Trip: Apa Yang Bisa Kamu Lakukan di Surabaya dan Malang dalam 3 Hari?

Minggu lalu saya kebetulan harus ke Surabaya untuk urusan kerjaan. Iseng, saya dan teman memperpanjang hari kami di Surabaya agar bisa liburan sebentar. Kami putuskan untuk menginap semalam di Surabaya dan semalam di Malang karena penasaran ingin mampir ke Jatim Park yang tersohor itu.

Hari pertama di Surabaya, yang kami lakukan hanya kuliner di pusat kota. Berikut nama tempat makan yang kami sambangi:

Warung Soto Wawan

Jln. Mayjend Sungkono 86, Surabaya
Harga: Mulai dari 20ribuan. Ramah di kantong 🙂

Letaknya tidak terlalu jauh dari Tunjungan Plaza. Menu andalan mereka adalah Soto Daging Campur yang berisi babat, paru, daging, hati, usus, dan telur rebus. Saya sendiri memesan Soto Daging tanpa jeroan karena saya memang bukan penggemar jeroan.

Saya sempat meminta koya, tapi dikasihnya malah bawang goreng. Jadi, ya, ternyata di Surabaya itu koya bisa berarti bawang goreng, bisa juga bubuk koya. Makanya kamu harus menjelaskan yang kamu minta itu koya apa.

Rasanya sendiri gurih, dagingnya juga lembut. Jadi nggak salah kalau Soto Madura mereka jadi andalan.

Selain itu saya juga memesan Nasi Goreng Mertua, Kangkung Pedas, serta Bebek Ndelik dan Ayam Ndelik. Dan untuk dua menu terakhir, ternyata enak banget! Bebek dan ayam-nya digoreng kemudian ditambahkan bumbu rempah yang gurih dan tidak terlalu pedas.

Kurangnya cuma satu di sini, pelayanannya agak mengecewakan. Koya/bawang goreng yang diberikan sudah bersemut. Pelanggan lain yang datang setelah saya mendapatkan pesanannya lebih dulu, sementara pesanan saya lama sekali datangnya.

Mie Tidar

Jl. Tidar no. 20A, Sawahan, Surabaya
Harga: Nyaris 30ribu, tapi karena porsinya jumbo dan rasanya cukup enak, jadi wajar saja lah.

Sebagai penggemar mie ayam, saya juga mencoba salah satu kuliner yang cukup direkomendasikan ini. Ternyata tempatnya tidak semenarik harapan saya. Khas warung makan ruko biasa.

Mienya sendiri menurut saya standar. Enak. Tapi standar. Karena saya sering nemu yang kayak gini di Jakarta. Ala mie ayam warung cina (no racist, ini pujian). Saya lebih suka mie ayam yang teksturnya keriting dan kenyal, sementara di sini walau sama kenyal, modelnya lebih halus dan lemas. Kalau boleh membandingkan, masih lebih enak Mie Luwes dekat Stasiun Sudirman. Hehehe…

Saya memesan mie ayam dengan bakwan, karena penasaran mie pake bakwan tuh gimana. Eh, ternyata di Surabaya itu bakwan adalah bakso. Iya, bakso sapi biasa.

Selain itu saya juga mencicipi es teler dan es campurnya. Rasanya biasa saja. Disajikan dalam piring instead of mangkuk. Kolang kalingnya keras. Mungkin saya lagi apes aja. Selain itu kurang higienis karena mereka pakai es batu balok yang besar, yang biasa dipake abang es campur gerobak. Udah gitu saya sempat melihat mbak yang bikin es campur cuci tangan di wadah penampungan es yang sudah diserut. Hehehe…

Tapi kalau soal pelayanan, Mie Tidar ini pelayannya ramah-ramah dan gesit. Jadi dengan mie yang cukup enak dan pelayanan yang cukup baik, boleh lah mampir ke sini kalau di Surabaya.

Boncafe

JL. Pregolan No. 2, Surabaya
Harga: Untuk steak, mulai dari 70ribuan. Untuk variasi es krim, mulai dari 30ribuan. Untuk ambient yang romantis serta rasa yang istimewa, layak banget!

Hasil ngecek-ngecek di google, restoran yang satu ini sangat direkomendasikan dan disebut-sebut sebagai legend. Akhirnya dengan ekspektasi tinggi, saya mampir ke sana. Dua kali. Siangnya makan steak, malamnya makan es krim.

Saya memesan steak tenderloin biasa, sementara teman-teman saya ada yang memesan steak kebab dan steak tenderloin import.

Dengan harga sekitar 80ribu, saya bisa bilang harganya sesuai dengan rasanya. Penyajian menarik, menggunakan kentang rebus marinated, dan dagingnya cukup banyak. Sekitar 170 gram kalau tidak salah. Dagingnya cukup empuk dan rasanya juga lumayan.

image

image

Untuk steak kebabnya, disajikan dengan atraksi tusuk dan bakar di depan meja kita. Kalau di Restoran Oasis jalan Raden Saleh, steak kebab kayak gini harganya lebih dari setengah juta. Sementara di Boncafe nggak lebih dari 100ribu rupiah. Mayan lah…

Namun yang paling saya suka adalah ambient restoran ini. Bergaya ala jaman kompeni dengan meja dan kursi kayu, lantainya juga kayu. Benar-benar makan a la nyonya belande.

Malamnya ketika saya kembali lagi, saya mencoba menu yang berbeda. Saya memesan es krim liquor mereka. Isi es krim saya adalah es krim coklat dengan kahlua. Es krimnya sendiri sudah enak ya, ditambah kahlua rasanya bikin saya meleleh.

Selain itu saya dan teman saya juga mencicip es krim liquor yang terdiri dari 3 scope es krim berbeda rasa ditambah jelly dan rum. Rasanya manis dan cocok sekali dengan jellynya karena rasa alkoholnya jadi lebih netral.

image

Kedua es krim tersebut masing-masing harganya sekitar 40ribuan dan menurut saya cocok sekali dengan penyajian yang manis serta rasanya yang enak.

Hari ke dua, kami berangkat ke Malang dari hotel tempat menginap menggunakan travel. Dengan membayar 95ribu rupiah, kami dijemput ke hotel menggunakan mobil Xenia. Tidak terlalu mewah. Kami duduk di kursi paling belakang dan AC-nya nggak nyampe ke belakang. Total penumpang ada 6 orang sudah termasuk driver, jadi minimal nggak sempit-sempitan. Selain itu drivernya lumayan ramah dan bisa diminta mampir ke sana ke mari. Kami bahkan mampir makan serta mencari hotel di Batu, Malang. Supir tidak mengeluh bahkan mengantar dengan senang hati. Hanya perlu menambah tip 20ribu serta traktir makan.

Bagi yang mencari travel untuk ke Malang, bisa langsung menghubungi Queen Travel. Operator mereka siap melayani 24 jam.

Sesampainya di Batu, Malang, kami menginap di Grand Batu Inn. Letaknya persis di sudut pertigaan jalan raya arah Jatim Park 1 dan Jatim Park 2. Dari sini bisa jalan kaki ke Jatim Park 2. Selain hotel ini, di sekitar Jatim Park 2 cukup banyak hotel dan guest house dengan harga lebih murah dari hotel saya. Jadi, kalau go-show ke Batu Malang, jangan takut kehabisan tempat menginap.

Anyway, kalau ditarik garis besarnya, Jatim Park 1 itu theme park yang lebih fokus ke tema budaya dan kesenian, sementara Jatim Park 2 fokusnya ke flora dan fauna. Di Jatim Park 1, kata teman saya, isinya kayak Taman Mini. Kalau Jatim Park 2, isinya kebun binatang, museum hewan, dan themed park yang terdiri dari berbagai macam atraksi yang cukup seru.

Di sekitar Jatim Park 1 dan 2, banyak tempat yang patut dikunjungi seperti Eco Green Park, Batu Night Spectacular, Museum Angkut, Predator Fun Park dan lainnya. Cocok untuk jalan-jalan bersama keluarga dan teman. Nggak perlu ke semua tempat, kok. Minimal Jatim Park 2, Museum Angkut, dan Batu Night Spectacular.

Menempuh perjalanan sekitar 4-5 jam dari Surabaya ke Batu, kami sampai di hotel sekitar pukul 1 siang. Lanjut makan siang, check-in, beberes dan menunggu hujan, kami berangkat ke Jatim Park 2 pukul 3 sore. Dengan menunjukkan boarding pass tiket pesawat, kami mendapat diskon tiket sebesar 20%.

Untuk harga normal, kalian bisa masuk ke Jatim Park 2 dengan merogoh kocek sebesar 105ribu. Dengan tiket tersebut kalian mendapat akses ke Batu Secret Zoo dan Museum Satwa.

image

image

Oke, tanpa bermaksud lebay, Batu Secret Zoo adalah salah satu kebun binatang terbaik yang pernah saya datangi. Penataan layout dan jalur jalannya sangat baik, sehingga kalian pasti nggak akan melewati satupun kandang hewan. Selain itu, saya mendapat kesan bahwa hewan di sini diurus dengan baik. Secara garis besar hewan-hewannya sehat, kandang dan area pengunjung pun terjaga kebersihannya.

Dan selera humor orang-orang yang membangun kebun binatang ini juga sangat terasa. Misalnya, saat dia zona akuarium, saya melihat ada akuarium berisi ikan, dan kelinci. Lalu ada tulisan keterangan KELINCI LAUT. Saya cengok sebentar.

image

Nggak mungkin lah. KELINCI KAN GAK PUNYA INSANG!

Setelah melihat dengan teliti, baru saya sadar kalau akuarium kelinci dipisah namun diletakkan di tengah akuarium ikan. Jadi terlihat seakan ia sedang berada di tengah air. Saya pun tertawa sambil bersungut-sungut. Saya nyaris percaya ada kelinci yang bisa hidup di air. Kampret.

Selain itu, di area binatang savannah, dengan kurang ajarnya pengelola kebun binatang memasang foto-foto die cut orang-orang suku Afrika. Seperti di film God Must Be Crazy. Saya nggak bisa menahan diri untuk nggak nyengir-nyengir bego melihat die-cut orang-orang savannah yang sedang jongkok atau berdiri kebingungan di tengah kumpulan Zebra.

Setelah melewati area kebun binatang, kita digiring ke arena bermain yang berisi versi sederhananya Dunia Fantasi. Cemen? Nggak. Kalian harus coba main ke Horror House mereka.

Instead of pakai troli ala ala rumah hantu biasanya, di sini kita masuk harus jalan kaki. Kayak rumah hantu di Taman Safari, tapi percaya lah, ini lebih menegangkan. Saya sampai jerit-jerit di dalam karena banyak atraksi seram yang mengejutkan. Penataan momen elemen kejutnya pas banget. Kata teman nge-trip saya, tangan saya sampai kerasa banget kedinginan.

Akhirnya kami keluar dari Batu Secret Zoo setelah matahari terbenam. Tanpa basa-basi, menggunakan ojek, kami melipir ke Museum Angkut/Museum Transportasi yang lokasinya lebih jauh sedikit dari Jatim Park 1.

Harga tiketnya sekitar 80ribuan untuk masuk ke Museum Angkut dan Museum Topeng. Di area tersebut juga ada zona kuliner yang menyediakan cukup banyak pilihan. Saya makan nasi madura yang lumayan enak, dan teman saya makan bakso yang biasa-biasa aja.

Waktu kami berkeliling hanya 1,5 jam karena Museum Angkut tutup pukul 8 malam.

Museum ini adalah surganya penggemar mobil dan motor klasik. Fix. Semua jenis mobil klasik di film mafia, perang, dan balapan jaman dulu ada di sini. Semuanya dalam kondisi baik, terawat, bahkan sebagian besar masih bisa dioperasikan.
image

Tidak hanya mobil dan sepeda motor antik, di sini juga ada sepeda, becak, pesawat, diorama kapal, truk, lokomotif, hingga andong. Dengan rapihnya, kendaraan-kendaraan ini dibagi dalam tema terpisah. Mulai dari area khusus kendaraan kenegaraan, mobil antik jaman perang, hingga mobil ala film mafia. Beberapa lokasi bahkan disulap seperti suasana kota tertentu dan mengingatkan saya sama Universal Studio Singapura. Ada juga area yang dibuat seperti pecinan. Pokoknya, kalian siap-siap baterai handphone untuk foto-foto narsis di sini.

image

Baydeway, saya bahkan nemu Bat-Mobile dipajang di sini!

image

Sayangnya saya nggak sempat ke Museum Topeng karena kemalaman.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan tanpa lelah, kami lanjut ke Pasar Parkiran dengan berjalan kaki sekitar 1 km. Di sini isinya sama aja kayak pasar malam pada umumnya. Kulineran, dangdutan, arena permainan, food trucks, dan sebuah surga kecil bernama tempat dingdong. YAALLAH DI SINI ADA TEMPAT DINGDONG!

Harga koinnya seribu rupiah per piece, sementara semua permainan cukup pakai satu koin. Mesinnya sih sudah tua, jadi kadang koin bisa tertelan. Saya keasikan main dingdong sampai nyuekin temen ngetrip saya. Ada Street Fighter, King Of Fighter, 1942, dll.

Puas main dingdong dan ngemil lumpia+sosis bakar+bakso bakar ditemani kopi, kami lanjut lagi. Iya bos, kita gak ada capeknya nih walaupun Batu semalam itu sudah lumayan dingin.

Diantar petugas Pasar Parkiran naik motor bertigaan kayak cabe-cabean, kami beranjak ke Alun Alun Batu (eniwei orang Malang baik-baik, ya :D). Kita kasih tips 20ribu sebagai tanda terima kasih.

Di Alun Alun, kami sempat bingung mau ngapain karena ternyata lebih ramai dari yang kami kira. Akhirnya kami memutuskan makan ketan. Kami menemukan tempat kecil dan sederhana dengan plang kecil Ketan Lorong. Dengan harga 5ribu per porsi, kami bisa menikmati ketan dengan toping kelapa serta gula merah cair, dan toping bubuk entah apa yang rasanya gurih. Makannya sambil duduk di gang senggol.

image

Sehabis itu, kami tertarik mencoba sebuah warung kopi bernama Kopi Letek. Soalnya tempatnya sempit banget, gedungnya jelek, hanya selebar dua meter. Terdiri dari 3 lantai, dan lantai 2 dan 3-nya tidak memiliki penutup di bagian depannya. Cuma lobang gede aja gitu, dan dari lubang menganga itu, kami bisa melihat anak-anak muda Batu duduk dan bercengkerama di pinggiran sambil melihat ke arah Alun Alun.

Kami masing-masing memesan segelas kopi hitam asli dari Malang tanpa gula seharga 7500 per cangking dan es krim. Nama es krimnya ngaco-ngaco. Saya memesan Es Krim Sembarang, yaitu es krim yang dicampur asal-asalan dengan remah oreo, wafer, roti kering, dan entah apa lagi. Tapi sumpah enak! Soalnya seru gitu makan es krim sambil ngunyah yang renyah-renyah gitu. Terus karena isinya macam-macam, jadi rasanya manis, asin, gurih.

Teman saya memesan Es Krim Ya Sudahlah. Isinya roti dengan selai nutella dan topping es krim.

Saat memesan, kalau kalian nanya “Ini es krim isinya apa?”, waiternya nggak akan jawab. Jawabnya “Ya suka-suka lah, isinya.” Jadi semacam penuh kejutan dan bikin penasaran gitu. Harganya sendiri sekitar 20ribuan, tapi patut banget dicoba.

image

Kami pulang dari Alun Alun menuju hotel menggunakan taksi. Untungnya di Alun Alun memang ada taksi yang selalu stand by. Bayarnya minimum, 30ribu rupiah.

Esoknya kami kembali ke Surabaya dijemput dengan travel yang sama. Dengan ramah, kami diijinkan untuk mampir ke tempat membeli oleh-oleh. Kita tinggal bilang mau beli oleh-oleh apa, nanti drivernya akan mencarikan tempat yang menyediakan oleh-oleh tersebut.

Buat yang nggak sempat berbelanja oleh-oleh, jangan sedih. Saya menemukan jasa pengantar oleh-oleh yang dengan senang hati mampir ke Bandara Djuanda membawakan pesanan kalian. Kalian bisa mampir ke blognya untuk melihat kontak mereka.

Melalui mereka, kalian bisa memesan oleh-oleh khas Surabaya seperti Sambal Bu Rudy dan Kue Lapis Spikoe (FYI ternyata Kue Lapis Spikoe ini enak banget. Cocok banget buat jadi oleh-oleh.) Harganya nggak dinaikkin terlalu jauh, kok. Saya malah merasa terbantu banget sama mereka. Mas yang nganterin juga ramah dan nggak lelet.

Sebenarnya, selain tempat yang saya kunjungi, masih banyak lagi yang menarik. Sayang waktunya nggak cukup.

Overall, Surabaya dan Batu adalah tempat wisata yang menarik. Terutama Batu. Dua hari satu malam itu nggak cukup banget! Semoga satu hari nanti saya bisa main lagi ke sana 🙂

REVIEW: Kuldesak [SPOILER ALERT]

 

I look around

I fly to find

A space to lay my head upon

Anak 90an pasti tahu lagu ini. Kuldesak adalah lagu yang dibawakan oleh Ahmad Dhani dan merupakan soundtrack dari film berjudul sama. Sebuah film lokal yang bisa dibilang merupakan tonggak bangkitnya perfilman Indonesia. Setelah industri film kita hibernasi karena digerus film Hollywood, Kuldesak muncul sebagai salah satu titik awal perkembangan film bioskop Indonesia.

Kuldesak

Directed by: Riri Riza, Nan Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani | Written by: Adi Nugroho | Producer: Rizal Mantovani

Starring: Ryan Hidayat | Oppie Andaresta | Wong Aksan | Bianca Adinegoro| Sophia Latjuba | Bucek Depp | Dik Doank | Iwa K.

Release dates: 1999 (International Film Festival ) | Running time: 110 minutes

 

Anyhow. Sejak kecil penasaran sama Kuldesak dan nyari donlotannya nggak ketemu, akhirnya beberapa minggu lalu saya berhasil menonton film yang masuk dalam nominasi  Silver Screen AwardBest Asian Feature Film dalam Singapore International Film Festival tahun 1999 ini. Terima kasih untuk Kineforum, yang sekarang menjadi tempat nonton favorit saya ❤

Dibuka dengan adegan Ria Irawan berlari-lari tengah malam buta di sebuah setting pabrik terbengkalai, kemudian tertangkap oleh beberapa orang berpakaian hitam-hitam. Ria Irawan hanya bisa terdiam pasrah ketika Ia akhirnya dihujani oleh peluru. Dan saya mikir, “Itu bukannya AK-47 atau mungkin AR? Mana bisa ditembak pake satu tangan  gitu. Goncangannya bisa bikin moncongnya mental ke muka lo sendiri…”  – yeah ok, gue punya masalah serius sama detail.

Kemudian adegan meloncat-loncat ke dalam segmen yang berbeda-beda dengan fokus karakter yang berbeda pula.

Awalnya kita dikenalkan pada Dina, diperankan oleh Oppie Andaresta, seorang petugas tiket di bioskop yang terobsesi pada Dik Doank, seorang pembawa acara TV. Dina berteman dengan Budi dan Yanto, tetangga kos-nya, pasangan gay. Pada mereka, Dina mengaku-aku bahwa Dik Doank si selebritis adalah kekasihnya.

Ada Ryan Hidayat sebagai Andre (YAALLOH BANGSAT GANTENGNYA) sebagai seorang pemuda tipikal kelas menengah, anak band ganteng, punya segalanya, tapi selalu sendirian karena orang tuanya terlalu sibuk. Ketergantungan obat, kesepian, tersesat, terobsesi sama Kurt Cobain dan merasa dirinya sejiwa dengan vokalis Nirvana tersebut. Satu hari Andre diramalkan akan mengalami perubahaan drastis yang membuat dia berada di tempat yang lebih tinggi. Esok harinya ramalan itu menjadi kenyataan.

Lalu Lina yang diperankan oleh Bianca Adinegoro, karyawati cantik dengan kepribadian keras. Suatu malam ia diperkosa oleh orang-orang berpakaian hitam (Di mana saya mikir, “Oh, mulai keliatan, nih benang merahnya dengan adegan awal film.”). Kemudian saat ia terbangun, pemerkosanya sudah hilang entah ke mana. Namun pelaku meninggalkan barang bukti, dan karena itu Lina malah diculik untuk dijadikan semacam budak seks (Which, kenapa nggak dari awal aja, deh, diculik?). Dari situ saya tahu kenapa Ria Irawan lari-larian tengah malam di pabrik kosong. Bedanya, nasib Lina di sini beda.

Wong Aksan adalah Aksan, seorang anak pengusaha, punya toko laser disc, hidup berkecukupan, terobsesi ingin membuat film. Saking terobsesinya, ia sampai mimpi dibunuh oleh peralatan syuting. Namun Aksan tidak memiliki modal untuk membuat film karena ayahnya tidak mau menyuntikkan dana bagi idealisme anaknya yang dinilai nggak ada gunanya. Dikompori oleh Tyo Pakusadewo, tangan kanan ayahnya, Aksan dan pria tersebut berencana mencuri uang ayahnya sendiri.

Lalu ada Sophia Latjuba sebagai cewek masa kini (refer to 90’s), yang seperti sebuah usaha untuk membuat Uma Thurman di Pulp Fiction tapi versi lokal, doyan dugem dan mau aja diajak nonton laser disc gratis oleh temannya; Bucek Depp sebagai cong garis keras dengan dandanan celana cutbray-nya, dan seorang cewek (mungkin) butchy dengan dandanan punk plus rok tartar. Mbak Butchy nyimpen pistol di dashboard, yang mau dipake untuk nonton laser disc. And i was like, oh, please… seorang cewek megang revolvere dengan satu tangan dan ngacungin ke muka temennya.

In the end, gengnya Sophia Latjuba malah menggagalkan rencana Aksan untuk mencuri uang ayahnya sendiri. Dan saya harus melihat adegan revolvere ditembak tanpa melepas kokang, dengan satu tangan, tangan perempuan.

Kuldesak adalah film yang penuh dengan representasi semua simbol yang ada pada tahun 90an; Nirvana, Pulp Fiction, resurrection of Flower Generations and Punk, diskotik, baby boomers, Doc Marten, serah lo mo masukkin apa lagi. Semua simbol ini seakan dikumpulkan jadi satu dengan akting yang berlebihan, serta dialog dan adegan yang terlalu Hollywood wannabe.

Belum lagi banyaknya kekurangan pada detail, as if film ini kurang riset. Karakter bersenjata yang tidak meyakinkan, aksen Jawa yang maksa, orang diiket di kursi tapi talinya kendor, desain karakter yang terlalu tipikal… Untuk orang yang punya obsesi gak jelas dengan detail kayak saya, rasanya cukup mengganggu.

But do i hate this movie?

NOT AT ALL!

Di luar kenaifan film ini, penggambaran simbol-simbol 90-an merupakan hal yang sangat menarik untuk saya. Justru karena semuanya ditampilkan secara naif, maka film ini menjadi istimewa.

Ditambah selipan-selipan berisi kegelisahan anak muda yang saya yakin dimiliki semua orang yang sedang berada pada usia antara 20-30. Di mana pada fase tersebut kita udah nggak bisa dibilang anak kecil, makanya harus bisa rely on diri sendiri, tapi nggak bisa dibilang orang dewasa sehingga belum bisa 100% membuat keputusan sendiri. Rasa sepi, bingung, belum tahu mau ke mana, atau sudah tahu mau ke mana tapi nggak ada modalnya, nggak ada yang support. Sangat mudah untuk menganalogikan diri sendiri secara personal pada setidaknya salah satu karakter di dalam Kuldesak.

Lalu ada pula representasi dan kritik halus terhadap kondisi sosial di sekitar kita; budaya materialistis, diskriminasi terhadap perbedaan, hipokrisi manusia-manusia berjas dan berdasi, isu LGBT dan feminisme, orang-orang kreatif yang terpinggirkan hanya karena “Jadi seniman nggak bisa bikin kaya.”, degradasi moral, dan kaum borjuis.

Dari segi sinematografi, walaupun terasa sangat Quentin Tarantino, saya tetap suka. Dengan tone hangat dan tanpa takut-takut menonjolkan semua warna yang ada, saya benar-benar merasa dibawa ke tahun 90-an. Belum lagi bagaimana cahaya natural digunakan untuk menciptakan depth dan kesan pada sebuah momen, sehingga sekedar adegan Ryan Hidayat menyetir malam-malam sendirian tanpa dialog bisa tetap membuat saya terdiam sambil mikir, “Bangsat ini orang emang ganteng banget.”

Selesai menonton film ini, rasanya banyak sekali hal yang bisa dibahas dan dipertanyakan. Sebuah film yang bisa bikin kamu ngobrol berjam-jam untuk ngebahas adegan-adegan di dalamnya. Sebuah film yang membuat elo nyari karakter yang paling elo banget untuk dijadiin proyeksi. Rasanya memang nggak berlebihan untuk mengklaim Kuldesak sebagai “pancingan” yang bikin industri film kita menggeliat.

 

Personal Rating: 8/10

Conclusion: Despite film ini nggak bisa dibilang matang, tapi ini adalah film panjang pertama beberapa sutradara lokal yang sekarang udah jadi sineas kelas atas. Selain itu, dari segi cerita dan sinematografi, ini film udah oke banget. Selama kalian nggak punya obsesi pada detail kayak saya, kalian tetap bisa menonton film ini dengan nyaman. Menurut saya, film ini wajib ditonton. Banget.

Tips: Cari event film screening lokal kalau ingin menonton Kuldesak.

Highlights: RYAN HIDAYAT GANTENG BANGET ANJIR!

Review: Mundane History [SPOILER ALERT]

mundane-history-poster

Beruntung sekali tiba-tiba kemarin saya diajak main ke IFI Thamrin untuk menonton film gratis dalam Know Your Neighbour Film Festival. Know Your Neighbour (KYN) Film Festival adalah program pemutaran film negara-negara Asia Tenggara, tujuannya biar kita kenal film-film dari negeri tetangga sendiri.

Film yang saya tonton kemarin adalah Mundane History, karya sutradara Anocha Suwichakornpong, yang diluncurkan pada tahun 2009.

Adegan dibuka dengan sebuah wawancara singkat bersama Anocha, di mana sutradara wanita ini menjelaskan inti film Mundane History. Berdasarkan ceritanya, Mundane History sebenarnya mengandung kritik terhadap kekaisaran Thailand dan mencoba merefleksikan kondisi politik Thailand pada tahun 2009. Dan ini, merupakan bagian penting agar penonton bisa merasa lebih “nyambung” saat nonton filmnya.

Setelah itu kita dibawa masuk ke dalam potongan-potongan adegan dalam sequence yang non-linear dan terasa sangat Memento sekali. Lebih tepatnya, terbifurkasi. Dimana satu scene dibagi dua, kemudian di-swap. Setengah ending ditaruh di depan, setengah adegan awal ditaruh di belakang, sehingga pada awal dan akhir sebuah scene malah menampilkan adegan yang sama.

Film ini mengisahkan tentang hubungan Ake, anak lelaki yang mengalami lumpuh dari pinggang ke bawah, dengan ayahnya. Sang Ayah bernama Panin, tipikal pekerja kelas menengah ngehek. Dan dengan perawat pria yang dipekerjakan Phanin untuk merawat Ake, namanya Pun. Pada awalnya Ake tidak acuh pada Pun, bersikap dingin dan seakan marah kepada siapapun. Namun, seiring perkembangan hubungan antara Ake dan Pun, lama-lama Ake menjadi lebih ramah dan semakin dekat dengan perawatnya ini. Di lain sisi, hubungan Ake dan ayahnya tetap saja dingin, dan ayahnya juga terlihat tidak begitu berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka.

Jika dihubungkan dengan penjelasan Anocha, sang sutradara, film ini akan terasa seperti perumpamaan antara seorang kaisar dan rakyatnya. Tentu saja, jika kita sama sekali buta dengan kondisi politik di Thailand, kita tidak akan mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Anocha.

Walau begitu, tanpa menganalogikan tiap adegan dengan situasi politik di sana, kita tetap bisa merasakan Mundane History sebagai sebuah kisah yang berdiri sendiri.

Mundane History sendiri banyak sekali memberikan ruang untuk interpretasi bagi penontonnya. Tidak ada plot yang tegas, apalagi klimaks-antiklimaks. Menonton Mundane History serasa menggabungkan puzzle-puzzle menjadi satu rangkaian gambar, namun ketika puzzle telah mejadi satu, ternyata tetap menjadi gambar yang abstrak. Tidak ada kesimpulan apapun dari film ini.

Dari segi dialog, Mundane History banyak menggunakan dialog antar karakter yang terasa wajar sekali. Sangat ke-kita-an. Di beberapa bagian diselingi monolog yang kental dengan filosofi existensialisme. Tapi, daripada dialog, komunikasi di dalam film ini lebih banyak menggunakan bahasa visual. Alurnya sangat lambat, karena banyak adegan yang nyaris seperti tidak bergerak dan tidak menceritakan apa-apa. Misalnya ada adegan yang hanya menampilkan kondisi rumah, dengan potongan gambar teras yang tak terurus, kemudian berganti menjadi gambar jendela rumah yang sedikit terbuka, kemudian tangga menuju lantai dua yang gelap, sehingga rumah besar tersebut tampak seperti rumah tidak berpenghuni. Atau potongan gambar langit luar angkasa dengan bintang bersinar di tengah layar, diiringi irama lagu yang mengingatkan kita pada Mono, band post-rock dari Jepang. Dan adegan seperti ini bisa memakan waktu bermenit-menit.

Namun, ada pula adegan yang memiliki kesan sangat kuat dan meninggalkan bekas. Pertama, ketika Ake mencoba masturbasi di bath tub, dan berakhir gagal karena kelumpuhannya menyebabkan ia kehilangan kemampuan untuk ereksi. Adegan yang berani, tanpa rahasia, sekaligus emosional. Kedua, adegan operasi caesar. Di mana saya melihat dengan jelas bayi dikeluarkan kemudian dibersihkan. Dua adegan ini sangat kontras dan seakan berteriak keras di antara alur dan visual Mundane History yang kebanyakan berkesan tenang. Kemudian adegan ketiga adalah sebuah visual CGI yang menampilkan sebuah bintang, penonton dibawa terbang menuju bintang tersebut, diiringi soundtrack yang menghipnotis.

Sebagai penikmat film-film box office dan selama ini hanya disuguhi film indie Amerika dan Eropa, saya cukup terpesona dengan film karya tetangga kita ini. Walau bisa dibilang dari segi sinematografi, film Indonesia nggak kalah. Tapi dari segi “keberanian” eksploitasi adegan  dan keindahan bertutur, saya harus mengakui bahwa Thailand (atau Anocha dan timnya secara khusus), memiliki 1-2 poin yang belum dimiliki film Indonesia. Hal ini juga diakui oleh host KYN fest malam itu, Mouly Surya, sutradara film Fiksi.

Personal Rating: 7/10
Conclusion: Saya sangat suka teknik visual dan isi monolognya. Kekurangannya hanya dari segi alur yang lambat dan mungkin bagi sebagian orang akan terasa membosankan. Selain itu kalau nggak tahu kondisi politik Thailand kayak apa, mungkin penonton hanya akan merasa ini kayak another  supposed-to-be-idealist-poorly-ended-up-pointless-but-hey-they-have-on-fleek-cinematography kind of indie movie.
Tips: Googling dulu tentang kondisi politik Thailand/Bangkok agar nyambung sama filmnya.
Highlights: FREAKING AWESOME SOUNDTRACKS!

Opening Music from The Photo Sticker Machine

Dead Star scene & Credit Title from Furniture

 

Directed & Written by: Anocha Suwichakornpong
Starring:
Phakpoom Surapongsanuruk
Arkaney Cherkam
Paramej Noiam
Anchana Ponpitakthepkijo
Release dates: 10 October 2009(Pusan International Film Festival)
Running time: 82 minutes
*diambil dari Wikipedia

Review: Semar Gugat oleh Teater Koma

Jumat lalu, saya diajak seorang teman untuk menonton pertunjukkan Teater Koma, kali ini lakonnya adalah Semar Gugat, berlokasi di Gedung Kesenian Jakarta.

Kami sudah memesan tiket sejak dua minggu sebelumnya; kursi tribun seharga Rp.125.000 per orang.

Sejujurnya ini pertama kalinya saya menonton pertunjukkan dari Teater Koma, well, sungguh jauh berbeda dari pertunjukkan teater kelas mahasiswa seni. Hehehe… Bukan berarti pertunjukkan teater persembahan anak kampus nggak oke, ya. Tapi sebelumnya saya pikir akan mirip seperti itu, ternyata beda jauh.

Saya baru tahu, seniman Indonesia sudah sematang itu dalam tata panggung, tata cahaya, dan tata suara di dunia teater. Saya merasa hina. Hanya dengan tiket seharga seratusribuan, saya bisa menikmati pertunjukkan seindah Semar Gugat.

Semar Gugat sendiri menceritakan tentang Semar beserta Punakawan yang bersemangat ingin merayakan pernikahan Arjuna dan Srikandi. Namun, tanpa mereka sadari, ternyata Permoni merasuki Srikandi sehingga membuat wanita tersebut memberi syarat pernikahan yang amat sulit kepada Arjuna. Dan demi Srikandi, Arjuna akhirnya memilih mempermalukan dan menyakiti Semar, junjungan Pandawa Lima sendiri, di depan seluruh rakyat.

Semar merasa marah, sedih, dan kecewa. Ia merasa dihina begitu rendahnya oleh kaum manusia yang ia hormati, padahal Semar sendiri sebenarnya adalah dewa khayangan yang rela mengabdi untuk manusia di bumi. Saking sakit hati-nya, Semar pun naik ke khayangan untuk mengamuk dan meminta diberikan kekuasaan untuk membalas dendam. Semar tidak menyadari bahwa Arjuna dan Srikandi dikuasai oleh Permoni, hal ini dikarenakan ia termakan oleh emosinya sendiri.

Saya sudah sering mendengar bahwa penampilan Teater Koma biasanya selalu diselipkan kritik sosial dan politik. Itu yang saya lihat.

Seakan ingin menantang isu LGBT dan KPI yang sedang ramai, mereka menampilkan seorang pemeran laki-laki untuk memerankan Srikandi (diperankan oleh Rangga Riantiarno), calon istri Arjuna. Dan sebaliknya, Arjuna diperankan oleh perempuan (oleh Daisy Lantang).

Selain itu, dalam dialognya kadang diselipkan lelucon yang berisi sindiran terhadap pemerintahan, dan *uhuk* Orde Baru. Dari segi lakon secara keseluruhan, pun, Semar Gugat jelas menggambarkan kondisi Indonesia sekarang. Dengan isu LGBT, monopoli, kebijaksanaan impor, tren nasionalisme semu.

Kemudian ternyata… setelah membaca sejarah naskah Semar Gugat, saya baru tahu, naskah ini sudah lama ditulis dan dimainkan, tepatnya pada masa Orde Baru. Semar Gugat justru berisi kritikan terhadap Orde Baru.

Rasanya ironis, Semar Gugat masih relevan dengan masa sekarang.

Anyhow.

Saya benar-benar terpesona dengan penampilan Teater Koma. Dari ketawa, mikir, sampe nangis! Pada beberapa adegan saya menangis karena tersentuh (kemudian diketawain sama teman saya).

Overall, Semar Gugat sangat saya rekomendasikan. Sebuah paket lengkap berisi tata panggung yang mewah, kemampuan sandiwara yang mampu membuat kita hanyut, serta refleksi kondisi sosial politik Indonesia yang dibalut dalam komedi satir. Lakon ini sendiri masih naik tayang hingga tanggal 10 Maret 2016. Jadi, yang ingin menonton, masih sempat.

Berikut beberapa momen yang sempat saya tangkap. Hanya bisa dari jauh karena saya duduk di tribun, dan hanya sedikit karena saya keasikan nonton XD

Srikandi dan Permoni

image

Penutupan

 

Judul: Semar Gugat: Sia-sia Menunggu Permoni Usai Pesta

Karya & Sutradara: N. Riantiarno

Lokasi: Gedung Kesenian Jakarta

Tanggal: 3-10 Maret 2016

 

 

Sekali-Sekali Nyantai @ Fabric Garden Lounge, Kemang

Saya bukan tipe cewek yang suka clubbing. Serius. Saya adalah tipe cewek yang akan kamu temui duduk di pojokan, memegang botol bir atau gelas vodka di pojokan sambil tertawa bersama teman-teman saya di lounge atau bar. Bukan yang dansa dansi di lantai diiringi musik jedak jeduk.

Fresh Sensation

Tapi minggu lalu, saya bela-belain mampir ke Fresh Sensation di Fabric Garden Lounge, menerobos macetnya malam minggu di Kemang. Hari itu saya baru tahu Splash Kemang sudah tutup. Sudah setahun sejak saya terakhir nongkrong di Splash.

Sesampai di lokasi setelah menempuh dua jam lebih perjalanan, saya cukup terkesan dengan tampilan Fabric Garden yang menghadirkan konsep open space. Suara musik terdengar nyaring sampai ke jalanan, dari luar sudah terasa aura-aura hedon. Adrenalin saya jadi ikut-ikut centil ngajak badan goyang-goyang dikit. Tetep aja beat enak nggak nipu.

Melewati lorong dengan lantai kayu, saya masuk ke area lounge dan baru sadar ternyata musik yang saya dengar berasal dari duo DAD Rythm, yang stylenya mengingatkan sama Safri Duo. Kemudian saya sudah mendapati diri saya menikmati musik sambil menggenggam erat gelas vodka (siapa yang pertama nyodorin, ya? hmmmm…).

Saya menikmati musik dan crowdnya, selain karena konsepnya lounge instead of club, bisa dibilang crowd di sana behave. Saya bersyukur isinya bukan pengunjung berisik, tapi emang orang-orang seusia saya yang tahu cara nikmatin suasana.

20150530012513

Kebetulan malam itu dapat spot enak, pas di depan stage. Mata saya dimanjakan dengan aksi laser, dan hiburan dari DAD Rythm yang atraktif. Yang kurang cuma satu, area melantainya sempit dan dikelilingi meja kursi berukuran besar. Well, mungkin karena itu lounge, jadi audience didn’t mean to be on floor and dancing?

Stage Area

Setelah DAD Rythm, Angger Dimas masuk dan menghajar suasana yang memang sudah panas. Lantai makin ramai, dan saya yang sudah setengah tipsy terseret teman dekat saya, Aryan, untuk ikut melantai. Sempet joged-joged sebentar, tapi kaki sudah nggak stabil, bos, hahahaha… Sementara Aryan kayak semacam punya 12 baterai cadangan.

Akhirnya saya kembali ke meja, dan berdiri menikmati musik sambil memegang gelas sprite, I already had too much vodca that night. Mesti makasih sama Choro yang berbaik hati menemani saya buang muatan di kamar mandi *cipok Choro*.

Me and Choro

Saya nggak inget malam itu pulang jam berapa, yang saya ingat cuma sampai di tempat tinggal dengan selamat, dan hang over dengan perasaan happy :))

Pantai Kupu Kupu: Tentang Kebebasan dan Mencintai Sepenuh Hati

Pantai Kupu Kupu 1

Nina pergi ke Pantai Kupu Kupu untuk mencari tujuan hidupnya.

Berapa orang dari kita yang masih bertanya-tanya ingin menjadi apa, ingin melakukan apa?

Dia bertemu Sam, seorang musisi indie, yang sedang mendamba kekasih.

Berapa orang dari kita yang merindukan untuk disayangi oleh orang yang benar-benar kita inginkan?

Nina adalah remaja yang mencari tujuan hidupnya, mencari kebebasan. Sam adalah pemuda yang sudah bebas, namun justru sebaliknya, merindukan seseorang untuk menjadi tempat dia menetap. Keduanya, secara sekilas, adalah dua pribadi yang bertolak belakang. Mereka bertemu di suatu kota, di mana Pantai Kupu Kupu menjadi daya tarik utama kota tersebut. Itu, dan legenda yang melekat padanya.

Kisah mereka dalam novella ini hanya berjalan kurang dari 24 jam, dan dalam waktu yang singkat itu, perlahan kita akan dibawa mengenal mereka, menyelami pikiran karakter-karakter yang ada di dalamnya. Tentang kebebasan, tentang cita-cita, dan jatuh cinta.

Pantai Kupu Kupu 5

Elia, nggak pernah saya ragukan, adalah seorang penulis berbakat. Dari awal novella ini digarap olehnya, walau genre tulisan ini bukan favoritnya, ia menaruh hatinya sepenuhnya di dalam karyanya yang satu ini. Dan saya berani bilang, untuk sebuah karya debut, Pantai Kupu Kupu tersaji matang dengan penulisan yang baik, gaya bahasa yang sedikit jahil, dan alur yang rapih.

Saya suka pada detail-detail true events menarik yang dia tambahkan dalam Pantai Kupu Kupu, seperti bagaimana ia memberi sedikit cerita tentang Christopher McCandles, atau membiarkan kita mengintip novel Jack Kerouac kesukaannya, atau penjelasannya tentang hippies dan hipster. Pantai Kupu Kupu tidak hanya memberi cerita, namun sekaligus sejarah.

Jika membacanya lebih dalam, kita juga akan dihadapkan pada kegelisahan-kegelisahan anak muda; tentang kebebasan, pencarian jati diri, dan menjadi diri sendiri. Dan bisa saya bilang, Elia tidak sembarangan menulis dan menuangkan opininya (atau opini orang lain yang ia selipkan dalam Pantai Kupu Kupu). Sebagai pembaca, saya cukup puas melihat hasil karya yang dipersiapkan dengan matang dan bertanggung jawab.

Pantai Kupu Kupu 6

Tentu saja saya berharap seandainya Pantai Kupu Kupu dibuat lebih panjang dengan alur yang lebih rumit, isi lebih tebal, dan kisah cinta yang lebih menonjol. Tapi kalau begitu jadinya novel, bukan novella. Tapi Pantai Kupu Kupu mungkin akan lebih menarik jika Elia menambahkan lebih banyak “rasa” daripada deskripsi suasana dan adegan (somehow saya rasa Elia nggak akan setuju dengan protes saya :p).

Pantai Kupu Kupu adalah sebuah novella yang layak banget dibeli dan disimpan. Mungkin bukan tipe cerita yang disukai semua orang. Mengingat kita terbiasa membaca novel dengan alur panjang dan konflik yang rumit. Pantai Kupu Kupu bisa dibilang sebuah kisah yang simpel dan sederhana. Dan daripada memberikanmu drama, sebenarnya lebih banyak mengajak berpikir dan merenung. Apalagi untuk saya.  Buat saya, Pantai Kupu Kupu sangat personal. Bukan, bukan karena dalam Pantai Kupu Kupu ada nama saya.

Pantai Kupu Kupu 2

Tapi pada bagian tertentu, itu ngena ke saya. Terutama ketika Elia menulis tentang topik kebebasan.

Pantai Kupu Kupu 4

Dan memang, pada dasarnya Pantai Kupu Kupu membicarakan 2 hal yang paling dirindukan oleh manusia.

Kebebasan.

Dan jatuh cinta yang sebenar-benarnya jatuh cinta.

Selamat membaca 🙂

A Note from Yogyakarta: Ullen Sentalu

Ullen Sentalu is a private museum located on Jalan Kaliurang, Yogyakarta – Indonesia. The museum is initiated by Haryono family and now is managed by Ulating Blencong Foundation. I forgot what Ulating Blencong stands for  but as far as I remember the foundation was also founded by the family.

We can reach the museum from Yogyakarta by using public transportation, but the bus is rarely come. I suggest you to just rent a car to get there. It only took you 45-60 minutes to go to Ullen Sentalu from Yogya. The museum located on high land, hence it kinda remind you of Puncak, but it’s better than Puncak.

To enter the museum you have to pay IDR 25k per person. Also, you have to queueing since to enter you have to be in team consist of 15 to 20 persons and guided by 1 tour guide. The interval per team is approximately 10 to 15 minutes, therefore, after you buy the ticket, I suggest you to stay on the line. You know… because some people has no manner and won’t bother to cut off the line when there is a chance.

Please ensure you follow all the rules at the Ullen Sentalu Museum:

– no photo

– no video

– no food or snack

– don’t touch anything in the museum

In the museum, as i told you before, you will be guided by 1 person. The tour guide will explain you the history and the philosophy of the heritages in the museum. The tour took 30-45 minutes per round. At the end of the tour, you will get to taste a special drink from the museum. Why is it so special? Because they said the drink was formulated years a go by the ancestors and believed can make you stay young. I only took a sip of the drink because some greedy person took more glass than he or she has to. I was busy taking picture (that was the only room where you allowed to take picture) and when i got back to the table, all the glasses were already empty (-____-) Anyway, the taste was like a beras kencur herb drink.

Langit-langit ruangan rekreasi, satu-satunya area yang boleh difoto
You will see this pond at the closing of the museum tour
Artificial lake
Picasso-styled tiles – as told by the tour guide
You can buy souvenirs in this building
The back side of Beukenhof Restaurant

Continue reading A Note from Yogyakarta: Ullen Sentalu