadar satu hal… saya udah berjuang mati-matian untuk melawan depresi saya, tapi ternyata nggak berhasil. Saya sudah olah raga, main ke sana ke mari, curhat, nulis, nggambar, kerja, belanja, mabok, semuanya nggak berhasil. Sampai akhirnya saya memutuskan mencari bantuan professional.

Ternyata, ada hal-hal yang nggak bisa saya perbaiki walau saya sudah berusaha mati-matian. Dan saya benar-benar merasa nggak berdaya.

Kemudian, saya mulai berdoa pada obyek superstitious yang saya sendiri masih mencoba memahami. Pada akhirnya, memang manusia butuh percaya sama sesuatu yang nggak ada, yang nggak akan pernah bisa interaksi dua arah, jadi nggak bisa ngejahatin lo secara fisik maupun verbal. Seperti placebo ilusif bikinan kepala kita sendiri, agar kita waras. Sesuatu yang nggak akan pernah bikin kita kecewa, karena kita percaya, doa kita bukannya nggak dijawab, hanya sekedar ditunda atau diberikan sesuatu yang lebih baik (ini mind trick yang luar biasa menurut saya).

Tapi ada sesuatu yang adik saya bilang dan membantu saya untuk percaya lagi sama tuhan; “Kita nggak perlu jadi relijius agar bisa menjadi spiritualis.”

Well, ok then.

At least saya setuju satu hal. Di semesta ini, ada sesuatu yang lebih besar dari kita. Dan cuma doa (atau meditasi) yang bisa menghubungkan kita sama semesta. Toh kita cuma partikel dari sebuah sistem yang lebih besar. Dan mencoba keluar dari sistem ini hanya mengacaukan sistem di dalam diri kita sendiri.

ps: tulisan ini diketik dalam keadaan sober

Gitar Kesayangan

https://plus.google.com/114065548886484744680/posts/7yCWZCjiipG

Cie gue…

Tadi siang iseng-iseng main gitar sambil direkam pake photobooth macbook saya. Lucu juga saya pikir, iseng-iseng mau pamer di blog. Maaf ya kualitas video dan suaranya jelek (baik kualitas medianya maupun kualitas nyanyi orangnya :p)

Eniwei, sebenarnya dari kemarin mau posting soal gitar kesayangan saya yang bisa saudara saudari sekalian lihat di dalam video di atas. Travel guitar Yamaha yang sudah saya idam-idamkan, sejak tahun 2010 atau 2011.

Saya sendiri bukan pemain gitar, jago aja nggak. Dulu belajar gitar berbekal majalah MBS dan karir musik saya hanya sampai taraf anak band sekolahan (yang nggak pernah memenangkan festival band antar sekolah FYI). Saya hanya sekedar suka main gitar aja.

Di rumah saya memiliki gitar akustik Yamaha juga, yang mungkin usianya sudah lebih dari 20 tahun, lengseran dari Bapak saya. Sudah pernah jatuh, bocor (kemudian ditambal), kebanting, dll, sehingga sekarang suaranya udah nggak karuan walaupun saya sudah mencoba menyelamatkan dengan gonta ganti senar dan membeli capo. Makanya, waktu satu hari saya jalan dengan mantan pacar ke Gramedia Matraman dan melihat gitar travel Yamaha yang ukurannya lebih kecil dari biasanya, saya langsung bilang, “Nanti aku ulang tahun mau dikadoin itu, ya.”

Gini, saya bukan tipikal perempuan yang senang minta ini itu. Sejak kecil, saya terbiasa nggak minta apa-apa sama orang tua kecuali kalau saya butuh. Lihat sepatu bagus di mall, saya nggak akan minta dibelikan, kecuali kalau satu-satunya sepatu sekolah saya rusak. Saya nggak pernah minta dibelikan baju atau boneka. Saya tipe yang apa yang dikasih, itu yang saya terima, dan tentu saja kalau orang tua tiba-tiba membelikan sesuatu, saya akan jingkrak kesenangan karena saya nggak pernah berharap dibelikan (misalnya waktu dibelikan boneka Barbie edisi Mermaid atau ensiklopedia ilmu pengetahuan Disney).

Begitupun dengan mantan pacar. Bertahun-tahun saya pacaran sama dia, saya termasuk perempuan yang jarang minta. Ya sering sih minta… minta ketemuan dan minta dimanjain. Tapi kalau barang, jarang. Makanya ketika saya minta dibeliin gitar sebagai hadiah ulang tahun, itu berarti saya bener-bener kepengen banget. Saya tahu, secara keuangan, mantan saya waktu itu sanggup membelinya. Karena saya, yang gajinya jauh lebih kecil dari dia aja, sanggup beli barang yang harganya sama untuk hadiah ulang tahun dia (ya tapi nyisihin uang gajian 2-3 bulan, sih).

Ketika saya ulang tahun, saya sudah senang dan berharap dibelikan gitar. Saya diajak ke Gramedia di dekat rumah saya. Namun ternyata di sana nggak ada gitar yang saya mau. Dan dia menawarkan membeli hadiah lain, sepaket Rotring dengan harga yang sama dengan gitar yang saya mau. Saya nagging minta gitar aja daripada Rotring, tapi dia bilang, dia malas ke Gramedia Matraman dan nyuruh saya ambil aja Rotringnya. Toh harganya sama.

Yah. Saya sedih sih. Padahal yang bikin hadiah bermakna itu kan effortnya, bukan harganya. Anyway, tapi saya tetap senang dan berterima kasih sudah dibelikan hadiah ulang tahun. Saya masih berharap, mungkin tahun depan saya akan dibelikan gitar sebagai hadiah ulang tahun. Namun sampai akhirnya kami berpisah, gitar itu tak pernah terbeli, karena kami nggak pernah balik lagi ke Gramedia Matraman. Dan tentu saja, soalan gitar ini sudah dilupakan dia begitu dia membelikan sepaket pena rapido Rotring. Cuma saya yang masih kepikiran.

Akhirnya, pada ulang tahun saya yang ke-28 kemarin, saya memutuskan, saya nggak perlu orang lain untuk mewujudkan keinginan saya. Saya pergi ke Grand Indonesia bersama teman-teman saya, dan saya membeli gitar tersebut, gitar yang saya mau, dengan uang saya sendiri. Saya memberikan gitar itu untuk diri saya sendiri sebagai hadiah ulang tahun. Well ya harganya udah beda, udah naik. Tapi nggak apa-apa. It was worth it.

Dulu saya mikir, karena terbiasa bersama pasangan, rasanya ada beberapa hal yang jadi terasa sulit dilakukan karena kita terbiasa mengandalkan, atau melakukannya bersama pasangan. Tapi ketika saya membeli gitar ini, saya ngerti, saya nggak perlu siapa-siapa untuk membahagiakan diri saya. Saya bisa membahagiakan diri saya sendiri. Saya nggak perlu berharap orang ngasih perhatian lebih ke saya, atau ngasih hadiah. Saya bisa beli buat diri saya sendiri (ya walau harus pake nabung dulu, trus makan popmie berminggu-minggu).

Ini alasan kenapa saya sayang sama gitar ini, gitar saya adalah hadiah ulang tahun yang pertama kali diberikan ke saya, oleh diri saya sendiri.

Babbling Tengah Malem

I don’t think love exist.

Seriously.

Gini gini. The concept of love, was created from myth, legend, lies, you name it. Mereka ada di dalam kitab suci, ajaran filsuf, folklore, puisi, everything. Sampe kita akhirnya terdoktrin, dan percaya sama konsep cinta, jodoh, takdir. Percaya sebuta-butanya percaya kayak kita percaya sama agama.

Kita diajari kalau setiap manusia diciptakan berpasangan sejak awal. Kata kitab suci, puisi, dongeng, bahkan animasi hollywood. Semuanya mendoktrin kita dengan ide bahwa kita sudah punya seseorang yang akan jadi pasangan kita sejak kita belum lahir.

Saat kita akhirnya menemukan pasangan, I don’t think that is because he/she is our destiny, that we were meant to be together. Ini cuma perkara apa elo bisa horny sama dia atau nggak.

Basically kita ini kan makhluk komunal, kita gak bisa sendirian. Karena itu kita craving with the idea of having soulmate, while actually itu cuma panggilan alam aja untuk live in a pack, reproduce to grow our pack, get old, let the youngsters wander alone and build their own pack. Sounds familiar? Singa. Singa kayak gitu. Singa dan entah berapa ratus atau ribu species hewan lainnya.

That’s why, kita nyari orang lain yang bisa jadi grup kita, dan, tentu saja, bisa bikin kita horny. Karena in the end yang paling penting adalah reproduksi. Saat kita jatuh cinta, yang ngomong tuh DNA, insting, nature call, bukan cinta. There’s no such thing as soulmate.

Logika aja lah. Kayak hewan yang akan nyari pasangan based on availabilty, kesuburan, dan apakah bisa membuat keturunan yang baik atau nggak, that’s how we choose our partner. Nyambung gak, sanggup menuhin kebutuhan saya nggak, body bagus nggak. Kemudian bibit unggul akan bertemu bibit unggul, yang mediocre akan memilih mediocre karena nggak sanggup bersaing, atau yang bibit unggul akan memilih siapapun yang bisa provide mereka secara material. Binatang juga kayak gitu kok. Ada yang attracts pasangan dengan cara membangun sarang sebagus mungkin.

Misalnya Mr A. Dia tahu dia bisa attracts females pake uang, maka dia pamer. Gue punya segini, dan gue available. Mulailah kan betina berdatangan. Siapa yang akan dia pilih? Yang paling cantik, dan yang bisa bikin dia horny. Selesai. It’s never about soulmate.

It’s never about your heart telling you that he’s the one.

It only says, “Yeah you can bang him, he has qualifications to develop high quality kids. Plus, he works at respected company with fine salary. Yay, you can be a queen without working your ass out!”

Tapi kita yang dengan tololnya menerjemahkan itu jadi, “Kayaknya dia jodoh gue, deh.”

Padahal mah cuma perkara sange dan gak mau hidup sendirian, tapi ribet banget pake bahasa yang dibagus-bagusin.

Ok guys, kayaknya saya butuh bir. Hahaha…

Anyway, kalau ada yang punya artikel yang bilang soulmate, jodoh, dll itu scientifically proven, please let me know. Oh dan jangan kasih saya reference dari any religious article, like hell I would believe that.

Thanks!

Privasi di Internet = Omong Kosong?

bekasi-bau-toge-basi-324403

Mbak Flo yang malang. Niatnya mungkin cuma menumpahkan kekesalan di Path – socmed platform yang terbatas karena setiap akun di Path hanya bisa diakses bila diijinkan oleh masing-masing pemiliknya -, tapi apa daya, makian yang Ia tulis dalam keadaan emosi ini tersebar di dunia maya. Pada akhirnya, Ia harus menerima konsekuensi yang menurut saya pribadi sangat berlebihan.

“Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja.” – begitu isi status di Path yang sukses membuat Mbak Flo yang sedang menjalani S2 di UGM ini harus mendekam di penjara. Mungkin jika kata “Jogja” diganti “Jakarta”, kita akan ramai-ramai ketawa kemudian akan marah mendengar Mbak Flo ditahan. Mungkin kita akan kompak mengecam polisi dan pemerintah, kemudian mengadakan gerakan semacam “Koin Pritha”. Mungkin…

Continue reading Privasi di Internet = Omong Kosong?

All The Fucked Up Guys

Kasus 1

Budi dan Ani pacaran, beda agama… katakanlah sudah 5 tahun (mo bilang 7 tahun tar ketahuan gue banget). Suatu hari Budi ketemu Mbak Ncun yang cantik bohay cetar badai membahana bikin sange. Dikejar-kejar lah itu Si Mbak Ncun. Konon katanya, Mbak Ncun tahu kalo Budi masih sama Ani, tapi entah karena rayuan maut dan tipu daya Budi, atau karena Budi suka nraktir makan rendang londo (Steak, gitu aja gak tahu), atau sering beliin Mbak Ncun baju dan sepatu, akhirnya mereka sayang-sayangan.

Cie Ani… diselingkuhin… Mamam tuh setia 5 tahun gak ada gunanya. Mamam tuh cowok-cowok yang lo tolak demi kata setia. Nyesel kan lo nolak Bang Anu dan Mas Itu? Sekarang lo diketawain tuh sama mereka (ngiris-ngiris nadi sendiri).

Long story short, setelah capek-capek pulang dinas luar kota dan ngebawain oleh-oleh spesial jaket kulit, eh malah mergokkin Budi udah punya cewek baru. Kata Ani, pilih aku atau dia, kata Budi nggak tahu mau milih yang mana.

Kata Ani, silakan pulang.

Nangis darah sih. Mau mati, sih. Tapi Ani nggak mau jadi pilihan. Walau akhirnya mereka berdua tarik-tarikkan, dua-duanya belum move on. Tapi Ani milih pergi dan ngerelain Budi bersama Mbak Ncun. Kemudian Budi dan Mbak Ncun hidup bahagia (keliatannya gitu, sih… tapi Budi pasti ngerasain bedanya pacaran sama Mbak Ncun dengan waktu masih sama Ani – yaeyalah beda…), sementara Ani akhirnya move on entah kemana setelah struggling mati-matian.

Intinya, dua-duanya sama-sama bahagia, walau mungkin salah satu di antara mereka mungkin ada yang belum move on, dan Mbak Ncun mungkin parno… takut Budi masih mikirin Ani. Tunggu 5 tahun lagi, berdoa aja semoga Budi nggak bosen sama Mbak Ncun trus selingkuh lagi.

 

Kasus 2

Mas Dede dan Mbak Ayu pacaran 6 tahun, beda agama. Katanya sih, Mas Dede udah berkurang sayangnya sama Mbak Ayu. Tapi nggak bisa mutusin Mbak Ayu, karena Mbak Ayu ngancem bunuh diri mulu. Yakin, Mas? Nggak mau putus cuma gara-gara itu? Masa ampe 6 tahun… (ditampar Mas Dede)

Kemudian Mas Dede bertemu Mbak Sheilla, lebih cantik, lebih seksi, lebih pinter, lebih asik, lebih seru, lebih segala-galanya daripada Mbak Ayu, dan seiman. Perselingkuhan itu pun terjadi, dan Mbak Sheilla sama sekali nggak tahu kalo Mas Dede udah punya pacar. Mas Dede mainnya bagus! Mas Dede mamerin Mbak Sheilla ke semua orang dengan bangga, dan bahkan sempet ngaku, dia maunya Mbak Sheilla jadi wanita terakhir buat dia.

Suatu hari, Mbak Ayu yang mulai curiga sama Mas Dede, akhirnya mergokkin hubungan mereka. Awalnya sih niatnya mau mutusin Mas Dede, tapi dengan jurus tangisan maut dan ancam mengancam, Mas Dede ninggalin Sheilla. Sheilla syok berat pas tau ternyata Mas Dede punya pacar. Dan dia cuma milih diem, berharap suatu hari Mas Dede akan datang ke dia dan memberi penjelasan. Mas Dede nggak pernah datang menemui Sheilla.

Mas Dede hilang seperti ditelan anjing. Sibuk dikerangkeng sama Mbak Ayu. Entah dikerangkeng pake apa. Saya juga nggak ngerti. Tapi Mbak Ayu menang. Berhasil merebut kekasihnya kembali. Entah karena memang hati Mas Dede sebenarnya untuk Mbak Ayu, atau karena Mbak Ayu punya jurus spesial untuk mempertahankan pacar yang selingkuh (MBAK, MBOK YA AKU DIAJARIN LOH, GITU. Eh, nggak dink… kalo udah selingkuh, gue gak akan mau lagi…)

 

Kasus 3

Kocrot cowoknya, Kicrit ceweknya. Beda agama juga, tapi kayaknya baru setahun pacaran. Tapi mungkin sudah punya niat nikah, atau Kicrit sudah diekap, atau apa nggak ngerti. Tapi kalo ditanya, pacar kamu siapa, Kocrot ngakunya nggak punya. Cieee… bisa aja. Backstreet kali, ya? Nggak ngerti, ah. Pernah ditanya lagi, ngakunya hubungannya gak jelas. Mirip gak, sih sama Mas Dede? Ah sudahlah.

Kocrot kenalan sama Putri yang seiman, nggak sengaja naksir. Katanya sih, semua yang dia mau dari cewek ada di Putri. Jadian lah mereka. Waaa, dunia terasa indah. Putri tahu sih, Kocrot punya banyak stok cewek-cewekan – entah sekedar mantan atau gebetan, Putri kurang paham. Tapi karena Putri tipe cewek yang rada ajaib, dia males mikirinnya. Coba ya, gimana Kocrot gak hepi punya cewek yang nggak jeles waktu Kocrot teleponan sama cewek lain di depan tu cewek? Gak marah waktu Kocrot cerita dia deket sama cewek abcd, efgh, ijkl. Cowok mana yang gak hepi?

Udah nih, ya, mereka ngerasa pas satu sama lain, kayak udah nemu jodoh yang selama ini dicari. Tapi apes, dong, kepergok sama Kicrit. Dimarah-marahin tuh Si Putri sama si Kicrit, ditelpon, di-sms, entah diapain lagi. Putri langsung minta putus, tapi Kocrot gak mau. Dia minta Putri nunggu sebentar sampai dia nyelesaiin urusannya dengan Kicrit. Putri nggak mau, tapi Kocrot nggak berhenti usaha. Sampe akhirnya Putri mikir, ya udah lah, dia juga sayang sama Kocrot. Dia setia deh, nungguin.

Tak lama kemudian, Kocrot ilang. Ninggalin Putri karena balik sama Kicrit.

Cie, mang enak. Mamam tuh nungguin.

Kasus 4

Rama dan Shinta, iya, beda agama lagi, pacaran bertahun-tahun juga. Semuanya kayaknya baik-baik aja sampai muncul Mbak Kurawa (bodo amat, suka-suka gue mo ngasi nama apa). Entah siapa yang nakal duluan. Rama atau Mbak Kurawa. Tapi yang pasti, Mbak Kurawa kenal Shinta, dan tahu kalau Shinta itu pacarnya Rama.

Diem-diem, di belakang Shinta, Rama dan Mbak Kurawa sayang-sayangan. Bahkan, karena Mbak Kurawa, Rama jadi berani ninggalin Shinta, cewek yang selama ini malang melintang sama dia menghadapi cobaan pacaran beda agama.

Shinta yang nggak tahu apa-apa, mikirnya cuma, mungkin Rama bosen atau gimana, jadi masih berusaha memperbaiki hubungan mereka. Etapi kata Rama, dia sekarang sama Mbak Kurawa. Dia udah lama sama Mbak Kurawa.

Berantakan? Iya lah berantakan. Kok bisa-bisanya… Mbak Kurawa kan kenal sama Shinta. Tahu hubungan mereka. Kok bisa-bisanyaaaaa…

Shinta pun pergi meninggalkan Rama. Seperti Ani, bagi Shinta, ya ngapain merjuangin sampah?

Shinta sekarang hidup bahagia dengan pacar barunya, sementara Rama dan Kurawa? Kagak ngerti. Ya doakan saja mereka bahagia.

 

Dari 4 kasus di atas…

1. Laki-laki apa segitu taiknya, ya? Serius, deh. Segitu taiknya? What the fuck is wrong with you guys? Gue gak paham…

2. ITU PAKE JURUS APA SIH UNTUK MEREBUT HATI PACAR YANG BERSELINGKUH? Ya bukannya gue juga bakal mempertahankan cowok yang udah selingkuh, sih. Gak pernah ada di kamus gue. Tapi gue beneran penasaran. Pengen tahu, pake jurus apa. Karena seperti yang kalian lihat, di kasus 1 dan 4, para lelaki malah lebih milih selingkuhannya. Sementara di kasus 2 dan 3, mereka balikan sama cewek aslinya. Apa alasannya?

3. Menurut kalian, apakah semestinya Ani dan Shinta nangis menyek-menyek minta balikan? Ngejar-ngejar Budi dan Rama sampe ke ujung dunia? Trus ngelabrak Mbak Ncun dan Mbak Kurawa?

4. Sementara itu, apakah Putri dan Sheilla sama aja dengan Mbak Ncun dan Mbak Kurawa? Apakah buat kalian mereka sama? Sama-sama cewek perebut pacar orang?

5. Sebenernya, semua cowok di nomor 1 sampai 4 ini maunya apa?

6. Kenapa Mbak Ayu dan Kicrit mau mempertahankan cowok yang udah nyelingkuhin mereka sampai kayak gitu? Apa alasannya? Cinta? Tapi kan Ani dan Sinta juga sama-sama cinta sama cowoknya. Saking cintanya sampai mereka nggak sanggup menghadapi kenyataan diselingkuhi dan memilih ngalah.

7. Ngingetin doang buat yang pacaran beda agama. Itu semua nomor 1-4 kejadian nyata. Ya emang pacaran beda agama nggak selalu berakhir pedes… tapi yah… you know lah, resikonya pacaran beda agama… yang seiman aja bisa nggak setia, apalagi beda agama.

Gue beneran pengen tahu, pendapat cowok yang selingkuh dan akhirnya harus milih salah satu. Gue pengen tahu, pengalaman cewek yang diselingkuhi/jadi selingkuhan dan berhasil memenangkan si cowok yang diperebutkan ini. Apa yang kalian lakukan, alasannya apa, rasanya gimana?

Sampai detik ini aja, gue masih nggak ngerti, kenapa orang bisa tega begini dan begitu sama gue atau sama cewek lain. Gue gak pernah dapat penjelasan yang bener-bener detail.

Katanya sih, sebetulnya hal kayak gini gak usah dipikirin, karena bukan urusan gue, bukan gue korbannya. Tapi gue jadi kepikiran karena ke arah manapun gue nengok, gue selalu kejebak di dalam kondisi kayak gini. Baru move on, kena lagi dikibulin sama cowok lain. Pas lagi berusaha move on jilid dua, eh, kejebak di tengah-tengah situasi kayak gini lagi. Harus melihat, menyaksikan, mendengarkan, membantu, menengahkan… Mereka gak sadar, pas mereka nangis dan marah ke gue, itu sebenernya luka gue kekorek-korek. Gue gak bisa gak untuk memposisikan diri mereka dari sudut pandang gue.

Waktu gue bilang, “Ya udah, tinggalin aja. Ngapain merjuangin cowok yang selingkuh?” dijawabnya, “Tapi mbak, aku nggak bisa tanpa dia. Mbak nggak pernah ngerasain di posisi aku.”

And I went, SERIOUSLY? You know nothing. Gile, gue strugglingnya sampe sekarang njis…

Kalo ada yang mau share cerita tentang yang mirip-mirip no 1-4, gue bakal terima kasih banget. Kalau gak mau share di sini, bisa kirim email ke macangadungan[at]gmail[dot]com, dan gue jamin bakal gue rahasiain. Terutama buat cowok yang selingkuh. Gue penasaran. Isi otak kalian itu apa? Tapi ya gitu… kemungkinan gue bakal ngejudge cowok. Jadi kalo gak siap gue kasi komentar pedas, nggak usah kirim email.

Kalo ada yang mau berbagi dan ngasi gue sudut pandang baru, gue akan terima kasih banget 🙂