Review: Mundane History [SPOILER ALERT]

mundane-history-poster

Beruntung sekali tiba-tiba kemarin saya diajak main ke IFI Thamrin untuk menonton film gratis dalam Know Your Neighbour Film Festival. Know Your Neighbour (KYN) Film Festival adalah program pemutaran film negara-negara Asia Tenggara, tujuannya biar kita kenal film-film dari negeri tetangga sendiri.

Film yang saya tonton kemarin adalah Mundane History, karya sutradara Anocha Suwichakornpong, yang diluncurkan pada tahun 2009.

Adegan dibuka dengan sebuah wawancara singkat bersama Anocha, di mana sutradara wanita ini menjelaskan inti film Mundane History. Berdasarkan ceritanya, Mundane History sebenarnya mengandung kritik terhadap kekaisaran Thailand dan mencoba merefleksikan kondisi politik Thailand pada tahun 2009. Dan ini, merupakan bagian penting agar penonton bisa merasa lebih “nyambung” saat nonton filmnya.

Setelah itu kita dibawa masuk ke dalam potongan-potongan adegan dalam sequence yang non-linear dan terasa sangat Memento sekali. Lebih tepatnya, terbifurkasi. Dimana satu scene dibagi dua, kemudian di-swap. Setengah ending ditaruh di depan, setengah adegan awal ditaruh di belakang, sehingga pada awal dan akhir sebuah scene malah menampilkan adegan yang sama.

Film ini mengisahkan tentang hubungan Ake, anak lelaki yang mengalami lumpuh dari pinggang ke bawah, dengan ayahnya. Sang Ayah bernama Panin, tipikal pekerja kelas menengah ngehek. Dan dengan perawat pria yang dipekerjakan Phanin untuk merawat Ake, namanya Pun. Pada awalnya Ake tidak acuh pada Pun, bersikap dingin dan seakan marah kepada siapapun. Namun, seiring perkembangan hubungan antara Ake dan Pun, lama-lama Ake menjadi lebih ramah dan semakin dekat dengan perawatnya ini. Di lain sisi, hubungan Ake dan ayahnya tetap saja dingin, dan ayahnya juga terlihat tidak begitu berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka.

Jika dihubungkan dengan penjelasan Anocha, sang sutradara, film ini akan terasa seperti perumpamaan antara seorang kaisar dan rakyatnya. Tentu saja, jika kita sama sekali buta dengan kondisi politik di Thailand, kita tidak akan mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Anocha.

Walau begitu, tanpa menganalogikan tiap adegan dengan situasi politik di sana, kita tetap bisa merasakan Mundane History sebagai sebuah kisah yang berdiri sendiri.

Mundane History sendiri banyak sekali memberikan ruang untuk interpretasi bagi penontonnya. Tidak ada plot yang tegas, apalagi klimaks-antiklimaks. Menonton Mundane History serasa menggabungkan puzzle-puzzle menjadi satu rangkaian gambar, namun ketika puzzle telah mejadi satu, ternyata tetap menjadi gambar yang abstrak. Tidak ada kesimpulan apapun dari film ini.

Dari segi dialog, Mundane History banyak menggunakan dialog antar karakter yang terasa wajar sekali. Sangat ke-kita-an. Di beberapa bagian diselingi monolog yang kental dengan filosofi existensialisme. Tapi, daripada dialog, komunikasi di dalam film ini lebih banyak menggunakan bahasa visual. Alurnya sangat lambat, karena banyak adegan yang nyaris seperti tidak bergerak dan tidak menceritakan apa-apa. Misalnya ada adegan yang hanya menampilkan kondisi rumah, dengan potongan gambar teras yang tak terurus, kemudian berganti menjadi gambar jendela rumah yang sedikit terbuka, kemudian tangga menuju lantai dua yang gelap, sehingga rumah besar tersebut tampak seperti rumah tidak berpenghuni. Atau potongan gambar langit luar angkasa dengan bintang bersinar di tengah layar, diiringi irama lagu yang mengingatkan kita pada Mono, band post-rock dari Jepang. Dan adegan seperti ini bisa memakan waktu bermenit-menit.

Namun, ada pula adegan yang memiliki kesan sangat kuat dan meninggalkan bekas. Pertama, ketika Ake mencoba masturbasi di bath tub, dan berakhir gagal karena kelumpuhannya menyebabkan ia kehilangan kemampuan untuk ereksi. Adegan yang berani, tanpa rahasia, sekaligus emosional. Kedua, adegan operasi caesar. Di mana saya melihat dengan jelas bayi dikeluarkan kemudian dibersihkan. Dua adegan ini sangat kontras dan seakan berteriak keras di antara alur dan visual Mundane History yang kebanyakan berkesan tenang. Kemudian adegan ketiga adalah sebuah visual CGI yang menampilkan sebuah bintang, penonton dibawa terbang menuju bintang tersebut, diiringi soundtrack yang menghipnotis.

Sebagai penikmat film-film box office dan selama ini hanya disuguhi film indie Amerika dan Eropa, saya cukup terpesona dengan film karya tetangga kita ini. Walau bisa dibilang dari segi sinematografi, film Indonesia nggak kalah. Tapi dari segi “keberanian” eksploitasi adegan  dan keindahan bertutur, saya harus mengakui bahwa Thailand (atau Anocha dan timnya secara khusus), memiliki 1-2 poin yang belum dimiliki film Indonesia. Hal ini juga diakui oleh host KYN fest malam itu, Mouly Surya, sutradara film Fiksi.

Personal Rating: 7/10
Conclusion: Saya sangat suka teknik visual dan isi monolognya. Kekurangannya hanya dari segi alur yang lambat dan mungkin bagi sebagian orang akan terasa membosankan. Selain itu kalau nggak tahu kondisi politik Thailand kayak apa, mungkin penonton hanya akan merasa ini kayak another  supposed-to-be-idealist-poorly-ended-up-pointless-but-hey-they-have-on-fleek-cinematography kind of indie movie.
Tips: Googling dulu tentang kondisi politik Thailand/Bangkok agar nyambung sama filmnya.
Highlights: FREAKING AWESOME SOUNDTRACKS!

Opening Music from The Photo Sticker Machine

Dead Star scene & Credit Title from Furniture

 

Directed & Written by: Anocha Suwichakornpong
Starring:
Phakpoom Surapongsanuruk
Arkaney Cherkam
Paramej Noiam
Anchana Ponpitakthepkijo
Release dates: 10 October 2009(Pusan International Film Festival)
Running time: 82 minutes
*diambil dari Wikipedia