Pesan dan Doa Mama

“Mama, sih, bebas kamu mau sama cowok kayak gimana juga. Yang penting kamu bahagia. Yang penting itu cowok yang kamu senangi. Tapi, kalau bisa, Mama maunya kamu sama cowok yang bener-bener sayang sama kamu. Yang memperjuangkan kamu.

Belajar dari pengalaman Mama.

Mama menikah dengan orang yang Mama sayang banget padahal Mama tidak diperlakukan dengan baik. Kalau Mama sih, kuat hidup puluhan tahun dengan Papa walau diperlakukan seperti apa. Kan kamu tahu sendiri Papa gimana ke Mama.

Tapi kamu nggak.

Mama tahu kamu nggak akan bisa sekuat Mama kalau menikah dengan laki-laki yang salah.

Pilih laki-laki yang benar-benar sayang sama kamu dan peduli sama kamu. Yang bisa mengerti kondisi kamu. Yang bela-belain buat kamu.”


“Kasihan kamu. Masa muda kamu habis dipakai buat nyenengin orang tua. Semoga nanti kamu dapat suami yang nyenengin kamu.”


“Mama berdoa, semoga kamu mendapat laki-laki yang sayang sama kamu, yang membahagiakan kamu. Kasihan anak Mama hidupnya berjuang terus. Mama gak bisa bales apa-apa ke kamu, jadi cuma bisa berdoa aja semoga kamu dapat suami yang membalas kebaikan kamu sebagai anak berbakti.”

Thank You, 2020

Semoga, di tahun 2020, saya menemukan seseorang yang bisa menjadi kekasih sekaligus sahabat yang saya percaya. Semoga saya juga belajar ilmu baru, mungkin UI UX atau marketing. Menabung lebih banyak, olahraga lebih teratur, jaga pola makan, dan berhenti merokok. Lebih sehat juga secara fisik dan mental.

Semoga, tahun 2020 adalah tahun di mana segala luka, usaha, dan perjuangan kita semua terbayar. Semoga 2020 kalian lebih baik, ya.

Saya mengawali tahun 2020 dengan fokus berolahraga, mengatur makanan, dan berusaha mencapai target berat badan. Sayangnya pada bulan Maret, Indonesia harus melakukan semi-lock down karena pandemi, virus COVID19 yang memaksa kami semua harus tinggal di rumah selama beberapa minggu. Saya tidak bisa lagi pergi ke gym, tidak bisa keluar dari kamar kosan kecuali terpaksa, bahkan tidak bisa bertemu ibu saya sampai 3-4 bulan. Seminggu sebelum PSBB, saya dirawat inap di rumah sakit karena tyfus. Jadi, lumayan terasa.

Continue reading Thank You, 2020

7 Tanda Bahaya di Akun Social Media Pacarmu

Social media itu barang kali sering jadi sumber masalah dalam relationshit. Tapi menurut saya pribadi, bagaimana cara pasanganmu menggunakan dan berinteraksi di social media sebenarnya bisa jadi indikator yang penting untuk kepribadiannya. Orang-orang yang sering selingkuh, misalnya, saya perhatikan memiliki kebiasaan yang sama dalam menggunakan social media.

Banyak alasan yang digunakan untuk tidak mementingkan perilaku di social media, salah satunya yang paling sering saya dengar adalah, “Ini cuma social media. Apa yang ditampilkan di social media kan berbeda dengan kehidupan nyata.”

Continue reading 7 Tanda Bahaya di Akun Social Media Pacarmu

Sylvia Plath dan Overthinking Tengah Malam

Pertama kali saya mengenal Sylvia Plath, mungkin tahun 2014. Ketika depresi mayor saya relaps, namun saya belum menyadari bahwa saat itu saya depresi. Saat itu, saya kira, yang saya rasakan adalah galau. Meski saya tahu, seumur hidup saya belum pernah merasakan kesedihan sesakit itu.

Continue reading Sylvia Plath dan Overthinking Tengah Malam

Hidup dengan Bipolar dan Depresi

Hi, nama saya Lea. Saya didiagnosa dengan depresi pada tahun 2015, depresi saya relaps pada tahun 2014. Setelah terapi dengan psikolog pada tahun 2015-2016, saya beralih ke psikiater pada tahun 2018, ketika depresi saya kembali relaps, berlanjut hingga sekarang. Pada tahun 2019, saya mendapatkan diagnosa tambahan; bipolar. Tahun ini, 2020, saya beralih psikiater, dan mendapatkan diagnosa bipolar. Sejak 2018 hingga sekarang, saya mengkonsumsi obat penenang dan anti-depressant agar saya bisa berfungsi dengan normal.

Continue reading Hidup dengan Bipolar dan Depresi

Psikolog atau Psikiater?

Salah satu pertanyaan yang muncul pertama kali ketika saya sudah meyakini diri saya menderita depresi, adalah apakah saya harus mencari pertolongan ke psikolog, atau psikiater?

Ini mungkin salah satu pertanyaan awal yang paling esensial untuk orang yang merasa dirinya sakit mental.

Saran saya, ada baiknya sebelum memutuskan mencari bantuan professional, kenali dulu gejalamu dan coba lakukan tes/screening singkat.

Continue reading Psikolog atau Psikiater?

Hari di Mana Saya Mati

Masih segar di ingatan saya. Taipei, Januari 2014. Minggu yang sangat sibuk sekali. Bangun pagi, kemudian sibuk mengecek presentasi hasil market research di hari sebelumnya, mandi, dan harus sampai di hotel tempat workshop berlangsung pukul 8 pagi.

Sesampainya, kami langsung sarapan, pukul 9 mulai workshop hingga pukul 4 sore, dilanjutkan kembali ke hotel tempat kami menginap, buru-buru ganti baju, lalu berangkat lagi ke kota lain untuk melakukan market research. Pukul 10 malam kami kembali ke hotel, buru-buru menyusun hasil market research kami lengkap dengan foto.

Pukul 12 malam, sebelum tidur, saya menghubungi pasangan saya saat itu. Hanya bisa ngobrol sebentar. Saya tanya mengapa ia tidak responsif padahal saya hanya punya sedikit sekali waktu luang untuk menghubungi ia. Jawabnya, “Ya aku lagi me time aja mumpung kamu nggak di sini.”

Ada lubang yang tercipta di dada saya mendengar kalimat itu.

Continue reading Hari di Mana Saya Mati

SEXUAL COERCION IS RAPE

Sudah sebulan lebih saya stay di dalam kamar, hanya keluar 2 kali untuk ke rumah sakit dan belanja bulanan. Situasi masih belum membaik, bahkan diramalkan, puncak pandemi COVID-19 di Indonesia baru akan terlihat pada bulan Juni-Juli.

Mungkin saat ini sebagian besar orang sudah karantina mandiri di rumah, atau ada yang dipecat karena perusahaannya bangkrut, atau dirumahkan tanpa gaji. Dan kini pengguna social media menjadi lebih cerewet dan reaktif dibanding sebelumnya.

Anyway.

Ada salah satu topik di media daring yang mencuri perhatian saya. Mungkin istilahnya “sex and tell”? Beberapa kali saya melihat thread di twitter yang membahas isu tentang perempuan yang ditinggalkan begitu saja setelah berhubungan badan.

Saya nggak mau bahas gosipnya, tapi dari isu seperti ini, saya belajar mengenali sebuah term; sexual coercion.

Sexual coercion, menurut artikel ini, didefinisikan kira-kira sebagai berikut:

Aktivitas seksual yang tidak diinginkan yang terjadi karena tekanan non-fisik, termasuk diantaranya:

  1. Terpaksa dilakukan karena lelah dengan ajakan/permintaan untuk berhubungan seks yang berulang-ulang.
  2. Dibohongi/dibujuk/dirayu/dijanjikan sesuatu (yang tentu saja janjinya palsu) untuk memanipulasi korban agar mau diajak berhubungan badan. Misalnya; mengaku single, janji akan menikahi, pura-pura sayang dengan tulus, pura-pura baik dan perhatian, misleading dan manipulasi agar korban mengira bahwa mereka “berpacaran”, dan masih banyak lagi.
  3. Mengancam putus atau akan membuka aib/informasi pribadi korban jika tidak ingin melakukan hubungan seks.
  4. Relasi kuasa, menggunakan jabatan atau posisi otoritas untuk menekan seseorang agar mau berhubungan seks dengannya.

Ada berapa di antara kalian yang berhubungan seks karena alasan di atas?

Diancam putus, dijanjikan akan dinikahi, dirayu dengan kata-kata sayang, atau dimanipulasi dengan menciptakan situasi seakan-akan kalian berdua sedang dalam hubungan pacaran (lalu kemudian pelaku akan bilang, “Loh, kita kan gak pacaran. It’s just sex.”), atau bahkan dengan mengaku single padahal sudah punya pacar atau istri.

Ada beberapa kasus yang dialami oleh orang yang saya kenal.

Misalnya, katakanlah, Andi dan Ani. Andi mendekati Ani, mulai dari chat, kemudian ketemuan, kemudian ngedate, setiap hari teleponan, seminggu sekali jalan selayaknya orang pacaran biasa. Ani mengira status mereka berdua sudah menjadi “pacaran” karena semua treat yang dilakukan Andi seperti itu. Suatu hari, Andi mengajak Ani liburan ke luar kota, kemudian mereka berhubungan badan. Seperti itu selama berbulan-bulan.

Lalu Ani memergoki Andi ternyata juga jalan dan tidur dengan perempuan lain. Ani marah, ia langsung mengkonfrontasi Andi. Dan dengan enteng, Andi menjawab, “Loh, kita kan bukan pacaran. Memang aku pernah bilang kalau kita pacaran?”

Ani menjawab, “Tapi aku sudah berhubungan badan sama kamu! Harusnya kamu tanggung jawab.”

“Loh, tapi aku kan gak pernah maksa untuk berhubungan badan. Kita melakukan itu karena suka sama suka. Kamu gak pernah nolak, kok.” kilah Andi.

Tidak, Andi. Apa yang kamu lakukan adalah sexual coercion. Bagaimana jika sebelum kalian berhubungan badan, kamu bilang ke Ani, “Hi Ani, aku ingin bermesraan dengan kamu dan melakukan hubungan seks. Tapi perlu kamu ketahui, aku nggak ingin kita pacaran, dan aku juga memiliki partner seks yang lain selain kamu.”

Apakah jika Andi jujur dari awal seperti itu, Ani mau berhubungan badan dengan Andi?

Jika jawabannya Ani tidak akan mau berhubungan badan dengan Andi, apa yang dilakukan Andi adalah manipulasi dan dikategorikan sebagai “pemerkosaan”.

Contoh kasus lain. Sebut saja Budi dan Bebi. Budi berkenalan dengan Bebi, dari perkenalan itu, Budi mendekati Bebi. Mulai dari chat, ngedate, akhirnya suatu hari Budi “nembak Bebi”. Beberapa bulan kemudian, akhirnya Budi dan Bebi berhubungan badan. Mereka bahagia. Sampai suatu hari… Bebi mengetahui bahwa Budi ternyata sudah punya istri/pacar.

Sambil menangis, Bebi bilang, “Kok kamu tega? Aku pikir kamu serius sama aku.”

Dan Budi hanya menjawab, “Maaf, aku betul-betul sayang sama kamu. Tapi aku nggak bisa meninggalkan pacar/istri aku. Hubungan seks kita kemarin-kemarin karena aku benar-benar sayang sama kamu.”

Apakah jika Budi jujur dari awal bahwa ia punya pacar/istri, Bebi akan mau berpacaran dan berhubungan seks dengan Budi?

Jika tidak, sekali lagi, itu adalah sexual coercion. Pemerkosaan.

Ada lagi, Cipto dan Citra. Citra belum pernah berhubungan badan, lalu bertemu Cipto. Pedekate dan jadian. Awalnya hanya pegangan tangan, lama-lama ciuman, lalu semakin lama berhubungan, mereka semakin jauh. Suatu hari Cipto dan Citra terlalu jauh, Cipto menarik celana dalam Citra.

Citra meminta Cipto tidak melakukan penetrasi, Cipto menjawab, “Aku nggak janji.” kemudian tiba-tiba ia melakukan penetrasi tanpa mempedulikan jeritan Citra. Citra dalam kondisi bingung. Ia sayang dan percaya pada Cipto, tapi ia tidak yakin ingin melakukan penetrasi. Namun detik itu, Citra tidak berani untuk melawan karena Cipto adalah pacarnya, dan mereka sudah terlanjur telanjang. Citra menyalahkan dirinya dan berpikir bahwa dia lah yang membuat hubungan badan ini terjadi.

Itu, sexual coercion. Cipto memanfaatkan status hubungan mereka, memanfaatkan situasi, dan memanipulasi Citra agar tidak berani untuk menolak berhubungan badan. Pemerkosaan.

Tentu saja, pembelaan yang paling common adalah, “Tapi saya tidak memaksa, kok. Kami sama-sama suka. Sama-sama menginginkan. Toh ceweknya gak nolak, malah doyan.”

Tapi jika pelaku jujur, terbuka soal ekspektasi, situasi, kondisi, dan statusnya, dan menjelaskan apa yang dia mau serta tidak menuntut, apakah pasangannya akan mau diajak berhubungan badan?

Jika tidak, maka, yang kamu lakukan adalah sexual coercion.

Jadi… sudah berapa perempuan yang kamu “perkosa”?

A note from me about COVID-19

I want to write this, because i hope, when this shit pass, i can re-read it, and remember, there was this time. We’re officially having pandemic, and COVID-19 is the name of this pandemic.

I read about this virus in February. At first i thought this would be like SARS or MERS, like, it’s still huge and dangerous, but the impact still can be handled. Boy, i was wrong. The moment i heard Wuhan city (where’s the virus first found) being locked down, i knew it’s gonna get very ugly.

Today, is my 11th day of self-isolating. I only went out once, to the hospital, because before i had to be hospitalized for 4 days due to typhoid. I had to go back to hospital for control and medicines. I went to a cafe before that with my friends, a day after i got out from hospital. But then, nothing.

I can’t even see my friends or my mom because i’m afraid i may have the virus. Though, it’s been 11th day and i feel okay. But i heard and read a lot of bad news. By today, Indonesia, my country, has 1046 of COVID-19 cases, 46 people cured, but 87 people couldn’t make it. This country is one of the country with highest rate of mortality.

In world wide, we have total 552.598 cases, with more than 25.000 deaths, and and around 128.000 recovered.

I heard a lot of bad news in my country. How some people still hang out to bar and coffee shops, throw wedding ceremony and other events with large crown, not realizing how dangerous our condition is. This freaking virus spreads easily, and crowds are its favorite thing. Also how some people died in poor conditions, how bad is the hospital service, how poor is the patients being treated, how we are not ready for this condition.

I really don’t know if i can make it out from this. I mean, i may caught the virus from the food deliveries and stuffs. It’s also bad for money. We’re fucked up, and half of Indonesians can’t see how fucked up we are they keep hang out spreading viruses to other people.

Tomorrow i should go to hospital to get my depression meds. I am so afraid. Among other things, hospital is one of the places i scared the most. I’m afraid i would catch the virus here. But i also can’t afford to live without my medicines, especially in time like this where my anxiety kind of spiked up. I started getting trouble sleeping even though i’ve drink my meds for that.

I really hope, we could go through this as soon as possible. I hope, we don’t have to learn our lessons in hardest ways, like, lost one of our family members, or friends. I know people already went through that, or are still struggling with it. I hope you guys can through this.

Hopefully in couple months, or sooner, we can go out again, everything get back to normal.

When that day come, i want to gather with my friends, rent a villa, and have fun. I will take my mom to a very nice dinner.

Stay healthy, guys. Keep your distance from other people, stay at home, self-isolate when you think you got the virus, and, be safe.

An Episode

Saya melangkahkan kaki lebar-lebar. Bergegas pulang. Langkah saya terhenti beberapa detik ketika berada di atas jembatan penyeberangan. Satrio selalu macet seperti biasa, dengan lampu-lampu kendaraan berwarna merah dan kuning.

Dada saya sesak. Sesuatu seperti hendak meledak. Saya tahu perasaan ini. Saya tahu jika saya tidak lekas pulang, saya akan pecah di antara kerumunan.

Beberapa detik, saya terpaku memandang sepanjang Satrio. Saya merasa tidak nyata. Saya merasa mengambang di antara realita dan kekosongan.

Saya terisak. Buru-buru tangan saya mengatup erat mulut saya. Jangan dulu. Jangan sekarang.

Tergesa, saya melanjutkan langkah, sambil tetap menahan isak tangis saya, mati-matian menahan air mata yang memberontak. Kepala saya berteriak, Tuhan, saya ingin mati sekarang. Tolong. Bunuh saya sekarang.

Suara Chester Benningtong dari ear set blue tooth saya menyanyikan lirik yang sangat relevan.

But nobody can save me now
I’m holding up a light
Chasing up the darkness inside
‘Cause nobody can save me

Beberapa pesan di telepon selular berisi ajakan bertemu karena tahu ada yang salah sama saya. Saya tolak. Saya ingin sendiri, menutup pintu, berdiam di dalam kamar, tidur, dan semoga tidak usah bangun lagi.

Sepanjang perjalanan, saya melihat perempuan berkerudung dengan jaket parka, berdiri melamun menunggu bus. Perempuan lain, duduk sambil menikmati semangkuk mie ayam di pinggir trotoar. Mie ayam yang beberapa bulan lalu membuat saya diare, sehingga saya bersumpah tidak akan makan di situ lagi. Orang-orang lain terlihat seperti bayangan hitam yang berdiri dan bergerak tanpa suara, tanpa tujuan.

Dalam pikiran saya bertanya, apakah di antara mereka ada yang pernah merasakan apa yang saya rasakan saat ini.

Ketika saya sampai di tempat saya tinggal, saya membuka pintu, dan air mata saya tiba-tiba mengalir seperti sungai. Lekas saya kunci pintu, jatuh berlutut, dan saya menahan jeritan yang ingin berontak dari kerongkongan, air mata saya mengalir tak henti.

Dan yang paling menyedihkan dari semua ini, saya tidak bisa menyalahkan siapapun. Tidak ada yang salah. Saya tidak bisa menunjuk jari saya dan mengatakan, “Kamu yang membuat saya menjadi begini.” Saya tidak bisa marah pada siapapun.

Saya telan 2 butir Xanax. Lekas lah bekerja. Buat saya tidur.

Hanya butuh sebaris kalimat. Sebaris kalimat yang menyatakan saya adalah seseorang yang tidak layak untuk dicintai. Untuk menghancurkan saya.

Perjuangan saya bertahun-tahun untuk belajar mencintai diri saya apa adanya, hancur begitu saja dalam satu malam. Perjuangan saya menyembuhkan luka-luka saya, berantakan dalam satu malam.

Saya pernah melihat, jika tidak mendengar, bagaimana seseorang membenci orang lain yang meninggalkan luka pada dirinya. Saya belajar bahwa hidup tidak seperti itu. Yes, kita jatuh ke dalam lubang karena ada seseorang yang mendorong itu ke dalam lubang tersebut. Kita berdarah, karena ada seseorang yang menikam kita dari belakang. Tapi saya belajar untuk tidak menjadi orang itu, orang yang terus berteriak menunjuk lukanya dan menyalahkan pelakunya.

Saat kita sibuk melakukan itu, mereka sudah beranjak pergi dan menikmati hidupnya.

Saya nggak mau jadi manusia yang seperti itu.

Tapi Tuhan pasti tahu. Kalau Tuhan memang ada. Luka tidak terjadi begitu saja.

Dan saya terjebak bersama seseorang yang tahu harus menikamkan pisaunya di sebelah mana. Karena ia sudah berkali-kali melakukannya terhadap saya.

Ingin saya menatap matanya, dan berbisik, “Mengapa tidak kamu bunuh saja saya, agar saya tidak perlu menghabiskan hidup dengan berusaha menyembuhkan luka ini?”

Mengapa ia selalu tahu bagaimana cara menghancurkan saya? Bahkan di saat saya sudah berlari jauh dari dirinya.

Alih-alih marah, saya hanya menjawab terima kasih.

Jika satu hari saya tidak ada, dan kalian membaca lagi halaman ini, saya hanya minta satu hal… If you decide to hurt someone, please just kill them. It would be easier for them.

Some scars don’t heal. Don’t let people live that kind of life.

And no, this message is not for those people who use their pain to black mail others. To hurt and guilt tripping others. If you do that, you’re a piece of selfish shit.

Good bye. Wish me heal, or die in peace.