REVIEW: Kuldesak [SPOILER ALERT]

 

I look around

I fly to find

A space to lay my head upon

Anak 90an pasti tahu lagu ini. Kuldesak adalah lagu yang dibawakan oleh Ahmad Dhani dan merupakan soundtrack dari film berjudul sama. Sebuah film lokal yang bisa dibilang merupakan tonggak bangkitnya perfilman Indonesia. Setelah industri film kita hibernasi karena digerus film Hollywood, Kuldesak muncul sebagai salah satu titik awal perkembangan film bioskop Indonesia.

Kuldesak

Directed by: Riri Riza, Nan Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani | Written by: Adi Nugroho | Producer: Rizal Mantovani

Starring: Ryan Hidayat | Oppie Andaresta | Wong Aksan | Bianca Adinegoro| Sophia Latjuba | Bucek Depp | Dik Doank | Iwa K.

Release dates: 1999 (International Film Festival ) | Running time: 110 minutes

 

Anyhow. Sejak kecil penasaran sama Kuldesak dan nyari donlotannya nggak ketemu, akhirnya beberapa minggu lalu saya berhasil menonton film yang masuk dalam nominasi  Silver Screen AwardBest Asian Feature Film dalam Singapore International Film Festival tahun 1999 ini. Terima kasih untuk Kineforum, yang sekarang menjadi tempat nonton favorit saya ❤

Dibuka dengan adegan Ria Irawan berlari-lari tengah malam buta di sebuah setting pabrik terbengkalai, kemudian tertangkap oleh beberapa orang berpakaian hitam-hitam. Ria Irawan hanya bisa terdiam pasrah ketika Ia akhirnya dihujani oleh peluru. Dan saya mikir, “Itu bukannya AK-47 atau mungkin AR? Mana bisa ditembak pake satu tangan  gitu. Goncangannya bisa bikin moncongnya mental ke muka lo sendiri…”  – yeah ok, gue punya masalah serius sama detail.

Kemudian adegan meloncat-loncat ke dalam segmen yang berbeda-beda dengan fokus karakter yang berbeda pula.

Awalnya kita dikenalkan pada Dina, diperankan oleh Oppie Andaresta, seorang petugas tiket di bioskop yang terobsesi pada Dik Doank, seorang pembawa acara TV. Dina berteman dengan Budi dan Yanto, tetangga kos-nya, pasangan gay. Pada mereka, Dina mengaku-aku bahwa Dik Doank si selebritis adalah kekasihnya.

Ada Ryan Hidayat sebagai Andre (YAALLOH BANGSAT GANTENGNYA) sebagai seorang pemuda tipikal kelas menengah, anak band ganteng, punya segalanya, tapi selalu sendirian karena orang tuanya terlalu sibuk. Ketergantungan obat, kesepian, tersesat, terobsesi sama Kurt Cobain dan merasa dirinya sejiwa dengan vokalis Nirvana tersebut. Satu hari Andre diramalkan akan mengalami perubahaan drastis yang membuat dia berada di tempat yang lebih tinggi. Esok harinya ramalan itu menjadi kenyataan.

Lalu Lina yang diperankan oleh Bianca Adinegoro, karyawati cantik dengan kepribadian keras. Suatu malam ia diperkosa oleh orang-orang berpakaian hitam (Di mana saya mikir, “Oh, mulai keliatan, nih benang merahnya dengan adegan awal film.”). Kemudian saat ia terbangun, pemerkosanya sudah hilang entah ke mana. Namun pelaku meninggalkan barang bukti, dan karena itu Lina malah diculik untuk dijadikan semacam budak seks (Which, kenapa nggak dari awal aja, deh, diculik?). Dari situ saya tahu kenapa Ria Irawan lari-larian tengah malam di pabrik kosong. Bedanya, nasib Lina di sini beda.

Wong Aksan adalah Aksan, seorang anak pengusaha, punya toko laser disc, hidup berkecukupan, terobsesi ingin membuat film. Saking terobsesinya, ia sampai mimpi dibunuh oleh peralatan syuting. Namun Aksan tidak memiliki modal untuk membuat film karena ayahnya tidak mau menyuntikkan dana bagi idealisme anaknya yang dinilai nggak ada gunanya. Dikompori oleh Tyo Pakusadewo, tangan kanan ayahnya, Aksan dan pria tersebut berencana mencuri uang ayahnya sendiri.

Lalu ada Sophia Latjuba sebagai cewek masa kini (refer to 90’s), yang seperti sebuah usaha untuk membuat Uma Thurman di Pulp Fiction tapi versi lokal, doyan dugem dan mau aja diajak nonton laser disc gratis oleh temannya; Bucek Depp sebagai cong garis keras dengan dandanan celana cutbray-nya, dan seorang cewek (mungkin) butchy dengan dandanan punk plus rok tartar. Mbak Butchy nyimpen pistol di dashboard, yang mau dipake untuk nonton laser disc. And i was like, oh, please… seorang cewek megang revolvere dengan satu tangan dan ngacungin ke muka temennya.

In the end, gengnya Sophia Latjuba malah menggagalkan rencana Aksan untuk mencuri uang ayahnya sendiri. Dan saya harus melihat adegan revolvere ditembak tanpa melepas kokang, dengan satu tangan, tangan perempuan.

Kuldesak adalah film yang penuh dengan representasi semua simbol yang ada pada tahun 90an; Nirvana, Pulp Fiction, resurrection of Flower Generations and Punk, diskotik, baby boomers, Doc Marten, serah lo mo masukkin apa lagi. Semua simbol ini seakan dikumpulkan jadi satu dengan akting yang berlebihan, serta dialog dan adegan yang terlalu Hollywood wannabe.

Belum lagi banyaknya kekurangan pada detail, as if film ini kurang riset. Karakter bersenjata yang tidak meyakinkan, aksen Jawa yang maksa, orang diiket di kursi tapi talinya kendor, desain karakter yang terlalu tipikal… Untuk orang yang punya obsesi gak jelas dengan detail kayak saya, rasanya cukup mengganggu.

But do i hate this movie?

NOT AT ALL!

Di luar kenaifan film ini, penggambaran simbol-simbol 90-an merupakan hal yang sangat menarik untuk saya. Justru karena semuanya ditampilkan secara naif, maka film ini menjadi istimewa.

Ditambah selipan-selipan berisi kegelisahan anak muda yang saya yakin dimiliki semua orang yang sedang berada pada usia antara 20-30. Di mana pada fase tersebut kita udah nggak bisa dibilang anak kecil, makanya harus bisa rely on diri sendiri, tapi nggak bisa dibilang orang dewasa sehingga belum bisa 100% membuat keputusan sendiri. Rasa sepi, bingung, belum tahu mau ke mana, atau sudah tahu mau ke mana tapi nggak ada modalnya, nggak ada yang support. Sangat mudah untuk menganalogikan diri sendiri secara personal pada setidaknya salah satu karakter di dalam Kuldesak.

Lalu ada pula representasi dan kritik halus terhadap kondisi sosial di sekitar kita; budaya materialistis, diskriminasi terhadap perbedaan, hipokrisi manusia-manusia berjas dan berdasi, isu LGBT dan feminisme, orang-orang kreatif yang terpinggirkan hanya karena “Jadi seniman nggak bisa bikin kaya.”, degradasi moral, dan kaum borjuis.

Dari segi sinematografi, walaupun terasa sangat Quentin Tarantino, saya tetap suka. Dengan tone hangat dan tanpa takut-takut menonjolkan semua warna yang ada, saya benar-benar merasa dibawa ke tahun 90-an. Belum lagi bagaimana cahaya natural digunakan untuk menciptakan depth dan kesan pada sebuah momen, sehingga sekedar adegan Ryan Hidayat menyetir malam-malam sendirian tanpa dialog bisa tetap membuat saya terdiam sambil mikir, “Bangsat ini orang emang ganteng banget.”

Selesai menonton film ini, rasanya banyak sekali hal yang bisa dibahas dan dipertanyakan. Sebuah film yang bisa bikin kamu ngobrol berjam-jam untuk ngebahas adegan-adegan di dalamnya. Sebuah film yang membuat elo nyari karakter yang paling elo banget untuk dijadiin proyeksi. Rasanya memang nggak berlebihan untuk mengklaim Kuldesak sebagai “pancingan” yang bikin industri film kita menggeliat.

 

Personal Rating: 8/10

Conclusion: Despite film ini nggak bisa dibilang matang, tapi ini adalah film panjang pertama beberapa sutradara lokal yang sekarang udah jadi sineas kelas atas. Selain itu, dari segi cerita dan sinematografi, ini film udah oke banget. Selama kalian nggak punya obsesi pada detail kayak saya, kalian tetap bisa menonton film ini dengan nyaman. Menurut saya, film ini wajib ditonton. Banget.

Tips: Cari event film screening lokal kalau ingin menonton Kuldesak.

Highlights: RYAN HIDAYAT GANTENG BANGET ANJIR!

Review: Mundane History [SPOILER ALERT]

mundane-history-poster

Beruntung sekali tiba-tiba kemarin saya diajak main ke IFI Thamrin untuk menonton film gratis dalam Know Your Neighbour Film Festival. Know Your Neighbour (KYN) Film Festival adalah program pemutaran film negara-negara Asia Tenggara, tujuannya biar kita kenal film-film dari negeri tetangga sendiri.

Film yang saya tonton kemarin adalah Mundane History, karya sutradara Anocha Suwichakornpong, yang diluncurkan pada tahun 2009.

Adegan dibuka dengan sebuah wawancara singkat bersama Anocha, di mana sutradara wanita ini menjelaskan inti film Mundane History. Berdasarkan ceritanya, Mundane History sebenarnya mengandung kritik terhadap kekaisaran Thailand dan mencoba merefleksikan kondisi politik Thailand pada tahun 2009. Dan ini, merupakan bagian penting agar penonton bisa merasa lebih “nyambung” saat nonton filmnya.

Setelah itu kita dibawa masuk ke dalam potongan-potongan adegan dalam sequence yang non-linear dan terasa sangat Memento sekali. Lebih tepatnya, terbifurkasi. Dimana satu scene dibagi dua, kemudian di-swap. Setengah ending ditaruh di depan, setengah adegan awal ditaruh di belakang, sehingga pada awal dan akhir sebuah scene malah menampilkan adegan yang sama.

Film ini mengisahkan tentang hubungan Ake, anak lelaki yang mengalami lumpuh dari pinggang ke bawah, dengan ayahnya. Sang Ayah bernama Panin, tipikal pekerja kelas menengah ngehek. Dan dengan perawat pria yang dipekerjakan Phanin untuk merawat Ake, namanya Pun. Pada awalnya Ake tidak acuh pada Pun, bersikap dingin dan seakan marah kepada siapapun. Namun, seiring perkembangan hubungan antara Ake dan Pun, lama-lama Ake menjadi lebih ramah dan semakin dekat dengan perawatnya ini. Di lain sisi, hubungan Ake dan ayahnya tetap saja dingin, dan ayahnya juga terlihat tidak begitu berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka.

Jika dihubungkan dengan penjelasan Anocha, sang sutradara, film ini akan terasa seperti perumpamaan antara seorang kaisar dan rakyatnya. Tentu saja, jika kita sama sekali buta dengan kondisi politik di Thailand, kita tidak akan mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Anocha.

Walau begitu, tanpa menganalogikan tiap adegan dengan situasi politik di sana, kita tetap bisa merasakan Mundane History sebagai sebuah kisah yang berdiri sendiri.

Mundane History sendiri banyak sekali memberikan ruang untuk interpretasi bagi penontonnya. Tidak ada plot yang tegas, apalagi klimaks-antiklimaks. Menonton Mundane History serasa menggabungkan puzzle-puzzle menjadi satu rangkaian gambar, namun ketika puzzle telah mejadi satu, ternyata tetap menjadi gambar yang abstrak. Tidak ada kesimpulan apapun dari film ini.

Dari segi dialog, Mundane History banyak menggunakan dialog antar karakter yang terasa wajar sekali. Sangat ke-kita-an. Di beberapa bagian diselingi monolog yang kental dengan filosofi existensialisme. Tapi, daripada dialog, komunikasi di dalam film ini lebih banyak menggunakan bahasa visual. Alurnya sangat lambat, karena banyak adegan yang nyaris seperti tidak bergerak dan tidak menceritakan apa-apa. Misalnya ada adegan yang hanya menampilkan kondisi rumah, dengan potongan gambar teras yang tak terurus, kemudian berganti menjadi gambar jendela rumah yang sedikit terbuka, kemudian tangga menuju lantai dua yang gelap, sehingga rumah besar tersebut tampak seperti rumah tidak berpenghuni. Atau potongan gambar langit luar angkasa dengan bintang bersinar di tengah layar, diiringi irama lagu yang mengingatkan kita pada Mono, band post-rock dari Jepang. Dan adegan seperti ini bisa memakan waktu bermenit-menit.

Namun, ada pula adegan yang memiliki kesan sangat kuat dan meninggalkan bekas. Pertama, ketika Ake mencoba masturbasi di bath tub, dan berakhir gagal karena kelumpuhannya menyebabkan ia kehilangan kemampuan untuk ereksi. Adegan yang berani, tanpa rahasia, sekaligus emosional. Kedua, adegan operasi caesar. Di mana saya melihat dengan jelas bayi dikeluarkan kemudian dibersihkan. Dua adegan ini sangat kontras dan seakan berteriak keras di antara alur dan visual Mundane History yang kebanyakan berkesan tenang. Kemudian adegan ketiga adalah sebuah visual CGI yang menampilkan sebuah bintang, penonton dibawa terbang menuju bintang tersebut, diiringi soundtrack yang menghipnotis.

Sebagai penikmat film-film box office dan selama ini hanya disuguhi film indie Amerika dan Eropa, saya cukup terpesona dengan film karya tetangga kita ini. Walau bisa dibilang dari segi sinematografi, film Indonesia nggak kalah. Tapi dari segi “keberanian” eksploitasi adegan  dan keindahan bertutur, saya harus mengakui bahwa Thailand (atau Anocha dan timnya secara khusus), memiliki 1-2 poin yang belum dimiliki film Indonesia. Hal ini juga diakui oleh host KYN fest malam itu, Mouly Surya, sutradara film Fiksi.

Personal Rating: 7/10
Conclusion: Saya sangat suka teknik visual dan isi monolognya. Kekurangannya hanya dari segi alur yang lambat dan mungkin bagi sebagian orang akan terasa membosankan. Selain itu kalau nggak tahu kondisi politik Thailand kayak apa, mungkin penonton hanya akan merasa ini kayak another  supposed-to-be-idealist-poorly-ended-up-pointless-but-hey-they-have-on-fleek-cinematography kind of indie movie.
Tips: Googling dulu tentang kondisi politik Thailand/Bangkok agar nyambung sama filmnya.
Highlights: FREAKING AWESOME SOUNDTRACKS!

Opening Music from The Photo Sticker Machine

Dead Star scene & Credit Title from Furniture

 

Directed & Written by: Anocha Suwichakornpong
Starring:
Phakpoom Surapongsanuruk
Arkaney Cherkam
Paramej Noiam
Anchana Ponpitakthepkijo
Release dates: 10 October 2009(Pusan International Film Festival)
Running time: 82 minutes
*diambil dari Wikipedia