Sia Sia

Sia sia adalah meletakkan kebahagiaan orang lain di atas kebahagiaanmu, sementara orang yang kamu prioritaskan ini tidak menganggap kebahagiaanmu penting.

Kamu membangun rumah, menabung rasa, menjahit senyumannya, namun baginya duduk diam tak bertingkah sudah sepadan dengan usahamu. Kamu mendengar keluhannya, menunggu telepon darinya, selalu membelanya, sementara baginya kamu ada hanya saat ia butuhkan.

Ketika kamu menangis, ia malah menghilang menikmati bahagianya sendiri.

Ketika ada badai di hatimu, ia tidak peduli karena baginya itu bukan masalahnya.

Ketika kamu merasa tidak aman atau tidak nyaman, ia merasa itu urusanmu. Namun jika ia merasa tidak aman, ia menuntut kamu memeluknya di dalam tidur.

Sia sia adalah sepasang manusia di dalam perahu yang sama di tengah badai, namun hanya seorang yang sibuk mengayuh.

Sia sia adalah mereka yang menyatakan cinta tanpa usaha dan berharap mendapat segalanya darimu, dan dengan bodohnya kamu berikan.

Sia sia adalah nyawa yang dibayar dengan kata. Nafas yang dibayar dengan kata. Patah hati yang dibayar dengan kata.

Sia sia adalah aku yang menyayangimu apa adanya, dan kamu yang menyayangiku seadanya.

Pembunuhan di Satu Malam yang Diam

Aku menyambut seorang pembunuh

Yang pernah memuntahkan pelurunya di jantungku

Ketika aku bangkit dari mati

Ia muncul sebagai lelaki yang kalah perang

Padaku ia meminta ruang

Padaku ia memintaku menjadi rumah

Aku menyambut seorang pembunuh

Yang pernah memperkosa harga diriku

Aku bangkit dengan satu kaki

Dan ia muncul sebagai pria penuh kasih sayang

Padaku ia menawarkan pulang

Ujarnya, biarlah aku yang menjadi rumah

Lelaki yang pernah mengarahkan moncong senjatanya

Di depan wajahku

Lelaki yang pernah pergi tanpa rasa

Membawa jantungku

Ia kembali tanpa kembali membawanya

Katanya, telah hilang tak sengaja

Dan di atas semua rasa takutku

Kupersilakan ia masuk

Kubasuh kakinya, kuusap wajahnya, kukecup keningnya

Pada lelaki yang pernah membunuhku

Dan meninggalkanku membusuk

Padanya kuserahkan kembali senjata

Jika hari ini aku harus mati

Biarlah aku mati terakhir kali

Dan tak bangkit lagi

Pada lelaki yang pernah menghancurkan rumahku

Kuberi puing yang tersisa

Apa yang bisa kau ambil

Jika aku tak punya apa-apa

Padanya kuperlihatkan semua lukaku

Mungkin kali ini dia bisa merasa

Tidak ada yang bisa dia ambil

Jika aku hanya punya luka

Padanya ku serahkan apa yang tersisa dariku

Ambil lah jika itu membuatmu bahagia

Dari dalam lubang di dadaku

Ia ambil apa yang terakhir kupunya

Iapun menarik picu senjata

Moncongnya kembali menempel di dahiku

Baginya dunia memiliki hutang

Dan aku hanya sekedar

Kamu tak boleh bahagia, ujarnya

Dan di satu malam yang tak memiliki kata

Aku terbujur kaku

Ketika ia beranjak pulang

Aku telah menjadi buyar

Aku hanya ingin bahagia, desisnya

Tuhan sedang tidak ada malam itu

Dan pembunuhku pergi tanpa karma

Kematianku tak ada di koran esok

Karena aku adalah rahasia

Ia menguburku di dalam kepalanya

Tuhan tidak bilang sesuatu

Dan pembunuhku pergi tanpa duka

Kematianku tak ada di koran esok

Karena mereka tak tahu aku siapa

Ia membawaku di dalam genggamannya

Dan pembunuhku pergi penuh suka

Sungguh sia-sia

Sungguh sia-sia

Tentang Romantisme yang Jantan

“The only way to deal with an unfree world is to become so absolutely free that your very existence is an act of rebellion.” Albert Camus

Bukan berita baru bahwa laki-laki dan perempuan punya kesenjangan pemahaman soal romantisme. Perempuan sering nuntut romantisme lebih besar dari laki-laki yang merasa dirinya romantis. Laki-laki sering ngerasa tuntutan perempuan terhadap perhatian dan ekspresi romantis terlalu lebay dan terasa kanak-kanak.

Beberapa bulan yang lalu, pas lagi ngobrolin film ama Lea, gue bilang film paling romantis yang pernah gue tonton adalah Into the Wild, cerita tentang pemuda Amerika yang bermaksud mengasingkan diri dari masyarakat untuk sementara waktu tapi bernasib sial dan mati di Alaska. Lea nggak ngerti di mana letak romantisnya.

Perempuan mungkin ngerasa laki-laki yang ngasih bunga ke dia itu romantis. Tapi buat laki-laki, itu terasa seperti lelucon, nggak ada artinya. Kalo gue pengen kasih sesuatu yang romantis ke cewek, gue akan ajak dia ke pantai rahasia, atau air terjun rahasia, di mana kita bisa ngalamin petualangan aneh dan kebersamaan tanpa kehadiran orang lain. Buat gue, itu yang namanya romantis.

Jadi, kayak apa sih romantisme yang jantan? Apa aja hal-hal yang romantis menurut laki-laki?

  1. Memberontak, melawan, memperjuangkan keyakinan

Into the Wild diangkat dari kisah nyata. Pemuda yang gue sebut di atas itu nggak suka berbagai hal yang terjadi di masyarakat. Dia mengasingkan diri untuk mikir. Kematiannya bukan sesuatu yang direncanakan. Waktu dia pengen pulang dari Alaska, sungai meluap dan dia nggak bisa nyeberang. Dia akhirnya mati kelaparan. Nasibnya emang apes, tapi at least dia mati melakukan apa yang dia yakini, mati dalam pemberontakannya.

Gue kenal seorang laki-laki yang mutusin pacar yang dijodohin keluarganya demi perempuan yang dia cintai. Keluarganya nentang keputusan itu, tapi karena dia tetep ngotot, mau nggak mau direstui juga. Beberapa taun kemudian, laki-laki dan perempuan ini pindah agama. Si laki-laki dibuang dari keluarga. Namanya dicoret. Dia nggak peduli. Dia yakin dengan keputusannya, dia yakin dengan perempuan pilihannya, dan nggak ada apa pun yang bisa menghentikan dia. Itu romantis.

  1. Mengembara ke gunung, hutan, laut, gua, dan air terjun (kalo perlu, kutub)

Laki-laki pada dasarnya adalah makhluk teritorial. Kenapa laki-laki pengen jadi bos? Karena pengaruhnya akan meningkat, kekuasaannya meluas. Untuk alasan yang sama laki-laki jadi musisi, penulis, sampe motivator bunga-bunga. Itu baru dari sisi industri (sistem buatan yang mau nggak mau kita mesti terlibat).

Dalam kehidupan nyata, laki-laki sejati adalah traveler. Udah dorongan alami kita untuk menjelajah, liat banyak tempat, ketemu banyak orang, coba ini-itu, dan libatin diri dalam berbagai persaingan. Pengalaman adalah sesuatu yang romantis. Juga pengetahuan. Juga kemenangan dan kekalahan.

Salah satu hal yang selalu pengen dilakukan laki-laki adalah ngajak perempuan yang dia cintai traveling dan ngasih dia petualangan aneh.

  1. Kecanduan hidup

Laki-laki selalu pengen bebas, tapi di saat bersamaan, pengen juga kecanduan. Kecanduan rokok, alkohol, buku, traveling, kerja, dan lain-lain. Candu emang kata yang romantis dan jantan. Kecanduan sesuatu itu semacem pernyataan yang kira-kira bunyinya gini: gue bener-bener hidup; ada darah segar ngalir di badan gue.

Saat laki-laki melibatkan perempuan yang dia cintai dalam candunya, itu adalah ekspresi romantis. Itu berarti kita pengen punya ikatan yang lebih kuat dengan perempuan kita. Jangan berharap laki-laki ngasih perempuannya bunga—itu simbolisme yang jelek dan dangkal, makanya nggak dipake lagi di novel-novel—kecuali kalo laki-laki itu pemilik toko bunga.

 

Elia Bintang adalah penulis novela Pantai Kupu-kupu dan lelaki di balik Controversy.

This Kind of Love

I read your poems about her

I saw your eyes when she was around

I know how devastated you are, trying to show her how much she means to you

 

And all the rivers you’ve crossed

And all the cliffs you’ve jumped

And all the risks you’ve took

 

But she’s trapped in the past, and blinded by it

Yet you said you won’t give up

No matter how painful it is

 

I wish…

I could be loved like that

I want to be loved like that

 

Please be patient, don’t let her go, I beg you

Please show me some hopes

That maybe, the kind of love you have toward her

Does exist

 

Because I want to be loved like that

And I need to know that love like that does exist

Skinny Love

Aku dan kamu adalah kekacauan
Betapa tidak
Kita lahir dari kebohongan
Tumbuh menjadi jiwa-jiwa yang rusak

Ketidaksempurnaanmu adalah nada
Dan luka-lukaku adalah lirik
Kita mungkin semacam berirama
Seperti gravitasi dan saling menarik

Kita membuat kekacauan
Dan di tengah-tengahnya kita menari
Bukankah kita berpasangan
Walau berjalan sendiri-sendiri

Aku adalah bajingan yang lugas
Dan kamu pemalu yang penuh tipu daya
Semua tentang kita terasa pas
Seakan sudah begitu sejak awal mula

Jika manusia diciptakan berpasangan
Mungkin kita sengaja diciptakan berjarak
Agar kita tak saling memakan
Dan berdekatan membuat kita sesak

Mencintai satu sama lain
Tanpa berhenti membenci satu sama lain

Aku dan kamu adalah sebuah penyesalan
Diam-diam saling menangis
Di belakang punggung kita berpegangan tangan
Saling berpagut sampai napas habis

Aku ada di antara berbotol-botol bir yang kau sesap
Dan kamu ada di antara hembusan asap rokokku
Siapakah yang lebih dulu berhenti berharap
Dan meninggalkan yang lain membeku

Mungkinkah saling menyayangi
Sambil saling menyakiti?

Jika manusia tidak mungkin diciptakan sendiri
Mungkin kita adalah pengecualian
Dilaknat untuk terus menerus sepi
Agar di antara jarak kita tetap berpasangan

Aku dan kamu adalah kekacauan
Dan di antaranya kita menjadi
Tidak akan ada yang memiliki pengertian
Bahwa kita memang diciptakan seperti ini

It’s Not About You

It’s not about what you did to me

It’s about the pain you’ve put on me

It’s not about how you’ve done me wrong

It’s about me asking myself what took me so long

 

It’s not about whether you’re an asshole or simply a coward

It’s about how I let myself be devoured

It’s not about whether you feel sorry or not

It’s about how stupid I was for letting my self caught

 

In the end, you’re just a random stranger

A random stranger with ulterior motive

And I was just a random stranger

A random stranger with unaccomplished votive

 

You’re the kind of creature

Who stands on lies and live from other people’s pains

I was the kind of creature

Who lost in sadness and live in silence

 

In the end, you’re just a random stranger

A small unimportant piece in my chapter

Which I’ll erase later

While I heal my wound and continue my wander

Dari Tempatku Berhenti

Aku melihat melewati pagi
Dan aku tak melihat diriku berada dimanapun
Tidak di antara serpih sinar matahari
Tidak di antara gumpalan embun

Aku melihat melewati pagi
Dan aku tak mampu melihat apapun
Yang kasat mata hanya sepi
Dan mata-mata kosong yang melamun

Semua orang sudah pergi
Mereka bergerak terlalu cepat
Berbicara terlalu riuh

Semua orang mungkin juga sudah mati
Tinggal hanya sesaat
Kemudian begitu saja luruh

Dan aku entah kenapa
Tidak ada di antara mereka

Aku melihat melewati pagi
Karena malam masih enggan turun
Sementara aku tak tahan di sini
Sudah banyak sesak yang tertimbun

Aku ingin ikut pergi
Dan bukannya tersesat
Namun semuanya sudah terlanjur jauh

Aku terjebak di dalam detik yang berhenti
Pada masa lalu aku terikat
Dan hatiku tinggal separuh

Mengapa tak ambil saja semua
Tak akan ada bedanya

Aku melihat melewati pagi
Dan hujan yang sedih sedang turun

Dunia di Dalam Mimpi

Bukankah kita sedang berputar
Di dalam nyamannya mimpi
Dan berharap tak terbangun
Sampai bagian kecil di kepala kita mengingatkan
Bahwa mimpi indah tidak berdiri sendiri
Di sana pun ada mimpi buruk

Lalu kita berharap segera bangun
Dan berhenti menari

Mengapa segala sesuatu begitu absurd?
Nyata dan tak nyata sekaligus
Ada dan tak ada bersamaan

Lalu kita berharap segera bangun
Dan berhenti mencari

Mengapa segala sesuatu begitu tak pasti?
Sampai terasa seperti sisa sisa mimpi buruk yang pahit
Sedetik lalu semuanya ada
Sedetik kemudian semuanya hampa

Bukankah tadi kita sedang berdansa di dalam mimpi?

Jangan
Jangan terjaga dahulu
Mari nikmati anggur putih kita yang fiktif
Agar kita terjaga dalam keadaan mabuk

*saingannya Dunia Dalam Berita :p

Sang Pelukis

Dia adalah wanita yang dipuja oleh semua orang. Rupanya begitu cantik, seakan lupa pada usianya yang sudah menjelang lima puluh. Pipinya senantiasa merona merah, hidungnya lurus dan runcing, bibirnya kecil mungil dan selalu tampak tersenyum. Namun yang paling indah adalah rambutnya yang hitam panjang terurai begitu saja menutupi punggungnya. Warnanya hitam pekat, berkilau indah ketika tertimpa cahaya. Wanita itu bernama Lastri, Lastri Sastrawidjaya.
Di antara puluhan, mungkin ratusan, manusia yang bergerumul di dalam galeri ini, ia menjadi sosok yang bersinar paling indah. Semua orang berusaha mendekatinya, mengucapkan pujian-pujian pada lukisan-lukisan karyanya yang tersusun rapi di dinding. Ada pula yang mendekatinya sekedar mencari perhatian, mencoba mendekati wanita yang masih jelita itu.

“Sepertinya setiap saat Anda selalu mengejutkan kami. Setiap Anda mengadakan pameran, karya-karya Anda selalu menampilkan gaya yang sama sekali baru.”, ujar seorang pria.

“Anda tak takut dikatakan tak konsisten?”, yang lainnya menimpali.

“Ah, buat saya seni itu tidak perlu terpaku pada satu gaya. Saya suka mengeksplorasi berbagai gaya. Bagi saya, itu namanya belajar, memperluas paradigma.” Ia tersenyum dengan rendah hati.

“Tapi kalau saya pribadi lebih suka dengan gaya Anda yang sekarang. Warna-warnanya berani, goresan kuas Anda begitu bebas dan bertekstur. Seperti lukisan penari ini, surealis dan seperti mimpi. Dibanding lukisan-lukisan Anda yang sebelumnya yang bergaya realis dan terkesan datar, yang seperti ini justru terasa hidup.”

Pria flamboyan tersebut tidak menyadari tatapan tajam sekilas yang diberikan oleh wanita tersebut, ia sibuk menatap terpana pada sebingkai lukisan di depannya. Lukisan termahal di galeri ini. Menggambarkan seorang pria telanjang yang menari bersama gadis-gadis tanpa kepala. Dari selangkangan pria itu, turut menari penis-penis yang rakus dan buruk rupa. Meski pria itu tak menyadarinya, aku dapat menangkap kilasan amarah di dalam mata milik Ibu Lastri. Aku sudah begitu hapal dengan wajah asli di balik topengnya yang indah.

Malam ini adalah pameran Ibu Lastri yang ke tiga kalinya. Pada pameran karyanya setahun yang lalu, di galeri yang sama, wanita itu memamerkan setidaknya empat puluh karya yang Ia persiapkan dalam kurun waktu enam bulan. Bisa dikatakan, pamerannya tidak seramai sekarang, walau sebenarnya tidak sepi juga.

Mulanya, bertahun-tahun Ia melukis namun tak ada yang tertarik pada karyanya. Sekali ia mengadakan pameran, namun lukisannya hanya terjual sedikit. Itupun mungkin dibeli oleh kolega yang merasa tak enak hati padanya karena sudah akrab. Adalah ketika Ia pelesir ke salah satu sudut di Yogyakarta, Ia menemukan sanggar kumuh milik seorang pelukis jalanan tak bernama.

Seorang realis dengan karya-karya yang feminim; perempuan-perempuan telanjang dengan warna-warna bernuansa merah, hitam, dan abu-abu. Saat itu lah ia menjadi seorang realis. Ia membeli setidaknya dua puluh lukisan milik pria itu saat pertama kali menemukannya. Pria tua dan lusuh itu tak mengerti, mengapa ada seorang wanita yang mau membeli karya-karyanya yang sudah berdebu karena lama tak dilirik pelanggan. Ia berterima kasih sambil berkali-kali menundukkan kepalanya.

Sayang, Bapak tua tersebut tak tahu bahwa di kemudian hari lukisannya dijual dengan harga berkali-kali lipat setelah direproduksi oleh wanita ini. Harga yang Wanita itu bayar tak seberapa dengan popularitas dan keuntungan yang ia raup di kemudian hari. Ketika lukisannya habis, ia kembali menemui sang pelukis tua, dan membeli lagi seisi galeri pria tersebut hingga ludes. Dari sana, Ibu Lastri berhasil mengadakan pameran yang jauh lebih diminati dibandingkan yang pertama.

Namun, bukan itu lah yang kemudian membuatnya menjadi sepopuler sekarang. Yang membuat namanya kerap disejajarkan dengan Affandi, Basuki Abdullah, dan maestro lainnya yang telah berkibar jauh sebelum Ibu mengenal kuas dan cat minyak.

Beberapa bulan lalu, aku nekad menghampiri Ibu Lastri. Sejak pamerannya yang bertajuk Perempuan-Perempuan Merah setahun yang lalu, ia mendulang pujian, dan aku pun jatuh cinta pada karya yang semula kukira dibuat olehnya. Kubawa beberapa karyaku di depannya, dan memintanya untuk menjadi mentorku. Ia begitu tertarik pada lukisan-lukisanku yang beraliran surealis sehingga ia mengajakku tinggal di rumahnya untuk menjadi mentorku.

Yang terjadi kemudian adalah ia memamerkan karyaku di situs miliknya dan mengakui sebagai hasil karyanya. Karya pertamaku yang ia akui terjual dengan harga tidak kurang dari empat ratus juta. Dengan senyumnya yang seperti seorang ibu, ia memberikanku hanya satu persen dari apa yang ia dapat. “Ada yang mau beli lukisanmu saja sudah syukur. Dijual di pasar seni pun tak ada yang mau melirik. Orang kita ini lebih suka impresionis, realis, lukisan bunga, sawah, nelayan… bukan lukisan macam punyamu. Perempuan berkepala sendok, kumbang menari di atas laut, lelaki berpenis delapan. Macam apa itu? Kalau bukan karena menggunakan namaku, tak akan ada yang mau

Ia menyuruhku belajar dan berlatih melukis, diberikannya aku pasokan kanvas dan cat. Setiap lukisan yang kuhasilkan, selalu ia jual dengan namanya, dan aku mendapat bagian yang sangat kecil. Namun kusadari, jika bukan karenanya, karya-karyaku memang tak akan laku. Siapa yang mau membeli lukisan seorang gadis muda tak bernama yang menggambarkan sosok lelaki berpenis delapan?

Pada pameran kali ini, semua lukisanku yang berjumlah empat puluh delapan buah, habis terjual tanpa sisa. Lima persen dari hasil penjualan yang diberikan padaku sudah cukup untuk kukirim pada orang tua di kampung agar dapat dipakainya membeli sepetak rumah yang layak. Aku bersyukur di antara marah dan iri yang kurasakan. Aku marah karena wanita yang menjadi guruku tak lebih dari seorang pencuri rakus. Aku iri karena ia yang menuai pujian dan mendapat lampu sorot sementara aku hanya dilihat sebelah mata. Orang-orang hanya melihatku sebagai gadis kampung yang belajar dan numpang hidup gratis di rumah Ibu.

Hari ketika ia membayar semua bagianku, aku angkat kaki dari rumahnya. Aku kabur dan mengontrak rumah petak di pinggir Jakarta. Setelah mengirim uang pada orang tuaku, aku menggunakan sisanya untuk membeli cat minyak, kuas, kanvas, dan kamera digital murahan. Satu bulan penuh aku tak keluar dari rumah kontrakanku, dan aku menghasilkan empat karya yang mampu membuat diriku tersenyum bangga.

Dengan percaya diri, kupotret karyaku, kemudian aku unggah di internet. Kutitipkan pada salah satu situs galeri yang mengkhususkan diri untuk menjual karya-karya pelukis yang belum terkenal. Namun hatiku begitu pedih membaca surat surat elektronik yang masuk ke dalam kotak pos surealku.

“Tak tahu malu, meniru habis-habisan karya seorang pelukis maestro. Apakah anak muda sekarang tidak bisa berkarya tanpa meniru?”

“Dasar plagiat.”

“Kamu bukannya anak didik Ibu Sastrawidjaya? Begitu caramu? Kabur dan mencoba mencuri gayanya? Kamu itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan Ibu Sastrawidjaya. Karyamu masih mentah. Hanya tiruan.”

Bahkan pengelola situs galeri tersebut menghubungiku,”Dik, meniru itu memang proses belajar, tapi ada baiknya Adik berusaha menemukan gaya sendiri. Coba improvisasi. Saya sudah dengar katanya kamu tinggal cukup lama dengan Ibu Sastrawidjaya, walau begitu jangan kamu terlalu terpaku pada gaya Ibu. Semua orang bisa melihat kemiripan karya kalian.”

“Tapi Pak, itu semua benar karyaku. Bahkan karya-karya yang dipamerkan Ibu semuanya adalah milikku.”

“Huss, kamu ini nggak tahu diuntung. Sudah belajar gratis, numpang hidup, kok ya begitu caramu membalas Ibu Sastrawidjaya.”

Di kemudian hari aku baru tahu bahwa beliau berada dalam satu lingkaran dengan Ibu Lastri. Mungkin sudah banyak orang yang dicuci otak oleh cerita dan kebohongannya.

Ketika aku melihat situs milik Ibu Lastri, aku terhenyak. Ia menceritakan tentang diriku. Pelukis amatir yang meniru karyanya dan mencoba menyebar tipuan dengan mengakui semua karya miliknya. Pantas galeri-galeri online banyak yang menolak menampilkan karyaku dalam situs mereka tanpa alasan.

Wanita tua tersebut menyatakan kesedihannya karena merasa dikhianati olehku, namun Ia mengatakan bahwa Ia tetap menyayangiku seperti anak sendiri. Dalam dongengnya, ia menjelaskan betapa ia bersusah payah mengeksplorasi dirinya, mencari warna-warna indah, sampai akhirnya bisa menghasilkan lukisan-lukisan surealis yang begitu indah dan mistis. Oh, begitu cantik dan rapih topengmu. Kamu yang mencuri namun kamu menuduh orang lain menjadi malingnya.

Berbulan-bulan aku berhenti berkarya, dan tabunganku semakin menipis. Aku mulai putus asa. Mungkin aku yang harus mengalah, mencari gaya baru, belajar melukis lagi dari awal.

***

Pameranku berlangsung dengan sukses, pameranku yang pertama.

Bertempat di galeri yang sama dengan pameran Ibu Lastri setahun yang lalu. Debut ini kuberi nama “Pelukis dan Topengnya”. Kebanyakan karyaku menggambarkan wanita bertopeng dengan uraian rambut, dan karya andalanku adalah lukisan berukuran empat kali dua meter bergambar wanita berkeriput dengan kuku-kuku panjang yang sedang rebah di atas potongan-potongan tubuh.

Rambutnya mengurai panjang menutupi sebagian potongan tubuh, sementara wajahnya ditutupi topeng bersepuh emas.

“Apa judul lukisan ini?”

“Oh, yang ini kuberi nama Sang Bidadari. Lukisan ini kupersembahkan untuk Almarhum Ibu Lastri.”

“Ah, ya… Sayang sekali Ibu meninggal begitu mengenaskan, ya… Mayatnya terbakar habis. Padahal saat itu kalian berdua sudah mulai berbaikan setelah ribut-ribut plagiarisme dulu. Anda memang hebat, berani mengakui kesalahan dan masih mau belajar. Tapi… mengapa lukisan Anda seram sekali?”

“Sebetulnya tidak seram. Saya hanya ingin menggambarkan bahwa Ibu begitu cantik dan indah walau ia mati mengenaskan. Siapa sangka justru kaleng- kaleng terpentin dan cat minyak lah yang membunuh Ibu, anak-anaknya sendiri, hanya karena sepercik api.” Aku tersenyum. Lawan bicaraku menatapku dengan aneh.

Ia mengalihkan matanya, menoleh pada lukisan tersebut, memperhatikan dalam-dalam. Mungkin sebenarnya ingin menutupi rasa gugupnya.

“Tekstur cat Anda begitu unik. Lihat uraian rambutnya, teksturnya seperti rambut manusia betulan. Warna kulitnya juga begitu asli, bahkan jika disentuh, terasa seperti kulit manusia. Anda menggunakan cat apa, ya?”

“Cat minyak yang biasa dipakai Ibu. Sama saja, kok.” Aku ikut menelusuri jariku di permukaan lukisan tersebut, ”Serta kulit dan rambut Ibu yang indah dan panjang.”

____________________________________

Cerpen ini ditulis Maret 2013.

Gue gak nyangka, waktu cepet banget berlalu. Dan dalam setahun ini banyak banget hal yang berubah dalam hidup gue.

Oh, dalam 3-4 bulan ini maksud gue.

Makasih ya hadiah tahun barunya. Nanti sekalian makasih juga buat hadiah ulang tahun gue…